Tuesday 19 December 2017

KTI ASKEP TRAUMA KAPITIS BAB II


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Konsep Dasar Medis

1.         Pengertian

a.         Trauma Kapitis merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000 ; 3).

b.        Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam (Batticaca, 2008 ; 96).

c.         Trauma Kapitis adalah cedera pada kepala mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemik sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan (Baughman, 2000 ; 65).

d.        Cedera Kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2006 ; 91).
e.        
8
Pada umumnya Cedara Kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan lanjut (Satyanegara, 2010 ; 193).
Adapun klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera menurut Mansjoer (2000 ; 3) yaitu :
a.         Mekanisme berdasakan adanya penetrasi durameter.
1)        Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) dan Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
2)        Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya).
b.        Keparahan cedera
1)        Ringan :Skala Koma Glasglow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15
2)        Sedang : GCS 9-13
3)        Berat    : GCS 3-8
c.         Morfologi
1)        Fraktur tengkorak :
Kranium : Linear/stelatum; depresi/non    depresi; terbuaka/tertutup.
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
Dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
2)        Lesi Intrakranial     :
Fokal: epidural, subdural, intraserebral
Disfus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

2.         Anatomi  Fisiologi

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf lingkungan internal dan stimulus eksternal dipanatu dan diatur. Kemampuan khusus seperti iritabilitas atau sensitivitas terhadap stimulus dan konduktivitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus, diatur oleh saraf dalam tiga cara utama yaitu :    (1) Input sensorik : Sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui resptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (resptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). (2) Aktivitas integratif : Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis yang kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus sehingga respon terhadap informasi bisa terjadi.     (3) Output motorik : Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respons yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2004 ; 154).

a.         Sistem saraf pusat
1)        Otak

Gambar 2.1 :  Anatomi system saraf pusat

Sumber : (http://supersuga.files.wordpress.com)  Diekses 29 Juni 2014.

Otak yang sudah berkembang penuh merupakan sebuah organ besar yang terletak didalam rongga tengkorak. Pada perkembangan awal, otak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
Otak depan merupakan bagian terbesar dan disebut serebrum, yang dibagi dalam dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, oleh fisura longitudinal. Lapisan luar serebrum disebut korteks serebri dan tersusun atas badan abu-abu (badan sel) yang berlipat-lipat yang disebut giri, yang dipisahkan oleh fisura yang disebutsulci.
Otak tengah terletak di antara otak depan dan otak belakang. Panjangnya kira-kira 2 cm dan terdiri atas dua buah pita seperti tangkai dari bahan putih, yang disebut pedunkulus serebeli, yang membawa impuls melewati dan berasal dari otak dan medula spinalis dan empat tonjolan kecil, yang disebut badan kuadrigeminal, yang berperan dalam refleks penglihatan dan pendengaran. Badan pineal terletak di antara dua badan kuadrigeminal bagian atas.
Otak belakang terdiri atas tiga bagian :
a)         Pons, terletak diantara otak tengah bagian atas dan medula oblongata bagian bawah. Pons mengandung serabut saraf yang membawa impuls ke atas dan ke bawah dan beberapa serabut yang menyatu dengan serebelum.
b)        Medula oblongata, terletak antara pons dibagian atas dan medulla spinalis bagian bawah. Struktur ini berisi pusat jantung dan pernapasan dan juga diketahui sebagai pusat vital yang mengontrol jantung dan pernapasan.
c)         Serebelum, terletak dibagian bawah lobus oksipital serebrum. Serebrum dihubungkan dengan otak tengah, pons, dan medulla oblongata oleh tiga serabut pita, yang disebut pedunkulus serebeli inferior medial dan superior.
2)        Medula Spinalis
Medula spinalis berlanjut dengan medula oblongata diatas otak dan merrupakan sistem saraf pusat dibawah otak. Struktur ini berawal pada foramen magnum dan berakhir pada lumbal pertama tulang belakang, dengan panjang sekitar 45cm. Pada ujung bagian bawah, ia berangsur angsur menghilang kedalam suatu bentuk kerucut, yang dinamakan konus medularis dari ujung, tempat filum terminal turun ke kogsigis yang dikelilingi oleh akar saraf, disebut kauda aquina. Medula spinalis memiliki saraf-sarf yang berpasangan. Ketabalannya bervariasi, membengkak pada daerah serviks dan lumbal, dimana kauda memprsarafi daerah tungkai. Medula spinalis bercalah padaa bagian depan dan belakang dan hampir  secara utuh terbagi dalam dua sisi seperti serebrum.
Medula spinalis terdiri dari masa abu-abu dibagian tengah. Masa putih mengandung serabut yang terletak hanya diantara medula dan otak, tetapi tidak dijaringan tubuh. Medula spinalis mengandung serabut sensorik dan motorik. Serabut motorik : berjalan kebawah dan pusat motorik serebelum dan cerebelum ke sel-sel motorik. Serabut sensorik : berjalan keatas dari sel-sel sensorik ke pusat sensorik di otak. Massa abu-abu, pada irisan melintang, memiliki pola seperti huruf H, dengan dua tonjolan kedepan pada setiap sisi, yang disebut kornu posterior. Saraf kranial merupakan 12 saraf yang muncul pada inti dibatang otak. Beberapa bersifat motorik, beberapa bersifat sensorik, dan beberapa bersifat keduanya.
Saraf spinalis ada 31 pasang saraf yang muncul di medulla spinalis. Tiap saraf memiliki komponen motorik dan sensorik masing masing dibagian anterior dan posterior medula, dan dua serabut saraf tersebut berjalan bersama-sama meninggalkan meduula. Siatem saraf otonom, mengendalikan organ-organ internal, bekerja dibawah kesadaran, tetapi dipengaruhi oleh emosi. Sarf kranial, saraf spinalis, dan sistem saraf otonom yang disebutkan tadi membentuk siatem saraf perifer.
3)        Meninges
Meninges ialah membran protektif yang melapisi sistem saraf pusat. Ada tiga lapisan meninges, yaitu :
a)         Lapisan luar, yang disebut durameter, merupakan membran fibrosa kuat yang mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar yang melapisi permukaan dalam tengkorak dan membentuk periosteum.
b)        Lapisan tengah, Araknoid-mater adalah membran halus langsung dibawah dura dan masuk diantara bagian-bagian otak.
c)         Lapisan dalam, Piameter adalah membran vaskular dan berhubungan dengan permukaan luar otak dan medula spinalis. (Watson, 2002 ; 73-87).
b.        Sistem saraf ferifer
Sistem saraf ferifer meliputi seluryh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf kranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fugsional, sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen.
1)        Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP.
2)        Saraf eferen (motorik) mentrasmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua subdivisi.
a)         Divisi somatik (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan.
b)        Eksternal dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.
c)         Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respons involunter pada otot polos, otot jantung, dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui 2 jalur.
(1)     Saraf Simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis.
(2)     Saraf Parasimpatis berasal dari area otak dan sakral pada medulla spinalis.
(3)     Sebagian besar organ internal di bawah kendali otonom memiliki inervasi simpatis dan parasimpatis (Sloane, 2004 ; 154).

3.         Etiologi

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala, penyebab lain yang mungkin adalah jatuh, pemukulan, kecelakaan. (Nurachmah, 2000 ; 154).
Menurut Satyanegara (2010 ; 193) mekanisme penyebab cedera kepala adalah kontak bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
Selanjutnya menurut Muttaqin (2008 ; 271), penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan keotak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
4.         Insiden
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal  sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).  Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera kepala berat  (CKB),  5%-10%  cedera  kepala sedang (CKS), sedangkan untuk cedera kepala ringan (CKR) tidak ada yang meninggal (http://willbenurse.com. Diakses 29 Juni 2014).
5.         Patofisologi
a.         Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury).
b.        Rotasi/deselerasi
Fleksi, ektesi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang stenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
c.         Tabrakan
Otak sering kali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis).
d.        Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan otak. Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah kekuatan yang mengenai kepala. Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi sistem pernapasan (hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas). Syok hipovolemik (cedera kepala tidak menyebabkan syok hipovolemik). Perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi, dan hidrosefalus (Grace, 2006 ; 91).

6.         Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
a.         Nyeri menetap/setempat biasanya menunjukkan fraktur.
b.        Fraktur pada kubah sentral menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
c.         Fraktur pada basal tulang tengkorak, sering kali menyebabkan hemoralgi dari hidung, faring, telinga dan darah mungkin akan terlihat pada konjungtiva.
d.        Ekimosis mungkin trlihat diatas mastoid (battle sign).
e.         Drainase cairan cerebrospinal dari telinga dan hidung menandakan fraktur basal tulang tengkorak.
f.         Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius yaitu meningitis melalui robekan durameter.
g.        Cairan cerebrospinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak kontusio (Baughman, 2000 ; 65-66).

7.         Komplikasi

a.         Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali terjadi trauma campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis (misalnya farktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak).
b.        Perdarahan intracranial
1)        Perdarahan ekstradural : Robekan pada arteri meningea media. Hematoma diantara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat interval lucid sebelum terbukti tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
2)        Perdarahan subdural akut : Robekan pada vena-vena diantara araknoid dan durameter. Biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang progresif.
3)        Hematoma subdural kronis : Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan darah
4)        Perdarahan intraserebral : Perdarahan kedalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah   cedera   sekunder  dengan  memastikan  oksigenasi  dan
nutrisi yang adekuat (Grace, 2006 ; 93).

8.         Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang

a.         Foto Polos Kepala.
Foto polos kepala/otak memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto polos kepala mulai ditinggalkan.
b.        CT Scan Kepala.
CT scan kepala merupakan Standard baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti : Nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali, penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan, gangguan orientasi, berbicara, membaca dan menulis, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan.
c.         MRI Kepala
MRI kepala, adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat
darurat.
d.        PET atau SPECT.
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan (Dewanto, 2009 ; 16).

9.         Penatalaksanaan

a.         Survei primer (Primary Survey)
1)        Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2)        Pernapasan. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerak dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas dikedua aksila.
3)        Sirkulasi. Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonik, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
4)        Defisit neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS.
5)        Kontrol pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 39°C).
b.        Survey Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cidera. Bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
1)        Trauma kapitis berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher.
2)        Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
3)        Rasa baal pada lengan
4)        Gangguan keseimbangan atau berjalan
5)        Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:
1)        Penurunan kesadaran (menurut Glasgow coma scale) dari observasi awal
2)        Gangguan daya ingat
3)        Nyeri kepala hebat
4)        Mual dan muntah
5)        Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, refleks patologis)
6)        Fraktur melalui foto kepala maupun CT Scan
7)        Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT Scan
Penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah. Namun bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status trauma kapitis yang dialami menjadi trauma kapitis sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda. Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
1)        Indikasi bedah pada EDH
a)         EDH simptomatik
b)        EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1 cm
c)         EDH pada pasien pediatri
2)        Indikasi bedah pada SDH
a)         SDH simptomatik
b)        SDH dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5mm pada pediatri (Dewanto, 2009 ; 17-18).

B.       Konsep Asuhan Keperawatan
1.         Pengkajian
Data pengkajian yang dapat ditemukan pada penderita trauma kapitis menurut  Dongoes (2000 ; 270-272)
a.       Aktivitas/Istirahat
Gejala  :           Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda :           Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
b.      Sirkulasi
Gejala :           Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Tanda             :Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c.       Integritas Ego
Gejala :           Perubahan  tingkah  laku  atau kepribadian (tenang atau   
                        dramatis).
Tanda             : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,   depresi dan impulsif.
d.      Eliminasi
Gejala :           Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.       Makanan/Cairan
Gejala :           Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda :           Muntah. Gangguan menelan
f.       Neurosensori
Gejala :           Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, lapang pandang menyempit.
Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.
1)        Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2)        Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
3)        Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
4)        Wajah tidak simetri.
5)        Genggaman lemah, tidak seimbang.
6)        Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.
7)        Apraksia, hemiparise, quedreplegia.
8)        Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.
9)        Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
10)    Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g.      Nyeri/Kenyamanan
Gejala :           Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda :           Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
h.      Pernapasan
Tanda :           Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i.        Keamanan
Gejala :           Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :           Fraktur/dislokasi.
1)      Gangguan penglihatan
2)      Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan  (drainase) dari telinga/hidung  (CSS).
3)      Gangguan kognitif.
4)      Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
5)      Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.        Interaksi Sosial
Tanda             : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
k.      Pemenuhan Pembelajaran
Gejala :           penggunaan alkohol/obnat lain.
l.        Pertimbangan Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan penempatan fasilitas lainnya di rumah.
m.    Pemeriksaan Diagnostik
1)      Scan CT :
Tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pascatrauma.
2)      MRI : 
Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.

3)      Angiografi serebral :
Menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4)      EEG :
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis,
5)      Sinar X :
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6)      BAER (Brain Auditori Evoked Respons). :
Menentuk fungsi korteks dan batang otak.
7)      PET (Positron Emission Tomografi) :
Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
8)      Pungsi Lumbal, CSS :
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachniod
9)      GDA (Gas Darah Arteri) :
Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..
10)  Kimia/Eolektrolit Darah :
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
11)  Pemeriksaan Toksikologi  :
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
2.         Diagnosa Keperawatan
a.         Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
b.        Resiko tinggi terhadap pola napas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi akut kognitif, dan abstruksi trakeobronkial
c.         Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau deficit neurologis).
d.        Perubahan proses berpikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis .
e.         Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif
f.         Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
g.        Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan,
h.        Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang hasil/harapan.
i.          Kurang  pengetahuan   mengenai   kondisi  dan   kebutuhan   pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi; keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000 ; 273).
3.         Perencanaan Keperawatan
a.         Diagnosa Keperawatan I
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma), edema serebral, perubahan TD sistemik/hipoksia, dan
Tujuan :
1)        Mempertahanakan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan fungsi motorik/sensorik.
2)        Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Tabel 2.1  Perencanaan diagnosa I
Intervensi
Rasional
1.     Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.


2.     Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya skala koma glascow).



3.    Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri atau tetap tertutup.

4.    Kaji respon verbal: catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu baik atau malah bingung, menggunakan kata-kata yang tidak sesuai.

5.    Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhanan



6.     Pantau TD (catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tekanan nadi yang semakin berat).

7.    Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan pasien.




8.     Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera.

9.     (Kolaborasi) tinggikan kepala pasien 15-45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi.


1.    Menentukan pilihan intervensi. Penurunan  tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau kembali TIK.
2.    Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SPP.

3.    Menentukan tingkat kesadaran.





4.    Mengukur kesesuaian dalam bicara dan menunjukkan tingkat kesadaran.





5.    Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan dalam berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik.
6.    Normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik.
7.    Ungkapan keluarga yang menyenangkan pasien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa pasien koma yang akan menurunkan TIK.

8.     Kejang dapat terjadi sebagai akibat dari iritasi serebral, hipoksia atau peningkatan TIK dan kejang.

9.     Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK.

b.        Diagnosa Keperawatan II
Resiko tinggi terhadap pola napas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi akut kognitif, dan abstruksi trakeobronkial
Tujuan      :Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal.



Tabel 2.2  Perencanaan diagnosa II
Intervensi
Rasional
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.


2.     Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.


3.     Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
4.     Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara tambahan yang tidak normal (seperti krekels, ronki, mengi).

5.     Pantau penggunaan dari obat-obat depresan pernapasan, seperti sedatif.
6.     Kolaborasi, lakukan ronsen toraks ulang.

7.     Kolaborasi berikan oksigen.
1.     Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnyua mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak.
2.     Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
3.     Mencegah/menurunkan atelektasis.

4.     Untuk mengidentifikasi adanya masala paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi serebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
5.     Dapat meningkatkan gangguan / komplikasi pernapasan.

6.     Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang.
7.     Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hopoksia.

c.         Diagnosa Keperawatan III
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Tujuan    :
1)        Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
2)        Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu
3)        Mendemonstrasikan perubahan prilaku / gaya hidup untuk  mengkompensasi / deficit hasil.
Tabel 2.3  Perencanaan diagnosa III
Intervensi
Rasional
1.     Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses pikir.
2.     Kaji kesadaran sensorik seperti respons sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh.

3.     Bicara dengan suara lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang pendek dan sederhana.




4.     Pastikan/validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.

5.     Berikan stimulasi yang bermanfaat: verbal (berbincang-bincang dengan pasien), penciuman (seperti terhadap kopi atsu minyak tertentu), taktil (sentuhan, memegang tangan pasien), dan pendengaran (dengan tape, televisi, radio, pengunjung dan sebagainya).

6.     Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa ada gangguan.

7.     Kolaborasi, rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.
1.  Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.

2.  Informasi penting untuk keamanan pasien.




3.  Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian/pemahaman selama fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien  untuk memunculkan komunikasi.
4.  Membantu pasien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi.
5.  Pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi kognitifnya.





6.  Mengurangi kelelahan, mence-gah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM.

7.  Pendekatan antardisiplin dapat menciptakan rencana piñata-laksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan perseptual.

d.        Diagnosa Keperawatan IV
Perubahan proses berpikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis .
Tujuan : 1) Mempertahankan atau melakukan kembali atau orientasi mental dan realitas biasanya
                 2). Mengenali perubahan berpikir/prlaku.
Tabel 2.4  Perencanaan diagnosa IV
Intervensi
Rasional
1. Kaji rentang perhatian, kebingungan dan catat tingkat ansietas pasien.





2.    Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian/tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respons pasien sekarang.
3.    Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi dan konfrontasi.
4.    Instruksikan untuk melakukan teknik relaksasi. Berikan aktivitas yang beragam.



5.    Hindari meninggalkan pasien sendirian ketika mengalami agitasi, gelisah, atau berontak.
6.    Kolaborasi, koordinasikan/ikutsertakan pada pelatihan kognitif atau program rehabilitasi sesuai indikasi.




7.    Rujuk kepada kelompok-kelompok penyokong seperti asosiasi cedera kepala, pelayanan social (jika ada).
1.     Rentang perhatian/kemampuan untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses piker pasien.

2.     Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi, respons marah, dan berbicara/proses piker yang kacau.

3.     Menurunkan resiko terjadinya respons pertengkaran atau penolakan.
4.     Dapat membantu untuk memfokuskan kembali perhatian pasien dan untuk menurunkan ansietas pada tingkat yang dapat ditanggulangi.
5.     Ansietas dapat mengakibatkan  kehilangan control dan peningkatan kepanikan.
6.     Membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk kompensasi gangguan pada kemampuan berfikir dan mengatasi masalah konsentrasi, memori, daya penilaian dan menyelesaikan masalah.
7.    Bantuan tambahan mungkin bermanfaat dalam menyokong upaya-upaya pemulihan.

e.         Diagnosa Keperawatan V 
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan.
Tujuan   :1) Melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur
1)   Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang sakit.
2)   Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas.
3)   Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Tabel 2.5  Perencanaan Diagnosa V
Intervensi
Rasional
1.     Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.

2.     Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.


3.     Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.


4.     Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.



5.     Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, dang anti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan.
6.     Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine.





7.     Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.  kemampuan klien untuk melakukan aktivitas.



1.    Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2.    Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
3.    Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
4.    Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari suatu program pemulihan tersebut.
5.    Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya ekskoriasi kulit.


6.    Pemakaian polikateter selama fase akut mungkin dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk melakukan latihan kandung kemih.
7.    Sesaat setelah fase akut cedera kepala dan jika pasien tidak memiliki faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih.

f.         Diagnosa Keperawatan VI       
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan; kekurangan nutrisi; respon inflamasi tertekan.
                     Tujuan    :
1)        Klien akan mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
2)        Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Table 2.6  Perencanaan diagnosa VI
Intervensi
Rasional
1.     Berikan perawatan aseptic dan antiseptic, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2.     Observasi daerah kulit yang mengalami  kerusakan (seperti luka, garis jahitan). Catat adanya inflamasi.

3.     Pantau suhu tubuh secara teratur.


4.     Berikan perawatan perineal.


5.     Observasi warna/kejernihan urine.


6.     Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.

7.     Kolaborasi, berikan antibiotic sesuai indikasi.
1.     Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

2.     Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3.     Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4.     Menurunkan kemungkinan terjadinya pewrtumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik.
5.     Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera.
6.     Menurunkan pemajanan terhadap ”pembawa kuman penyebab infeksi.”
7.     Terapi profilaktif dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.






g.        Diagnosa Keperawatan VII
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan :    1)    Klien akan mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
2)        Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
Table 2.7  Perencanaan diagnosa VII
Intervensi
Rasional
1.   Kaji kemampuan pasien mengunyah, menelan, dan mengatasi sekresi.

2.   Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.




3.   Timbang berat badan sesuai indikasi.

4.   Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur. 


5.   Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.





6.   Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.


7.   Konsultasi dengan ahli gizi.


1.    Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
2.    Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala, jadi bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi, seperti paralitik ileus.
3.     Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4.    Meningkatkan proses pencer-naan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
5.    Meskipun proses pemilihan pasien memerlukan bantuan makan dan/atau menggunakan  alat bantu, sosialisasi waktu makan dengan  orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
6.    Perdarahan subakut/akut dapat terjadi dan perlu intervensi dan metode alternative pemberian makanan.
7.     Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang.

h.        Diagnosa Keperawatan VIII 
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang hasil/harapan.
Tujuan      :1)  Klien akan mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat.
1)        Mengidentifikasi sumber-sumber internal dan eksternal untuk menghadapi situasi.
2)        Mengarahkan energy dalam cara yang bertujuan untuk merncanakan resolusi krisis.
3)        Mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju ke arah kemandirian.
Tabel 2.8  Perencanaan diagnosa VIII
Intervensi
Rasional
1.    Catat bagian-bagian dari unit keluarga, keberadaan/keterlibatan system pendukung.
2.    Dengarkan pasien dengan penuh perhatian selama pasien mengungkapkan hal yang membuatnya gelisah.
3.    Anjurkan untuk mengakui perasaannya.

4.    Berikan penguatan awal terhadap penjelasan tentang luasnya trauma, rencana pengobatan dan prognosisnya.


5.    Evaluasi/diskusikan harapan/tujuan keluarga.



6.    Demonstrasikan dan anjurkan penggunaan keterampilan penanganan stress, seperti teknik relaksasi, latihan bernapas, visualisasi.

7.   Kolaborasi, libatkan keluarga dalam pertemuan tim rehabilitasi dan perencanaan perawatan/pengambilan keputusan.
1.       Menentukan adanya sumber keluarga dan mengidentifikasikan hal-hal yang diperlukan.
2.       Kegembiraan dapat berubah menjadi kesedihan/kemarahan akan kehilangan.

3.       Karena hal tersebut tidak mun gkin untuk diperkirakan hasilnya.
4.       Pasien /orang terdekat tidak dapat menyerap/memahami semua informasi yang diberikan dan hambatan dapat terjadi sebagai akibat dari emosi karena trauma.
5.       Keluarga mungkin percaya bahwa pasien akan hidup, rehabilitasi akan sangat dibutuhkan untuk pengobatannya.
6.       Membantu mengarahkan perhatian  terhadap vitalitas sendiri untuk meningkatkan kemampuan koping seseorang.

7.       Memfasilitasi komunikasi, memungkinkan keluarga untuk menjadi bagian integral dari rehabilitasi dan memberikan rasa kontrol.

i.          Diagnosa Keperawatan IX 
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang   pemajanan,  tidak  mengenal  informasi; keterbatasan kognitif. 
Tujuan  : 1)   Klien akan berpartisipasi dalam belajar.
1)        Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi
2)        Memulai perubahan gaya hidup baru dan/atau keterlibatan dalam program rehabilitasi.
3)        Melakukan prosedur yang diperlukan degnan benar.
Table 2.9 Perencanaan diagnosa IX
Intervensi
Rasional
1.   Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan keluarganya.

2.   Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.

3.   Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.


4.   Berikan instruksi dalam bentuk tulisan  dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan factor-faktor penting lainnya.
5.   Identifikasi tanda/gejala adanya faktor resiko secara individual, seperti kebocoran CSS yang lama, kejang pasca trauma.
1.    Memungkinkan untuk menyampaikan  bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual.
2.    Membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
3.    Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan  yang bersifat individual.
4.    Memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.


5.    Mengenal berkembangnya masalah memberikan kesempatan untuk mengevaluasi dan intervensi lebih awal untuk mencegah terjadinya komplikasi yang serius.
                       
4.         Implementasi
Dilaksanakan sesuai dengan intervensi atau perencanaan dan prioritas  masalah.
5.         Evaluasi
Mengacu pada kriteria tujuan yaitu sebagai berikut:
a.         Diagnosa Keperawatan I
1)        Mempertahanakan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan fungsi motorik/sensorik.
2)        Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK
b.        Diagnosa Keperawatan II
Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal.
c.         Diagnosa Keperawatan III
1)        Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
2)        Mengakui  perubahan  dalam  kemampuan  dan  adanya keterlibatan
residu
3)        Mendemonstrasikan perubahan prilaku / gaya hidup untuk  mengkompensasi / deficit hasil.
d.        Diagnosa Keperawatan IV
1)        Mempertahankan atau melakukan kembali atau orientasi mental dan realitas biasanya
2)        Mengenali perubahan berpikir/prlaku.

e.         Diagnosa Keperawatan V 
1)        Melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibukti-kan oleh tidak adanya kontraktur
2)        Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang sakit.
3)        Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilaku-kannya kembali aktivitas.
4)        Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
f.         Diagnosa Keperawatan VI       
1)        Klien akan mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
2)        Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
g.        Diagnosa Keperawatan VII
3)        Klien  akan  mendemonstrasikan  pemeliharaan / kemajuan  pening-
katan berat badan sesuai tujuan.
4)        Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
h.        Diagnosa Keperawatan VIII 
1)        Klien akan mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat.
2)        Mengidentifikasi sumber-sumber internal dan eksternal untuk menghadapi situasi.
3)        Mengarahkan energi dalam cara yang bertujuan untuk merncanakan resolusi krisis.
4)        Mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju ke arah kemandirian.
i.          Diagnosa Keperawatan IX 
1)        Klien akan berpartisipasi dalam belajar.
2)        Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi (Doengoes, 2000 ; 273-289).







No comments:

Post a Comment