Wednesday, 20 December 2017

MAKALAH ASKEP GADAR FRAKTUR SUPRAKONDILER

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembangunan kesehatan memegang peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan manusia dalam tahap kehidupan. Selain berperan dalam membangun manusia sebagai sumber daya pembangunan.
Perkembangan tehnologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini membawa dampak  positif dan negatif, dampak positif yang terjadi adalah kemajuan transportasi, bertambahnya kendaraan, dan makin bertambahnya lalu lintas, sedangkan dampak negatifnya adalah makin banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas. Sehingga insiden penyakit/kejadian fraktur  lebih tinggi.
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada klien oleh perawat yang berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah secara bertahap maupun mendadak. Asuhan keperawatan di ruang gawat darurat seringkali dipengaruhi oleh karakteristik ruang gawat darurat itu sendiri, sehingga dapat menimbulkan asuhan keperawatan spesifik yang sesuai dengan keadaan ruangan.
Fraktur suprakondiler humeri adalah fraktur yang terjadi pada bagian sepertiga distal tulang humerus setinggi kondilus humeri tepat proksimal troklea dan capitulum humeri, yang melewati fossa olekrani. Garis frakturnya berjalan melalui apeks coronoid dan fossa olecranon. Fraktur ini sering terjadi pada anak-anak, yaitu fraktur kondilus lateralis humerus dan fraktur epikondilus medialis humerus. Fraktur kondiler sederhana jarang ditemukan pada orang dewasa, umumnya didapati fraktur kondiler kominutif berbentuk T atau Y.
Proses penyembuhan fraktur memerlukan waktu yang lama untuk penyembuhannya. Di samping membatasi kemandirian klien juga mengganggu masalah ekonominya, untuk itu diperlukan perhatian khusus dalam pelaksanaan tindakan perawatan agar supaya penyembuhan dapat seefektif mungkin dan leher akan terhindari dari kelainan yang mengganggu fungsi tubuh.
Berkaitan dengan hal ini tersebut di atas, maka penulis diberi tugas mengangkat permasalahan ini untuk dijadikan makalah dengan judul :
“Asuhan Keperawatan Gadar dengan Fraktur Suprakondiler”

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagimanakah konsep medis fraktur Suprakondiler?
2.      Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan gawat darurat fraktur Suprakondiler?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui konsep dasar medis fraktur Suprakondiler.
2.      Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gadar fraktur Suprakondiler.



















BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR MEDIS
A.    Definisi
Fraktur suprakondiler humerus merupakan fraktur 1/3 distal humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri. Garis fraktur berjalan melalui apeks koronoid dan fossa olekranon, biasanya fraktur transversal. Merupakan fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Pada orang dewasa, garis fraktur terletak sedikit lebih proksimal daripada fraktur suprakondiler pada anak dengan garis fraktur kominutif, spiral disertai angulasi.
Fraktur suprakondiler dapat didefinisikan sebagai fraktur pada bagian distal dari humerus yang terjadi dalam bagian metafisis. Fraktur ini merupakan 3% dari seluruh fraktur pada anak, serta termasuk dalam 10 besar fraktur pada anak. Insiden tertinggi terjadi pada usia 5 hingga 8 tahun, menjadi sangat jarang setelah usia 15 tahun, dan terjadi 2 kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Fraktur tulang Humerus atau patah tulang humerus adalah cedera yang sangatserius. Fraktur ini dikaitkan dengan beberapa komplikasi dan bisa menjadibencana jika tidak dikelola dengan baik. Sebuah kecelakaan jatuh  dengan tumpuan siku atau lengan cukup untuk menyebabkan fraktur humerus untuk orang yang sudah tua. Hal ini juga terlihat pada orang muda setelah kecelakaan di jalan atau jatuh dari ketinggian atau cedera langsung ke lengan di tempat kerja. Kadang-kadang juga disertai dengan dislokasi siku atau sendi bahu (Orthopedmapia, 2011)
Daerah suprakondiler humerus merupakan daerah yang relatif lemah pada extremitas atas. Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan adanya fossa olekrani di bagian posterior dan fossa koronoid di bagian anterior. Akibatnya baik pada cedera hiperekstensi maupun fleksi lengan bawah, tenaga trauma ini akan diteruskan lewat elbow joint. Sebagian besar garis fraktur berbentuk oblik dari anterior ke kranial dan ke posterior dengan pergeseran fragmen distal ke arah posterior kranial.


B.     Etiologi
1.      Adanya riwayat trauma atau cedera
2.      Kecelakaan kendaraan bermotor 
3.      Jatuh dari ketiggian
4.      Luka tembak
5.      Sidewipe injuries

C.    Insiden
Fraktur ini sering terjadi pada anak – anak, yaitu sekitar 65 % dari seluruh kasus patah tulang lengan atas. Mayoritas fraktur suprakondiler pada anak – anak terjadi pada usia 3 – 10 tahun, dengan puncak kejadiannya pada usia 5 dan 7 tahun. Dan biasanya paling sering ditemukan pada anak laki – laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1.

D.    Patofisiologi
1.      Daerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah pada ekstremitas atas. Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan adanya fossa olekranon di bagian posterior dan fossa koronoid di bagian anterior.
2.      Akibatnya baik pada cedera hiperekstensi maupun fleksi lengan bawah, tenaga trauma ini akan diteruskan lewat sendi siku.
3.      Fraktur terjadi akibat bertumbu pada tangan terbuka dengan siku agak fleksi dan lengan bawah dalam keadaan pronasi.
4.      Sebagian besar garis fraktur berbentuk oblik dari anterior ke kranial dan ke posterior dgn pergeseran fragmen distal ke arah posterior kranial.
5.      Fraktur suprakondiler humeri jenis ekstensi slalu disertai dengan rotasi fragmen distal ke medial dan “hinging” kortek lateral.
6.      Pergeseran :
a.       angulasi ke anterior dan medial dengan pemisahan fragmen fraktur 
b.      tidak adanya kontak antara fragmen, kadang-kadang pergeserannya cukup besar  à ujung fragmen distal yang tajam dapat menusuk à merusak m. brachialis, n. radialis, n. medianus.
7.      Fraktur suprakondiler humeri tipe fleksi à biasanya terjadi akibat jatuh yang mengenai elbow joint dalam keadaan fleksi. Garis fraktur mulai kranial mengarah ke postero kaudal dan fragmen distal mengalami pergeseran ke arah anterior.
Description: http://www.ahlibedahtulang.com/tinymcpuk/gambar/image/Fr%20-Anak12.jpg
Gambar 1. Mekanisme Cedera Fraktur Suprakondiler Tipe Fleksi
Description: ttp://www.ahlibedahtulang.com/tinymcpuk/gambar/image/Fr%20-Anak11.jpg
Gambar2. Fraktur Suprakondiler Humeri Tipe Ekstensi, dengan Pergeseran Fragmen Fraktur ke Arah Anterior dan Mengenai A. Brakhialis dan N. Medianus

E.     Gambaran Klinis
Gejala/tanda - tanda klinisnya adalah :
1.      Sakit (pain)
2.      Bengkak (swelling) pada sendi siku
3.      Deformitas pada sendi siku
4.      Denyut nadi arteri radialis yang berkurang (pulsellessness)
5.      Pucat (pallor)
6.      Rasa kesemutan (paresthesia, baal)
7.      Kelumpuhan (paralisis)

F.     Klasifikasi
Ada 2 mekanisme terjadinya fraktur yang menyebabkan dua macam jenis fraktur suprakondiler yang terjadi :
1.      Tipe Ekstensi (sering terjadi 99% kasus). Bila melibatkan sendi, fraktur suprakondiler tipe ekstensi diklasifikasikan sebagai: fraktur transkondiler atau interkondiler. Fraktur terjadi akibat hyperextension injury (outstreched hand) gaya diteruskan melalui elbow joint, sehingga terjadi fraktur proksimal terhadap elbow joint. Fragmen ujung proksimal terdorong melalui periosteum sisi anterior di mana m. brachialis terdapat, ke arah a. brachialis dan n. medianus. Fragmen ini mungkin menembus kulit sehingga terjadi fraktur terbuka.
Description: http://www.ahlibedahtulang.com/tinymcpuk/gambar/image/Fr%20-Anak08.jpg
Gambar 3. Fraktur Suprakondiler Humerus Tipe Ekstensi
Klasifikasi fraktur suprakondiler humeri tipe ekstensi – klasifikasi Gartland (berdasarkan derajat pergeseran) :
a.         Tipe I               : non displaced
b.         Tipe II             : displaced dengan cortex posterior intact, dapat sedikit terangulasi atau terotasi
c.         Tipe III                        : displace komplit, posteromedial atau posterolateral
Modifikasi Wilkins untuk klasifikasi Gartland :
a.         Tipe 1              : undisplaced
b.         Tipe 2A           : cortex posterior intact dan terdapat angulasi saja
c.         Tipe 2B            : cortex posterior intact, terdapat angulasi dan rotasi
d.        Tipe 3A           :displace komplit, tidak ada kontak cortical, posteromedial
e.         Tipe 3B            : displace komplit, tidak ada kontak cortical, posterolateral
Description: ttp://www.ahlibedahtulang.com/tinymcpuk/gambar/image/Fr%20-Anak10.jpg
Gambar 4. Klasifikasi Frakture Suprakondiler Humeri Menurut Gartland
2.      Tipe fleksi (jarang terjadi). Trauma terjadi akibat trauma langsung pada aspek posterior elbow dengan posisi fleksi. Hal ini menyebabkan fragmen proksimal menembus tendon triceps dan kulit.
Klasifikasi fraktur suprakondiler humeri tipe fleksi juga dibuat atas dasar derajat displacement (pergeseran) :
·            Tipe I            : undisplaced
·            Tipe II           : partially displaced
·            Tipe III          : completely displace

Description: http://www.ahlibedahtulang.com/tinymcpuk/gambar/image/Fr%20-Anak07.jpg
Gambar 5. Fraktur Suprakondiler Humerus Tipe Fleksi

G.    Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen digunakan untuk mendiagnosa fraktur siku. Pada kasus yang lebih berat, fraktur lebih mudah dilihat pada foto rontgen, namun sering terjadi fraktur yang tidak terlihat pada pemeriksaan rontgen. Hal ini terjadi karena fraktur pada growth plate mungkin tidak menunjukkan gambaran seperti fraktur pada umumnya. Karena itu diperlukan foto pada sisi yang sehat untuk membandingkan dan melihat perbedaan yang ada. Tanda dari fraktur siku pada anak bisa jadi hanya merupakan pembengkakan yang terlihat pada rontgen (disebut fat-pad sign). Pada kasus ini terapi dilakukan seperti fraktur siku pada umumnya.
Description: http://www.ahlibedahtulang.com/tinymcpuk/gambar/image/Fr%20-Anak25.jpg
Gambar. Fraktur Suprakondiler Humerus dengan Fat-Pad Sign dan Displaced Anterior Humeral Line

H.    Penatalaksanaan
Berdasarkan klasifikasi Gartland, tipe I yaitu fraktur nondisplaced, dapat diterapi dengan fiksasi eksternal, seperti pemasangan plaster cast. Fraktur tipe II merupakan fraktur displaced sehingga sulit direduksi dan dijaga kestabilannya melalui metode eksternal. Pada fraktur tipe III reduksi sulit dilakukan, dan stabilitas tulang hampir mustahil tanpa fiksasi internal.
1.      Terapi Fraktur Suprakondiler Tipe Ekstensi
Fraktur suprakondiler humerus tipe exksensi terjadi akibat jatuh pada lengan pada posisi ekstensi dengan atau tanpa tekanan abduksi atau adduksi. Terapi yang dapat dilakukan dapat berupa terapi non operatif atau terapi operatif.
a.       Terapi non operatif
1)      Indikasinya adalah untuk fraktur non-displaced atau displace minimal.
2)      Splint posterior long arm dipasang pada flexi siku minimal 90° jika edema, dan jika status neurovaskular memungkinkan, dengan posisi
lengan bawah netral.
3)      Imobilisasi dengan splint posterior dilanjutkan 1 – 2 minggu, kemudian latihan ROM mulai dilakukan. Splint dapat dilepaskan setelah 6 minggu, saat gambaran radiologi menunjukkan tanda penyembuhan.
4)      Evaluasi radiologis diperlukan untuk mendeteksi kegagalan reduksi fraktur.
b.      Terapi operatif
1)      Indikasi dari terapi operatif adalah fracture displace, fraktur yang disertai trauma vaskular, fraktur intra-artikular, dan fraktur terbuka.
2)      Open reduction and internal fixation (ORIF). Fiksasi plate digunakan pada masing-masing collumn, dapat paralel atau pada sudut 90°. Fiksasi plate merupakan pilihan terapi, karena metode ini memungkinkan latihan ROM sejak awal pemasangan.
3)      Latihan ROM harus dimulai segera setelah pasien mampu mentoleransi terapi.
a)      Tipe I : Imobilisasi dengan cast atau splint pada posisi flexi 60 - 90° yang diindikasikan untuk rentang waktu 3 – 3 minggu.
b)      Tipe II : Umumnya dapat direduksi dengan metode tertutup yang diikuti pemasangancast. Fraktur tipe II mungkin membutuhkan pemasangan pin jika tidak stabil, atau jika reduksi tidak dapat ditahan tanpa flexi berlebihan yang berisiko menimbulkan cedera saraf.
c)      Tipe III : Dilakukan reduksti tertutup dan pemasangan pin. Traksi (traksi skeletal olecranon) mungkin dibutuhkan untuk fraktur kominutif dengan pembengkakan atau kerusakan jaringan lunak. ORIF dibutuhkan untuk fraktur rotasi tidak stabil, fraktur terbuka, dan fraktur dengan gangguan neurovaskular.
2.      Terapi Fraktur Suprakondiler Tipe Fleksi
Fraktur suprakondiler humerus tipe fleksi biasanya berkaitan dengan lesi terbuka, dimana fragmen proksimal yang tajam menancap tendon m. triceps brachii dan menembus kulit yang menutupi. Fraktur ini terjadi karena tekanan terhadap aspek posterior dari siku saat posisi fleksi.


a.       Terapi operatif  :
1)      ORIF.
Fiksasi plate digunakan pada tiap collumn, baik paralel maupun membentuk sudut 90°.
2)      Latihan ROM harus dimulai segera setelah pasien mampu mentoleransi terapi.
a)      Tipe I : Imobilisasi dengan cast pada posisi hampir ekstensi diindikasikan untuk 2-3 minggu.
b)      Tipe II : Reduksi tertutup diikuti percutaneous pin dengan 2 pin lateral atau crossed pin.
c)      Tipe III : Reduksi umumnya sulit dilakukan. Sebagian besar membutuhkan tindakan ORIF dengan crossed pin.
d)     Imobilisasi dengan cast (atau splint posterior jika terdapat edema) dengan siku fleksi hingga 90 derajat dan lengan bawah pada posisi netral, harus dilakukan 2 - 3 minggu post operasi, yaitu hingga cast dan pin dapat dilepaskan. Pasien harus memakai sling dengan latihan ROM dan pembatasan aktivitasi selama 4 - 6 minggu berikutnya.
Indikasi Operasi :
1)      Displaced fracture
2)      Fraktur disertai cedera vaskular 
3)      Fraktur terbuka
4)      Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler sering kali menghasilkan fragmen distal yang komunitif dengan garis patahnya berbentuk T atau Y. Untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi yaitu reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksasi yang rigid.

I.       Komplikasi
1.      Pembentukan lepuh kulit
Pembengkakan  sendi siku terjadi karena gangguan drainase atau mungkin juga karena verban yang terlalu kuat.
2.      Maserasi kulit pada daerah antekubiti
Komplikasi ini terjadi karena setelah reposisi, dilakukan fleksi akut pada sendi
siku yang menyebabkan tekanan pada kulit.
3.      Iskemik Volkmann
Iskemik Volkmann terutama terjadi pada fraktur suprakondiler humeri tipe ekstensi, fraktur antebraki (fraktur ulna dan radius) dan dislokasi sendi siku. Iskemik terjadi karena adanya obstruksi sirkulasi vena karena verban yang terlalu ketat, penekanan gips atau fleksi akut sendi siku. Disamping itu terjadi pula obstruksi pembuluh darah arteri yang menyebabkan iskemik otot dan saraf lengan bawah. Arteri brakialis terjepit pada daerah fraktur dan penjepitan hanya dapat dihilangkan dengan reduksi fraktur baik secara tertutup maupun terbuka.
4.      Gunstock deformity
Bentuk varus cubitus akibat patah tulang pada siku kondiler dimana sumbu lengan diperpanjang tidak kontinyu dengan lengan tetapi dipindahkan ke garis tengah.

J.      Prognosis
1.      Dubia ad bonam
2.      Dubia ad malam

II.    ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN FRAKTUR SUPRAKONDILER
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada klien oleh perawat yang berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah secara bertahap maupun mendadak.
      Berikut penjabaran proses keperawatan yang merupakan panduan Asuhan Keperawatan di ruangan gawat darurat dengan contoh proses keperawatan klien gawat darurat.

A.    Pengkajian
1.      Pengkajian Primer (primary survey)
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah aktual/potensial dari kondisi life threatning (berdampak terhadap kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
A = Airway dengan kontrol servikal
Kaji :
-          Bersihan jalan nafas
-          Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
-          Distress pernafasan
-          Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
B = Breathing dan ventilasi
Kaji :
-          Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
-          Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
-          Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C = Circulation
Kaji :
-          Denyut nadi karotis
-          Tekanan darah
-          Warna kulit, kelembaban kulit
-          Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D = Disability
Kaji :
-          Tingkat kesadaran
-          Gerakan ekstremitas
-          GCS atau pada anak tentukan respon A = alert, V = verbal, P =  pain/respon nyeri, U = unresponsive.
-          Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
E = Eksposure
Kaji :
-          Tanda-tanda trauma yang ada.
2.      Pengkajian Sekunder (secondary survey)
a.       Aktivitas/istirahat
1)      Kehilangan fungsi pad bagian yang terkena
2)      Keterbatasan mobilitas
b.      Sirkulasi
1)      Hipertensi (kadang terlihat sebgai respon nyeri/ansietas)
2)      Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
3)      Tachikardia
4)      Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera
5)      Capillary refill melambat
6)      Pucat pada bagian yang terkena
7)      Masa hematoma pada sisi cedera
c.       Neurosensori
1)      Kesemutan
2)      Deformitas, krepitasi, pemendekan
3)      Kelemahan
d.      Kenyamanan
1)      Nyeri tiba-tiba saat cedera
2)      Spasme/kram otot
e.       Keamanan
1)      Laserasi kulit
2)      Perdarahan
3)      Perubahan warna
4)      Pembengkakan lokal
(Musliha, 2010)

B.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa atau masalah keperawatan dapat teridentifikasi sesuai dengan kategori urgensi masalah berdasarkan pada sistem triage dan pengkajian yang telah dilakukan. Prioritas ditentukan berdasarkan besarnya ancaman kehidupan : Airway, Breathing dan Circulation. Diagnosa keperawatan Gawat Darurat yang dapat muncul pada kasus Fraktur Kalvikula antara lain :
1.      Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fargmen tulang, edema, dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi atau immobilisasi, stress, ansietas.
2.      Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan atau interupsi aliran darah, hepovolemia.
3.      Resiko tinggi terhadap kerusakan gas berhubungan dengan perubahan aliran darah, perubahan membran alveolar atau kapiler.
4.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, nyeri/ketidaknyamanan, terapi restriktif, immobilisasi tungkai.

C.    Rencana Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien, maka langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan tersebut melalui suatu perencanaan yang baik.
1.      Nyeri berhubungan dengan otot, gerakan fragmen tulang, alat traksi.
(1.) Tujuan :
-          Menyatakan nyeri hilang.
-          Menunjukkan tindakan santai ; mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan cepat.
-          Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi.
(2.) Intervensi :
(a.)     Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring gips, pembebat, traksi.
Rasional     :   Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
(b.)    Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
Rasional     :   Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri.
(c.)     Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional     :   Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
(d.)    Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional     :   Meningkatkan sirkulasi umum ; menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
(e.)     Berikan obat sesuai indikasi narkotik dan analgetik non narkotik.
Rasional     :   Menghambat reseptor nyeri dan menurunkan ambang nyeri atau spasme otot.
2.      Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer.
(1.) Tujuan :
-          Mempertahankan perfusi jaringan.
(2.) Intervensi :
(a.)     Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional     :   Kembalinya warna cepat (3 – 5 detik), warna kulit putih menunjukkan gangguan arterial, sianosis diduga ada gangguan vena.
(b.)    Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan fungsi motorik/sensori.
Rasional     :   Gangguan perasaan bebas, kesemutan, peningkatan/ penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi syaraf tidak adekuat atau syaraf rusak.
(c.)     Tes sensasi syaraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari pertama dan kedua dan kaji kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari bila diindikasikan.
Rasional     :   Panjang dan posisi syaraf parineal meningkatkan resiko cedera pada adanya fraktur kaki, edema/sindrom kompartement, atau melapisi alat traksi.
(d.)    Kaji keseluruhan panjang ekstremitas yang cedera untuk pembengkakan/pembentukan edema. Ukur ekstremitas yang cedera dan bandingkan dengan yang tak cedera.
Rasional     :   Peningkatan lingkar ekstremitas yang cedera dapat diduga ada pembengkakan jaringan/edema umum tetapi menunjukkan perdarahan.
(e.)     Awasi tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat, cyanosis, kulit dingin.
Rasional     :   Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
(f.)     Berikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.
Rasional     :   Menurunkan edema/pembentukan hematoma yang dapat mengganggu sirkulasi.
(g.)    Awasi hemoglobin/hematokrit, pemeriksaan koagulasi.
Rasional     :   Membantu dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan keefektifan terapi penggantian.
3.      Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak.
(1.) Tujuan :
-          Mempertahankan fungsi pernafasan yang adekuat.
(2.) Intervensi :
(a.)     Awasi frekuensi pernafasan.
Rasional     :   Takipnea, dispnea dan insufisiensi pernafasan.
(b.)    Auskultasi bunyi nafas perhatikan terjadinya ketidaksamaan bunyi hiperesonan, juga adanya gemericik, ronchi, mengi, dan inspeksi mengorok/sesak nafas.
Rasional     :   Perubahan dalam/adanya bunyi adventisius menunjukkan terjadinya komplikasi pernafasan.
(c.)     Observasi sputum untuk tanda adanya darah.
Rasional     :   Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru.
(d.)    Inspeksi kulit untuk petekie di atas garis puting pada aksilla meluas ke abdomen/tubuh, mukosa mulut kantong konjungtiva dan retina.
Rasional     :   Ini adalah karakteristik yang paling nyata dari tanda emboli lemak,. Yang tampak dalam 2 – 3 hari setelah cedera.
(e.)     Berikan tambahan oksigen bila diindikasikan.
Rasional     :   Meningkatkan sediaan O2 untuk oksigenasi optimal jaringan.
(f.)     Berikan obat sesuai indikasi, heparin dosis rendah.
Rasional     :   Blok siklus pembekuan dan mencegah bertambahnya pembekuan pada adanya tromboplebitis.
4.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri/ketidaknyamanan.
(1.) Tujuan
-          Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin mempertahankan posisi fungsional.
(2.) Intervensi
(a.)     Kaji derajat imobilitas fisik yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap mobilitas.
Rasional     :   Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan/persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual memerlukan intervensi/informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
(b.)    Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tidak sakit.
Rasional     :   kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan massa otot.
(c.)     Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk menstabilkan fraktur tungkai bawah.
Rasional     :   Menurunkan resiko kontraksi fleksi pinggul.
(d.)    Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk tongkat, sesegera mungkin, instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilitas.
Rasional     :   Mobilisasi dini merupakan komplikasi tirah baring/contoh decubitus.
(e.)     Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral, pertahankan penurunan kandungan protein sampai setelah defekasi pertama.
Rasional     :   pada cedera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan berkurang dengan cepat. Sering mengakibatkan penurunan berat badan, selama traksi tulang ini dapat mempengaruhi massa otot, tonus dan kekuatan.
(f.)     Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabiltasi spesialis.
Rasional     :   Untuk membuat aktivitas individual/program latihan pasien dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan, kekuatan dan aktivitas yang mengandalkan berat badan.  (Doengoes Marilynn E, 2000)

D.    Implementasi/Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam melaksanakan rencana tersebut harus diperlukan kerjasama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien, dan klien sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1.      Kebutuhan klien.
2.      Dasar-dasar dari tindakan.
3.      Kemampuan perseorangan, keahlian/keterampilan dan perawat.
4.      Sumber dari keluarga dan klien sendiri.
5.      Sumber dari instansi.

E.     Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses keperawatan. Adapun evaluasi klien dengan fraktur suprakondiler dilakukan berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan asuhan keperawatan dinilai berhasil apabila dalam evaluasi terlibat pencapaian kriteria tujuan.

.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Fraktur suprakondiler humerus: fraktur 1/3 distal humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri.
2.      Etiologi terjadinya fraktur suprakondiler humerus diantaranya : 1. Adanya riwayat trauma atau cedera; 2. Kecelakaan kendaraan bermotor; 3. Jatuh dari ketiggian; 4. Luka tembak; dan 5. Sidewipe injuries.
3.      Ada 2 mekanisme terjadinya fraktur yang menyebabkan dua macam jenis fraktur suprakondiler yang terjadi : Tipe Ekstensi (sering terjadi 99% kasus) dan Tipe fleksi (jarang terjadi).
4.      Berdasarkan klasifikasi Gartland, tipe I yaitu fraktur nondisplaced, dapat diterapi dengan fiksasi eksternal, seperti pemasangan plaster cast. Fraktur tipe II merupakan fraktur displaced sehingga sulit direduksi dan dijaga kestabilannya melalui metode eksternal. Pada fraktur tipe III reduksi sulit dilakukan, dan stabilitas tulang hampir mustahil tanpa fiksasi internal.

B.     Saran
Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur.














DAFTAR PUSTAKA


Dongoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Krisanty. Paula, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Paula Krisanty. Jakarta: EGC

Musliha, 2010. Keperawatan Gawat Darurat, Nuha Medika, Yogyakarta

Price, S.A.,dkk,. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume
       2, 2006, EGC, Jakarta

Rasjad C. Trauma. In: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 6th ed. Jakarta: Yarsif Watampone, 2009, p. 355-356.

Suzanne, Smeltzer C dan Brenda G. Bare. 2002. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC






























 
 


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN GADAR FRAKTUR SUPRAKONDILER” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas keperawatan Gawat Darurat di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Puangrimaggalatung Bone.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan hati terbuka mengharapkan saran-saran dan kritikan-kritikan yang membangun (konstruksi) demi kesempurnaan tugas yang akan datang.
Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis tidak lupa untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan  dalam menyelesaikan tugas ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal kepada Bapak, Ibu, Kakak, Adik dan seluruh rekan-rekan sekalian. Akhir kata penulis mengharapkan agar tugas gadar ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.



Watampone, 25  Mei 2015

                                                                                                                      Penyusun
                                                            








i
 
 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang .............................................................................................1
B.           Rumusan Masalah.........................................................................................2
C.           Tujuan Penulisan………………………...........…………..….....…….........2
BAB II PEMBAHASAN
       I.            KONSEP DASAR MEDIS
A.          Definisi..........................................................................................................3
B.           Etiologi .........................................................................................................4
C.           Insiden...........................................................................................................4
D.          Patofisiologi...................................................................................................4
E.           Gambaran Klinis............................................................................................6
F.            Klasifikasi......................................................................................................6
G.          Pemeriksaan Penunjang ................................................................................8
H.          Penatalaksanaan.............................................................................................8
I.             Komplikasi..................................................................................................10
J.             Prognosis.....................................................................................................11
    II.            KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GADAR FRAKTUR SUPRAKONDILER
A.          Pengkajian...................................................................................................11
B.           Diagnosa Keperawatan................................................................................13
C.           Rencana Keperawatan.................................................................................14
D.          Implementasi...............................................................................................18
E.           Evaluasi.......................................................................................................18
BAB III PENUTUP
A.          Kesimpulan .................................................................................................19
B.           Saran............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

ii
 
 


Tugas Gadar

ASUHAN KEPERAWATAN GADAR
FRAKTUR SUPRAKONDILER





OLEH :
Kelompok III











SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PUANGRIMAGGALATUNG BONE


 
2015

No comments:

Post a Comment