|
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medis
1.
Pengertian
a.
Trauma Kapitis merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000 ; 3).
b.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal
sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik
trauma tumpul maupun trauma tajam (Batticaca, 2008 ; 96).
c.
Trauma Kapitis adalah cedera pada kepala
mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala merupakan peristiwa
yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta
telah mencapai proporsi epidemik sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan (Baughman,
2000 ; 65).
d.
Cedera Kepala merupakan proses dimana terjadi
trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Grace, 2006 ; 91).
e.
8
|
Adapun klasifikasi
cedera kepala berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera menurut Mansjoer
(2000 ; 3) yaitu :
a.
Mekanisme
berdasakan adanya penetrasi durameter.
1)
Trauma
tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) dan Kecepatan rendah (terjatuh,
dipukul)
2)
Trauma
tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya).
b.
Keparahan
cedera
1)
Ringan
:Skala Koma Glasglow (Glasglow Coma
Scale, GCS) 14-15
2)
Sedang
: GCS 9-13
3)
Berat : GCS 3-8
c.
Morfologi
1)
Fraktur
tengkorak :
Kranium :
Linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuaka/tertutup.
Basis:
dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
Dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
2)
Lesi
Intrakranial :
Fokal:
epidural, subdural, intraserebral
Disfus:
konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
2.
Anatomi Fisiologi
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan
serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf
lingkungan internal dan stimulus eksternal dipanatu dan diatur. Kemampuan
khusus seperti iritabilitas atau sensitivitas terhadap stimulus dan
konduktivitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus,
diatur oleh saraf dalam tiga cara utama yaitu : (1) Input sensorik : Sistem saraf menerima
sensasi atau stimulus melalui resptor, yang terletak di tubuh baik eksternal
(resptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). (2) Aktivitas integratif
: Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang
saraf sampai ke otak dan medulla spinalis yang kemudian akan menginterpretasi
dan mengintegrasi stimulus sehingga respon terhadap informasi bisa terjadi. (3) Output motorik : Impuls dari otak dan
medulla spinalis memperoleh respons yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh
yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2004 ; 154).
a.
Sistem
saraf pusat
1)
Otak
Gambar 2.1 :
Anatomi system saraf pusat
|
Otak yang
sudah berkembang penuh merupakan sebuah organ besar yang terletak didalam
rongga tengkorak. Pada perkembangan awal, otak dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
Otak depan
merupakan bagian terbesar dan disebut serebrum, yang dibagi dalam dua hemisfer,
yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, oleh fisura longitudinal. Lapisan luar
serebrum disebut korteks serebri dan tersusun atas badan abu-abu (badan sel)
yang berlipat-lipat yang disebut giri, yang dipisahkan oleh fisura yang
disebutsulci.
Otak tengah
terletak di antara otak depan dan otak belakang. Panjangnya kira-kira 2 cm dan
terdiri atas dua buah pita seperti tangkai dari bahan putih, yang disebut
pedunkulus serebeli, yang membawa impuls melewati dan berasal dari otak dan
medula spinalis dan empat tonjolan kecil, yang disebut badan kuadrigeminal, yang berperan dalam
refleks penglihatan dan pendengaran. Badan pineal terletak di antara dua badan
kuadrigeminal bagian atas.
Otak
belakang terdiri atas tiga bagian :
a)
Pons, terletak diantara otak tengah bagian atas dan
medula oblongata bagian bawah. Pons mengandung serabut saraf yang membawa
impuls ke atas dan ke bawah dan beberapa serabut yang menyatu dengan serebelum.
b)
Medula oblongata, terletak antara pons dibagian atas
dan medulla spinalis bagian bawah. Struktur ini berisi pusat jantung dan
pernapasan dan juga diketahui sebagai pusat vital yang mengontrol jantung dan
pernapasan.
c)
Serebelum, terletak dibagian bawah lobus
oksipital serebrum. Serebrum dihubungkan dengan otak tengah, pons, dan medulla
oblongata oleh tiga serabut pita, yang disebut pedunkulus serebeli inferior
medial dan superior.
2)
Medula
Spinalis
Medula
spinalis berlanjut dengan medula oblongata diatas otak dan merrupakan sistem
saraf pusat dibawah otak. Struktur ini berawal pada foramen magnum dan berakhir
pada lumbal pertama tulang belakang, dengan panjang sekitar 45cm. Pada ujung
bagian bawah, ia berangsur angsur menghilang kedalam suatu bentuk kerucut, yang
dinamakan konus medularis dari ujung, tempat filum terminal turun ke kogsigis
yang dikelilingi oleh akar saraf, disebut kauda aquina. Medula spinalis
memiliki saraf-sarf yang berpasangan. Ketabalannya bervariasi, membengkak pada
daerah serviks dan lumbal, dimana kauda memprsarafi daerah tungkai. Medula
spinalis bercalah padaa bagian depan dan belakang dan hampir secara utuh
terbagi dalam dua sisi seperti serebrum.
Medula
spinalis terdiri dari masa abu-abu dibagian tengah. Masa putih mengandung
serabut yang terletak hanya diantara medula dan otak, tetapi tidak dijaringan
tubuh. Medula spinalis mengandung serabut sensorik dan motorik. Serabut motorik
: berjalan kebawah dan pusat motorik serebelum dan cerebelum ke sel-sel
motorik. Serabut sensorik : berjalan keatas dari sel-sel sensorik ke pusat
sensorik di otak. Massa abu-abu, pada irisan melintang, memiliki pola seperti
huruf H, dengan dua tonjolan kedepan pada setiap sisi, yang disebut kornu
posterior. Saraf kranial merupakan 12 saraf yang muncul pada inti dibatang otak.
Beberapa bersifat motorik, beberapa bersifat sensorik, dan beberapa bersifat
keduanya.
Saraf
spinalis ada 31 pasang saraf yang muncul di medulla spinalis. Tiap saraf
memiliki komponen motorik dan sensorik masing masing dibagian anterior dan
posterior medula, dan dua serabut saraf tersebut berjalan bersama-sama
meninggalkan meduula. Siatem saraf otonom, mengendalikan organ-organ internal,
bekerja dibawah kesadaran, tetapi dipengaruhi oleh emosi. Sarf kranial, saraf
spinalis, dan sistem saraf otonom yang disebutkan tadi membentuk siatem saraf
perifer.
3)
Meninges
Meninges ialah membran
protektif yang melapisi sistem saraf pusat. Ada tiga lapisan meninges, yaitu :
a)
Lapisan
luar, yang disebut durameter,
merupakan membran fibrosa kuat yang mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar
yang melapisi permukaan dalam tengkorak dan membentuk periosteum.
b)
Lapisan
tengah, Araknoid-mater adalah membran
halus langsung dibawah dura dan masuk diantara bagian-bagian otak.
c)
Lapisan
dalam, Piameter adalah membran
vaskular dan berhubungan dengan permukaan luar otak dan medula spinalis.
(Watson, 2002 ; 73-87).
b.
Sistem
saraf ferifer
Sistem saraf
ferifer meliputi seluryh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri
dari saraf kranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan
efektor. Secara fugsional, sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen
dan sistem eferen.
1)
Saraf
aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP.
2)
Saraf
eferen (motorik) mentrasmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem eferen dari
sistem saraf perifer memiliki dua subdivisi.
a)
Divisi
somatik (volunter) berkaitan dengan
perubahan lingkungan.
b)
Eksternal
dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.
c)
Divisi
otonom (involunter) mengendalikan
seluruh respons involunter pada otot polos, otot jantung, dan kelenjar dengan
cara mentransmisi impuls saraf melalui 2 jalur.
(1) Saraf Simpatis berasal dari area
toraks dan lumbal pada medulla spinalis.
(2) Saraf Parasimpatis berasal dari area
otak dan sakral pada medulla spinalis.
(3) Sebagian besar organ internal di
bawah kendali otonom memiliki inervasi simpatis dan parasimpatis (Sloane, 2004
; 154).
3.
Etiologi
Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala, penyebab lain yang mungkin
adalah jatuh, pemukulan, kecelakaan. (Nurachmah, 2000 ; 154).
Menurut Satyanegara
(2010 ; 193) mekanisme penyebab cedera kepala adalah kontak bentur dan
guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila
kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera
guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik
yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
Selanjutnya menurut Muttaqin (2008 ; 271), penyebab dari
cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau
energi yang diteruskan keotak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
4.
Insiden
Di Amerika Serikat, kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum
ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo,
untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera kepala berat (CKB), 5%-10%
cedera
kepala
sedang (CKS), sedangkan untuk cedera
kepala ringan (CKR) tidak ada yang meninggal
(http://willbenurse.com. Diakses 29 Juni 2014).
5.
Patofisologi
a.
Pukulan
langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi
pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan
mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup
injury).
b.
Rotasi/deselerasi
Fleksi, ektesi, atau
rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang
stenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi
putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan
intraserebral.
c.
Tabrakan
Otak sering kali
terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-anak dengan tengkorak yang
elastis).
d.
Peluru
Cenderung menyebabkan
hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah
akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan otak. Derajat cedera
otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah kekuatan yang mengenai
kepala. Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi sistem pernapasan
(hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas). Syok hipovolemik (cedera kepala tidak menyebabkan syok
hipovolemik). Perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi, dan
hidrosefalus (Grace, 2006 ;
91).
6.
Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang
ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
a.
Nyeri
menetap/setempat biasanya menunjukkan fraktur.
b.
Fraktur
pada kubah sentral menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
c.
Fraktur
pada basal tulang tengkorak, sering kali menyebabkan hemoralgi dari hidung, faring, telinga dan darah mungkin akan
terlihat pada konjungtiva.
d.
Ekimosis
mungkin trlihat diatas mastoid (battle
sign).
e.
Drainase
cairan cerebrospinal dari telinga dan hidung menandakan fraktur basal tulang
tengkorak.
f.
Drainase
CSF dapat menyebabkan infeksi serius yaitu meningitis melalui robekan
durameter.
g.
Cairan
cerebrospinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak kontusio
(Baughman, 2000 ; 65-66).
7.
Komplikasi
a.
Fraktur
tengkorak
Menunjukkan tingkat
keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali terjadi trauma
campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis (misalnya
farktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak).
b.
Perdarahan
intracranial
1)
Perdarahan
ekstradural : Robekan pada arteri meningea media. Hematoma diantara tengkorak
dan dura. Seringkali terdapat interval lucid sebelum terbukti tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
2)
Perdarahan
subdural akut : Robekan pada vena-vena diantara araknoid dan durameter.
Biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang
progresif.
3)
Hematoma
subdural kronis : Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang
akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi
penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala,
hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan darah
4)
Perdarahan
intraserebral : Perdarahan kedalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan
ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah cedera sekunder dengan memastikan
oksigenasi dan
nutrisi yang adekuat
(Grace, 2006 ; 93).
8.
Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
a.
Foto
Polos Kepala.
Foto polos kepala/otak
memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan
intracranial. Pada era CT scan foto polos kepala mulai
ditinggalkan.
b.
CT Scan Kepala.
CT scan kepala merupakan Standard baku untuk
mendeteksi perdarahan intracranial. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya
menjalani pemeriksaan CT Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan
dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti : Nyeri kepala hebat, adanya
tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah
lebih dari 1 kali, penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan
kesadaran atau amnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau mengunakan
obat-obat antikoagulan, gangguan orientasi, berbicara, membaca dan menulis,
rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan.
c.
MRI Kepala
MRI kepala, adalah tehnik pencitraan yang
lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan, kelainan yang tidak tampak pada CT
scan dapat dilihat oleh MRI. Namun dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama
dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat
darurat.
d.
PET atau SPECT.
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer TomographyI (SPECT)
mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT
scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun,
spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini,
penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan
(Dewanto, 2009 ; 16).
9.
Penatalaksanaan
a.
Survei
primer (Primary Survey)
1)
Jalan
Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus
dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada
kecurigaan fraktur servikal.
2)
Pernapasan.
Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan
kesimetrisan gerak dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan
auskultasi bunyi napas dikedua aksila.
3)
Sirkulasi. Resusitasi cairan
intravena, yaitu cairan isotonik, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin (20
ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
4)
Defisit neurologis. Status
neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS.
5)
Kontrol pemaparan/lingkungan.
Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Pasien dapat
dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan
intravena (yang telah dihangatkan sampai 39°C).
b.
Survey Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama
sejak kejadian cidera. Bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki
masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan
selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai
observasi tanda vital dan defisit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga
leher diindikasikan jika:
1)
Trauma kapitis berat, terdapat
fraktur klavikula dan jejas di leher.
2)
Nyeri pada leher atau kekakuan
pada leher
3)
Rasa baal pada lengan
4)
Gangguan keseimbangan atau
berjalan
5)
Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan
kelainan neurologis berupa:
1)
Penurunan kesadaran (menurut Glasgow coma scale) dari observasi awal
2)
Gangguan daya ingat
3)
Nyeri kepala hebat
4)
Mual dan muntah
5)
Kelainan neurologis fokal (pupil
anisokor, refleks patologis)
6)
Fraktur melalui foto kepala
maupun CT Scan
7)
Abnormalitas anatomi otak
berdasarkan CT Scan
Penderita dapat
meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah. Namun bila
tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus
dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status trauma kapitis yang dialami
menjadi trauma kapitis sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda. Jarak
antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita
diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat
langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala
ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH), maka indikasi
bedah adalah:
1)
Indikasi bedah pada EDH
a)
EDH simptomatik
b)
EDH asimtomatik akut berukuran
paling tebal > 1 cm
c)
EDH pada pasien pediatri
2)
Indikasi bedah pada SDH
a)
SDH simptomatik
b)
SDH dengan ketebalan > 1 cm
pada dewasa atau > 5mm pada pediatri (Dewanto, 2009 ; 17-18).
B.
Konsep Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
Data pengkajian yang dapat ditemukan pada penderita trauma kapitis
menurut Dongoes (2000 ; 270-272)
a.
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah,
lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan
kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap.
Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot,
otot spastik.
b.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan
darah atau normal (hipertensi).
Tanda :Perubahan frekwensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau
kepribadian (tenang atau
dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung,
delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinentia
kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan
mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah. Gangguan
menelan
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, lapang pandang menyempit.
Tanda
; Perubahan kesadaran sampai koma.
1)
Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
2)
Perubahan pupil (respon
terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
3)
Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran.
4)
Wajah tidak simetri.
5)
Genggaman lemah, tidak
seimbang.
6)
Refleks tendon dalam tidak ada
atau lemah.
7)
Apraksia, hemiparise,
quedreplegia.
8)
Postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang.
9)
Sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan.
10)
Kehilangan sensasi sebagian
tubuh.
g.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan
intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai,
respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa
beristirahat, merintih.
h. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola
napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor,
tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i.
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma
karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
1)
Gangguan penglihatan
2)
Kulit: laserasi, abrasi,
perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga
(merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).
3)
Gangguan kognitif.
4)
Gangguan rentang gerak, tonus
otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
5)
Demam, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
j.
Interaksi
Sosial
Tanda :
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria, anomia.
k. Pemenuhan Pembelajaran
Gejala : penggunaan alkohol/obnat
lain.
l.
Pertimbangan Rencana Pemulangan
:
Membutuhkan bantuan pada
perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan,
pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan penempatan
fasilitas lainnya di rumah.
m. Pemeriksaan Diagnostik
1)
Scan CT :
Tanpa/dengan
kontras: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan
karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pascatrauma.
2)
MRI :
Sama
dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.
3)
Angiografi serebral :
Menunjukan
kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
4)
EEG :
Untuk
memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis,
5)
Sinar X :
Mendeteksi
adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6)
BAER (Brain Auditori Evoked Respons). :
Menentuk fungsi
korteks dan batang otak.
7)
PET (Positron Emission Tomografi) :
Menunjukan
perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
8)
Pungsi Lumbal, CSS :
Dapat menduga
kemungkinan adanya perdarahan subarachniod
9)
GDA (Gas Darah Arteri) :
Mengetahuai
adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..
10) Kimia/Eolektrolit
Darah :
Mengetahui
ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
11) Pemeriksaan
Toksikologi :
Mendeteksi
obat yang mungkin bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Perubahan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
b.
Resiko tinggi terhadap pola
napas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan
persepsi akut kognitif, dan abstruksi trakeobronkial
c.
Perubahan persepsi sensori
berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi
(trauma atau deficit neurologis).
d.
Perubahan proses berpikir
berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis .
e.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif
f.
Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan trauma jaringan
g.
Gangguan pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, kelemahan
otot untuk mengunyah dan menelan,
h.
Perubahan proses keluarga
berhubungan dengan transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang
hasil/harapan.
i.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi;
keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000 ; 273).
3.
Perencanaan Keperawatan
a.
Diagnosa Keperawatan I
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma), edema serebral, perubahan TD
sistemik/hipoksia, dan
Tujuan :
1)
Mempertahanakan tingkat
kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan fungsi motorik/sensorik.
2)
Mendemonstrasikan tanda vital
stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Tabel 2.1 Perencanaan
diagnosa I
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan
perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
2.
Pantau status neurologis
secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya skala koma glascow).
3.
Evaluasi kemampuan membuka
mata, seperti spontan (sadar penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan
nyeri atau tetap tertutup.
4.
Kaji respon verbal: catat
apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu baik atau
malah bingung, menggunakan kata-kata yang tidak sesuai.
5.
Kaji respon motorik terhadap
perintah yang sederhanan
6.
Pantau TD (catat adanya
hipertensi sistolik secara terus menerus dan tekanan nadi yang semakin
berat).
7.
Anjurkan orang terdekat untuk
berbicara dengan pasien.
8.
Observasi adanya aktivitas
kejang dan lindungi pasien dari cedera.
9.
(Kolaborasi) tinggikan kepala
pasien 15-45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi.
|
1.
Menentukan pilihan
intervensi. Penurunan tanda/gejala
neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin
menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk
memantau kembali TIK.
2.
Mengkaji adanya kecenderungan
pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SPP.
3.
Menentukan tingkat kesadaran.
4.
Mengukur kesesuaian dalam
bicara dan menunjukkan tingkat kesadaran.
5.
Mengukur kesadaran secara
keseluruhan dan kemampuan dalam berespon pada rangsangan eksternal dan
merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik.
6.
Normalnya autoregulasi
mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan
darah sistemik.
7.
Ungkapan keluarga yang
menyenangkan pasien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa pasien koma
yang akan menurunkan TIK.
8.
Kejang dapat terjadi sebagai
akibat dari iritasi serebral, hipoksia atau peningkatan TIK dan kejang.
9.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya
peningkatan TIK.
|
b.
Diagnosa Keperawatan II
Resiko tinggi terhadap pola napas tak
efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi akut
kognitif, dan abstruksi trakeobronkial
Tujuan :Mempertahankan pola pernapasan
normal/efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal.
Tabel 2.2 Perencanaan
diagnosa II
Intervensi
|
Rasional
|
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat
ketidakteraturan pernapasan.
2.
Angkat kepala tempat tidur
sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
3.
Anjurkan pasien untuk
melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
4.
Auskultasi suara napas,
perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara tambahan yang tidak
normal (seperti krekels, ronki, mengi).
5.
Pantau penggunaan dari
obat-obat depresan pernapasan, seperti sedatif.
6.
Kolaborasi, lakukan ronsen
toraks ulang.
7.
Kolaborasi berikan oksigen.
|
1.
Perubahan dapat menandakan
awitan komplikasi pulmonal (umumnyua mengikuti cedera otak) atau menandakan
lokasi/luasnya keterlibatan otak.
2.
Untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
3.
Mencegah/menurunkan
atelektasis.
4.
Untuk mengidentifikasi adanya
masala paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan nafas yang
membahayakan oksigenasi serebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
5.
Dapat meningkatkan gangguan /
komplikasi pernapasan.
6.
Melihat kembali keadaan
ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang.
7.
Memaksimalkan oksigen pada
darah arteri dan membantu dalam pencegahan hopoksia.
|
c.
Diagnosa Keperawatan III
Perubahan persepsi sensori berhubungan
dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neurologis).
Tujuan :
1)
Melakukan
kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
2)
Mengakui perubahan dalam
kemampuan dan adanya keterlibatan residu
3)
Mendemonstrasikan perubahan
prilaku / gaya hidup untuk
mengkompensasi / deficit hasil.
Tabel 2.3 Perencanaan diagnosa III
Intervensi
|
Rasional
|
1. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan
berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses pikir.
2. Kaji kesadaran sensorik
seperti respons sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan dan letak tubuh.
3. Bicara dengan suara lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang pendek
dan sederhana.
4. Pastikan/validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
5. Berikan stimulasi yang bermanfaat: verbal (berbincang-bincang
dengan pasien), penciuman (seperti terhadap kopi atsu minyak tertentu),
taktil (sentuhan, memegang tangan pasien), dan pendengaran (dengan tape,
televisi, radio, pengunjung dan sebagainya).
6. Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa ada
gangguan.
7.
Kolaborasi, rujuk pada ahli
fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.
|
1. Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh
adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.
2. Informasi penting untuk keamanan pasien.
3. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian/pemahaman selama
fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
4. Membantu pasien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan
persepsi.
5. Pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk
menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi
kognitifnya.
6. Mengurangi kelelahan, mence-gah kejenuhan, memberikan kesempatan
untuk tidur REM.
7. Pendekatan antardisiplin dapat menciptakan rencana piñata-laksanaan
terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara
individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi
fisik, kognitif, dan keterampilan perseptual.
|
d.
Diagnosa Keperawatan IV
Perubahan proses berpikir berhubungan dengan
perubahan fisiologis, konflik psikologis .
Tujuan : 1) Mempertahankan atau melakukan kembali atau
orientasi mental dan realitas biasanya
2). Mengenali perubahan berpikir/prlaku.
Tabel
2.4 Perencanaan diagnosa IV
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji rentang perhatian, kebingungan dan catat
tingkat ansietas pasien.
2.
Pastikan dengan orang
terdekat untuk membandingkan kepribadian/tingkah laku pasien sebelum
mengalami trauma dengan respons pasien sekarang.
3.
Kurangi stimulus yang
merangsang, kritik yang negatif, argumentasi dan konfrontasi.
4.
Instruksikan untuk melakukan
teknik relaksasi. Berikan aktivitas yang beragam.
5.
Hindari meninggalkan pasien
sendirian ketika mengalami agitasi, gelisah, atau berontak.
6.
Kolaborasi,
koordinasikan/ikutsertakan pada pelatihan kognitif atau program rehabilitasi
sesuai indikasi.
7.
Rujuk kepada
kelompok-kelompok penyokong seperti asosiasi cedera kepala, pelayanan social
(jika ada).
|
1.
Rentang perhatian/kemampuan
untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan
merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses piker
pasien.
2.
Masa pemulihan cedera kepala
meliputi fase agitasi, respons marah, dan berbicara/proses piker yang kacau.
3.
Menurunkan resiko terjadinya
respons pertengkaran atau penolakan.
4.
Dapat membantu untuk
memfokuskan kembali perhatian pasien dan untuk menurunkan ansietas pada
tingkat yang dapat ditanggulangi.
5.
Ansietas dapat
mengakibatkan kehilangan control dan
peningkatan kepanikan.
6.
Membantu dengan metode
pengajaran yang baik untuk kompensasi gangguan pada kemampuan berfikir dan
mengatasi masalah konsentrasi, memori, daya penilaian dan menyelesaikan
masalah.
7.
Bantuan tambahan mungkin
bermanfaat dalam menyokong upaya-upaya pemulihan.
|
e.
Diagnosa Keperawatan V
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan.
Tujuan :1) Melakukan kembali/mempertahankan posisi
fungsi optimal dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur
1)
Mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang sakit.
2)
Mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas.
3)
Mempertahankan integritas
kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Tabel
2.5 Perencanaan Diagnosa V
Intervensi
|
Rasional
|
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi.
2. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan
karena tekanan.
3. Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
4. Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan
alat mobilisasi.
5. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab,
dang anti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap
bersih dan bebas dari kerutan.
6. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine.
7. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi. kemampuan
klien untuk melakukan aktivitas.
|
1.
Mengidentifikasi kemungkinan
kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan
dilakukan.
2.
Perubahan posisi yang teratur
menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada
seluruh bagian tubuh.
3.
Mempertahankan mobilisasi dan
fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang
statis.
4.
Proses penyembuhan yang
lambat seringkali menyertai trauma kepala dan pemulihan secara fisik
merupakan bagian yang amat penting dari suatu program pemulihan tersebut.
5.
Meningkatkan sirkulasi dan
elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya ekskoriasi kulit.
6.
Pemakaian polikateter selama
fase akut mungkin dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang sebelum
memungkinkan untuk melakukan latihan kandung kemih.
7.
Sesaat setelah fase akut
cedera kepala dan jika pasien tidak memiliki faktor kontraindikasi yang lain,
pemberian cairan yang memadai akan menurunkan resiko terjadinya infeksi
saluran kemih.
|
f.
Diagnosa Keperawatan VI
Resiko tinggi terhadap
infeksi berhubungan dengan trauma jaringan; kekurangan nutrisi; respon
inflamasi tertekan.
Tujuan :
1)
Klien akan mempertahankan
normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
2)
Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu bila ada.
Table 2.6 Perencanaan diagnosa VI
Intervensi
|
Rasional
|
1. Berikan perawatan aseptic dan antiseptic, pertahankan teknik cuci
tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan).
Catat adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur.
4. Berikan perawatan perineal.
5. Observasi warna/kejernihan urine.
6. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.
7. Kolaborasi, berikan antibiotic sesuai indikasi.
|
1. Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3. Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4. Menurunkan kemungkinan terjadinya pewrtumbuhan bakteri atau infeksi
yang merambah naik.
5. Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih
yang memerlukan tindakan dengan segera.
6. Menurunkan pemajanan terhadap ”pembawa kuman penyebab infeksi.”
7.
Terapi profilaktif dapat
digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
|
g.
Diagnosa Keperawatan VII
Gangguan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan : 1) Klien akan mendemonstrasikan
pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
2)
Tidak mengalami tanda-tanda
malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
Table
2.7 Perencanaan diagnosa VII
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji kemampuan pasien
mengunyah, menelan, dan mengatasi sekresi.
2.
Auskultasi bising usus, catat
adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
3. Timbang berat badan sesuai indikasi.
4.
Berikan makan dalam jumlah
kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
5.
Tingkatkan kenyamanan,
lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.
6.
Kaji feses, cairan lambung,
muntah darah dan sebagainya.
7.
Konsultasi dengan ahli gizi.
|
1.
Faktor ini menentukan
pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari
aspirasi.
2.
Fungsi saluran pencernaan
biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala, jadi bising usus membantu dalam
menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi, seperti
paralitik ileus.
3.
Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan
mengubah pemberian nutrisi.
4.
Meningkatkan proses pencer-naan
dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan.
5.
Meskipun proses pemilihan
pasien memerlukan bantuan makan dan/atau menggunakan alat bantu, sosialisasi waktu makan
dengan orang terdekat atau teman dapat
meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
6.
Perdarahan subakut/akut dapat
terjadi dan perlu intervensi dan metode alternative pemberian makanan.
7.
Merupakan sumber yang efektif
untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat
badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang.
|
h.
Diagnosa Keperawatan VIII
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis
situasional; ketidakpastian tentang hasil/harapan.
Tujuan :1) Klien
akan mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat.
1)
Mengidentifikasi sumber-sumber
internal dan eksternal untuk menghadapi situasi.
2)
Mengarahkan energy dalam cara
yang bertujuan untuk merncanakan resolusi krisis.
3)
Mendorong dan memungkinkan
anggota yang cedera untuk maju ke arah kemandirian.
Tabel
2.8 Perencanaan diagnosa VIII
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Catat bagian-bagian dari unit
keluarga, keberadaan/keterlibatan system pendukung.
2.
Dengarkan pasien dengan penuh
perhatian selama pasien mengungkapkan hal yang membuatnya gelisah.
3.
Anjurkan untuk mengakui
perasaannya.
4.
Berikan penguatan awal
terhadap penjelasan tentang luasnya trauma, rencana pengobatan dan
prognosisnya.
5.
Evaluasi/diskusikan
harapan/tujuan keluarga.
6.
Demonstrasikan dan anjurkan
penggunaan keterampilan penanganan stress, seperti teknik relaksasi, latihan
bernapas, visualisasi.
7.
Kolaborasi, libatkan keluarga
dalam pertemuan tim rehabilitasi dan perencanaan perawatan/pengambilan
keputusan.
|
1.
Menentukan adanya sumber
keluarga dan mengidentifikasikan hal-hal yang diperlukan.
2.
Kegembiraan dapat berubah
menjadi kesedihan/kemarahan akan kehilangan.
3.
Karena hal tersebut tidak mun
gkin untuk diperkirakan hasilnya.
4.
Pasien /orang terdekat tidak
dapat menyerap/memahami semua informasi yang diberikan dan hambatan dapat
terjadi sebagai akibat dari emosi karena trauma.
5.
Keluarga mungkin percaya
bahwa pasien akan hidup, rehabilitasi akan sangat dibutuhkan untuk
pengobatannya.
6.
Membantu mengarahkan
perhatian terhadap vitalitas sendiri
untuk meningkatkan kemampuan koping seseorang.
7.
Memfasilitasi komunikasi,
memungkinkan keluarga untuk menjadi bagian integral dari rehabilitasi dan
memberikan rasa kontrol.
|
i.
Diagnosa Keperawatan IX
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi; keterbatasan kognitif.
Tujuan : 1) Klien akan berpartisipasi dalam belajar.
1)
Mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi
2)
Memulai perubahan gaya hidup
baru dan/atau keterlibatan dalam program rehabilitasi.
3)
Melakukan prosedur yang
diperlukan degnan benar.
Table
2.9 Perencanaan diagnosa IX
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Evaluasi kemampuan dan
kesiapan untuk belajar dari pasien dan keluarganya.
2.
Berikan kembali informasi
yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
3.
Diskusikan rencana untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4.
Berikan instruksi dalam
bentuk tulisan dan jadwal mengenai
aktivitas, obat-obatan dan factor-faktor penting lainnya.
5.
Identifikasi tanda/gejala
adanya faktor resiko secara individual, seperti kebocoran CSS yang lama,
kejang pasca trauma.
|
1.
Memungkinkan untuk
menyampaikan bahan yang didasarkan
atas kebutuhan secara individual.
2.
Membantu dalam menciptakan
harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan
kebutuhannya.
3.
Berbagai tingkat bantuan
mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
4.
Memberikan penguatan visual
dan rujukan setelah sembuh.
5.
Mengenal berkembangnya
masalah memberikan kesempatan untuk mengevaluasi dan intervensi lebih awal
untuk mencegah terjadinya komplikasi yang serius.
|
4.
Implementasi
Dilaksanakan sesuai dengan intervensi atau perencanaan dan prioritas masalah.
5.
Evaluasi
Mengacu pada kriteria tujuan yaitu sebagai berikut:
a.
Diagnosa Keperawatan I
1)
Mempertahanakan tingkat
kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan fungsi motorik/sensorik.
2)
Mendemonstrasikan tanda vital
stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK
b.
Diagnosa Keperawatan II
Mempertahankan pola
pernapasan normal/efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal.
c.
Diagnosa Keperawatan III
1)
Melakukan
kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
2)
Mengakui perubahan dalam kemampuan
dan adanya keterlibatan
residu
3)
Mendemonstrasikan perubahan
prilaku / gaya hidup untuk
mengkompensasi / deficit hasil.
d.
Diagnosa Keperawatan IV
1)
Mempertahankan atau melakukan
kembali atau orientasi mental dan realitas biasanya
2)
Mengenali perubahan
berpikir/prlaku.
e.
Diagnosa Keperawatan V
1)
Melakukan
kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibukti-kan oleh tidak adanya
kontraktur
2)
Mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang sakit.
3)
Mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang memungkinkan dilaku-kannya kembali aktivitas.
4)
Mempertahankan integritas
kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
f.
Diagnosa Keperawatan VI
1)
Klien akan mempertahankan
normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
2)
Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu bila ada.
g.
Diagnosa Keperawatan VII
3)
Klien akan mendemonstrasikan
pemeliharaan / kemajuan pening-
katan berat badan sesuai tujuan.
4)
Tidak mengalami tanda-tanda
malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
h.
Diagnosa Keperawatan VIII
1)
Klien akan mulai
mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat.
2)
Mengidentifikasi sumber-sumber
internal dan eksternal untuk menghadapi situasi.
3)
Mengarahkan energi dalam cara
yang bertujuan untuk merncanakan resolusi krisis.
4)
Mendorong dan memungkinkan
anggota yang cedera untuk maju ke arah kemandirian.
i.
Diagnosa Keperawatan IX
1)
Klien akan berpartisipasi dalam
belajar.
2)
Mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi (Doengoes, 2000 ; 273-289).
No comments:
Post a Comment