BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan memegang peranan penting dalam meningkatkan
kesejahteraan manusia dalam tahap kehidupan. Selain berperan dalam membangun
manusia sebagai sumber daya pembangunan.
Perkembangan tehnologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini membawa
dampak positif dan negatif, dampak
positif yang terjadi adalah kemajuan transportasi, bertambahnya kendaraan, dan
makin bertambahnya lalu lintas, sedangkan dampak negatifnya adalah makin
banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas. Sehingga insiden penyakit/kejadian
fraktur lebih tinggi.
Asuhan keperawatan gawat darurat
adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan
pada klien oleh perawat yang berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di
ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah
secara bertahap maupun mendadak. Asuhan keperawatan di ruang gawat darurat
seringkali dipengaruhi oleh karakteristik ruang gawat darurat itu sendiri,
sehingga dapat menimbulkan asuhan keperawatan spesifik yang sesuai dengan
keadaan ruangan.
Fraktur suprakondiler humeri adalah
fraktur yang terjadi pada bagian sepertiga distal tulang humerus setinggi
kondilus humeri tepat proksimal troklea dan capitulum humeri, yang melewati
fossa olekrani. Garis frakturnya berjalan melalui apeks coronoid dan fossa
olecranon. Fraktur ini sering terjadi pada anak-anak, yaitu fraktur kondilus
lateralis humerus dan fraktur epikondilus medialis humerus. Fraktur kondiler
sederhana jarang ditemukan pada orang dewasa, umumnya didapati fraktur kondiler
kominutif berbentuk T atau Y.
Proses penyembuhan fraktur memerlukan
waktu yang lama untuk penyembuhannya. Di samping membatasi kemandirian klien
juga mengganggu masalah ekonominya, untuk itu diperlukan perhatian khusus dalam
pelaksanaan tindakan perawatan agar supaya penyembuhan dapat seefektif mungkin
dan leher akan terhindari dari kelainan yang mengganggu fungsi tubuh.
Berkaitan dengan hal ini tersebut di
atas, maka penulis diberi tugas mengangkat permasalahan ini untuk dijadikan
makalah dengan judul :
“Asuhan Keperawatan Gadar dengan Fraktur Suprakondiler”
B. Rumusan Masalah
1.
Bagimanakah konsep medis
fraktur Suprakondiler?
2.
Bagaimanakah konsep asuhan
keperawatan gawat darurat fraktur Suprakondiler?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui konsep dasar
medis fraktur Suprakondiler.
2.
Untuk mengetahui konsep asuhan
keperawatan gadar fraktur Suprakondiler.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR MEDIS
A. Definisi
Fraktur suprakondiler humerus
merupakan fraktur 1/3 distal humerus tepat proksimal troklea dan capitulum
humeri. Garis fraktur berjalan melalui apeks koronoid dan fossa olekranon,
biasanya fraktur transversal. Merupakan fraktur yang sering terjadi pada
anak-anak. Pada orang dewasa, garis fraktur terletak sedikit lebih proksimal
daripada fraktur suprakondiler pada anak dengan garis fraktur kominutif, spiral
disertai angulasi.
Fraktur suprakondiler dapat didefinisikan
sebagai fraktur pada bagian distal dari humerus yang terjadi dalam bagian
metafisis. Fraktur ini merupakan 3% dari seluruh fraktur pada anak, serta
termasuk dalam 10 besar fraktur pada anak. Insiden tertinggi terjadi pada usia
5 hingga 8 tahun, menjadi sangat jarang setelah usia 15 tahun, dan terjadi 2
kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Fraktur tulang Humerus atau patah tulang humerus adalah
cedera yang sangatserius. Fraktur ini
dikaitkan dengan beberapa komplikasi dan bisa menjadibencana jika tidak dikelola dengan baik.
Sebuah kecelakaan jatuh dengan tumpuan siku atau lengan cukup untuk menyebabkan fraktur humerus untuk orang yang sudah tua. Hal ini
juga terlihat pada orang muda setelah kecelakaan di jalan atau jatuh dari
ketinggian atau cedera langsung ke lengan di tempat kerja. Kadang-kadang juga disertai dengan dislokasi siku atau
sendi bahu (Orthopedmapia, 2011)
Daerah suprakondiler humerus
merupakan daerah yang relatif lemah pada extremitas atas. Di daerah ini
terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan adanya
fossa olekrani di bagian posterior dan fossa koronoid di bagian anterior.
Akibatnya baik pada cedera hiperekstensi maupun fleksi lengan bawah, tenaga
trauma ini akan diteruskan lewat elbow
joint. Sebagian besar garis fraktur berbentuk oblik dari anterior ke kranial
dan ke posterior dengan pergeseran fragmen distal ke arah posterior kranial.
B. Etiologi
1.
Adanya riwayat trauma atau
cedera
2.
Kecelakaan kendaraan
bermotor
3.
Jatuh dari ketiggian
4.
Luka tembak
5.
Sidewipe injuries
C. Insiden
Fraktur
ini sering terjadi pada anak – anak, yaitu sekitar 65 % dari seluruh kasus
patah tulang lengan atas. Mayoritas fraktur suprakondiler pada anak – anak
terjadi pada usia 3 – 10 tahun, dengan puncak kejadiannya pada usia 5 dan 7
tahun. Dan biasanya paling sering ditemukan pada anak laki – laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
D. Patofisiologi
1.
Daerah suprakondiler humeri
merupakan daerah yang relatif lemah pada ekstremitas atas. Di daerah ini
terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan adanya
fossa olekranon di bagian posterior dan fossa koronoid di bagian anterior.
2.
Akibatnya baik pada cedera
hiperekstensi maupun fleksi lengan bawah, tenaga trauma ini akan diteruskan
lewat sendi siku.
3.
Fraktur terjadi akibat bertumbu
pada tangan terbuka dengan siku agak fleksi dan lengan bawah dalam keadaan
pronasi.
4.
Sebagian besar garis fraktur
berbentuk oblik dari anterior ke kranial dan ke posterior dgn pergeseran
fragmen distal ke arah posterior kranial.
5.
Fraktur suprakondiler humeri
jenis ekstensi slalu disertai dengan rotasi
fragmen distal ke medial dan “hinging” kortek lateral.
6.
Pergeseran :
a.
angulasi ke anterior dan medial
dengan pemisahan fragmen fraktur
b.
tidak adanya kontak antara
fragmen, kadang-kadang pergeserannya cukup besar à ujung fragmen distal yang tajam dapat menusuk à merusak m. brachialis, n. radialis, n. medianus.
7.
Fraktur suprakondiler humeri
tipe fleksi à biasanya terjadi akibat jatuh yang
mengenai elbow joint dalam keadaan
fleksi. Garis fraktur mulai kranial mengarah ke postero kaudal dan fragmen
distal mengalami pergeseran ke arah anterior.
Gambar 1. Mekanisme Cedera Fraktur Suprakondiler Tipe Fleksi
Gambar2. Fraktur Suprakondiler Humeri Tipe Ekstensi, dengan
Pergeseran Fragmen Fraktur ke Arah Anterior dan Mengenai A. Brakhialis dan N.
Medianus
E. Gambaran Klinis
Gejala/tanda - tanda klinisnya adalah :
1.
Sakit (pain)
2.
Bengkak (swelling)
pada sendi siku
3.
Deformitas pada sendi siku
4.
Denyut nadi arteri radialis yang berkurang (pulsellessness)
5.
Pucat (pallor)
6.
Rasa kesemutan (paresthesia,
baal)
7.
Kelumpuhan (paralisis)
F. Klasifikasi
Ada 2 mekanisme terjadinya
fraktur yang menyebabkan dua macam jenis fraktur suprakondiler yang terjadi :
1. Tipe Ekstensi
(sering terjadi 99% kasus). Bila melibatkan sendi, fraktur suprakondiler tipe
ekstensi diklasifikasikan sebagai: fraktur transkondiler atau interkondiler.
Fraktur terjadi akibat hyperextension injury (outstreched hand) gaya diteruskan
melalui elbow joint, sehingga terjadi fraktur proksimal terhadap elbow joint. Fragmen ujung proksimal
terdorong melalui periosteum sisi anterior di mana m. brachialis terdapat, ke
arah a. brachialis dan n. medianus. Fragmen ini mungkin menembus kulit sehingga
terjadi fraktur terbuka.
Gambar 3. Fraktur Suprakondiler
Humerus Tipe Ekstensi
Klasifikasi fraktur suprakondiler humeri tipe ekstensi – klasifikasi
Gartland (berdasarkan derajat pergeseran) :
a.
Tipe I : non
displaced
b.
Tipe II : displaced
dengan cortex posterior intact, dapat sedikit terangulasi atau terotasi
c.
Tipe III :
displace komplit, posteromedial atau posterolateral
Modifikasi Wilkins untuk klasifikasi Gartland :
a.
Tipe 1 :
undisplaced
b.
Tipe 2A :
cortex posterior intact dan terdapat angulasi saja
c.
Tipe 2B :
cortex posterior intact, terdapat angulasi dan rotasi
d.
Tipe 3A :displace
komplit, tidak ada kontak cortical, posteromedial
e.
Tipe 3B :
displace komplit, tidak ada kontak cortical, posterolateral
Gambar 4. Klasifikasi
Frakture Suprakondiler Humeri Menurut Gartland
2. Tipe fleksi
(jarang terjadi). Trauma terjadi akibat trauma langsung pada aspek posterior
elbow dengan posisi fleksi. Hal ini menyebabkan fragmen proksimal menembus
tendon triceps dan kulit.
Klasifikasi
fraktur suprakondiler humeri tipe fleksi juga dibuat atas dasar derajat
displacement (pergeseran) :
·
Tipe I
: undisplaced
·
Tipe II
: partially displaced
·
Tipe III :
completely displace
Gambar 5. Fraktur Suprakondiler
Humerus Tipe Fleksi
G. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen digunakan
untuk mendiagnosa fraktur siku. Pada kasus yang lebih berat, fraktur lebih
mudah dilihat pada foto rontgen, namun sering terjadi fraktur yang tidak
terlihat pada pemeriksaan rontgen. Hal ini terjadi karena fraktur pada growth
plate mungkin tidak menunjukkan gambaran seperti fraktur pada umumnya.
Karena itu diperlukan foto pada sisi yang sehat untuk membandingkan dan melihat
perbedaan yang ada. Tanda dari fraktur siku pada anak bisa jadi hanya merupakan
pembengkakan yang terlihat pada rontgen (disebut fat-pad sign). Pada
kasus ini terapi dilakukan seperti fraktur siku pada umumnya.
Gambar.
Fraktur Suprakondiler Humerus dengan Fat-Pad
Sign dan Displaced Anterior Humeral
Line
H. Penatalaksanaan
Berdasarkan
klasifikasi Gartland, tipe I yaitu fraktur nondisplaced, dapat diterapi dengan
fiksasi eksternal, seperti pemasangan plaster
cast. Fraktur tipe II merupakan fraktur displaced sehingga sulit direduksi
dan dijaga kestabilannya melalui metode eksternal. Pada fraktur tipe III
reduksi sulit dilakukan, dan stabilitas tulang hampir mustahil tanpa fiksasi
internal.
1.
Terapi Fraktur Suprakondiler Tipe Ekstensi
Fraktur suprakondiler humerus tipe exksensi terjadi akibat jatuh
pada lengan pada posisi ekstensi dengan atau tanpa tekanan abduksi atau
adduksi. Terapi yang dapat dilakukan dapat berupa terapi non operatif atau
terapi operatif.
a.
Terapi non operatif
1)
Indikasinya adalah untuk
fraktur non-displaced atau displace minimal.
2)
Splint posterior long arm
dipasang pada flexi siku minimal 90° jika edema, dan jika status neurovaskular
memungkinkan, dengan posisi
lengan bawah netral.
3)
Imobilisasi dengan splint
posterior dilanjutkan 1 – 2 minggu, kemudian latihan ROM mulai dilakukan.
Splint dapat dilepaskan setelah 6 minggu, saat gambaran radiologi menunjukkan
tanda penyembuhan.
4)
Evaluasi radiologis diperlukan
untuk mendeteksi kegagalan reduksi fraktur.
b.
Terapi operatif
1)
Indikasi dari terapi operatif
adalah fracture displace, fraktur yang disertai trauma vaskular, fraktur
intra-artikular, dan fraktur terbuka.
2)
Open reduction and internal fixation
(ORIF). Fiksasi plate digunakan pada masing-masing collumn, dapat paralel atau
pada sudut 90°. Fiksasi plate merupakan pilihan terapi, karena metode ini
memungkinkan latihan ROM sejak awal pemasangan.
3)
Latihan ROM harus dimulai
segera setelah pasien mampu mentoleransi terapi.
a)
Tipe I : Imobilisasi dengan
cast atau splint pada posisi flexi 60 - 90° yang diindikasikan untuk rentang
waktu 3 – 3 minggu.
b)
Tipe II : Umumnya dapat
direduksi dengan metode tertutup yang diikuti pemasangancast. Fraktur tipe II
mungkin membutuhkan pemasangan pin jika tidak stabil, atau jika reduksi tidak
dapat ditahan tanpa flexi berlebihan yang berisiko menimbulkan cedera saraf.
c)
Tipe III : Dilakukan reduksti
tertutup dan pemasangan pin. Traksi (traksi skeletal olecranon) mungkin
dibutuhkan untuk fraktur kominutif dengan pembengkakan atau kerusakan jaringan
lunak. ORIF dibutuhkan untuk fraktur rotasi tidak stabil, fraktur terbuka, dan
fraktur dengan gangguan neurovaskular.
2.
Terapi Fraktur Suprakondiler Tipe Fleksi
Fraktur suprakondiler humerus tipe fleksi biasanya
berkaitan dengan lesi terbuka, dimana fragmen proksimal yang tajam menancap
tendon m. triceps brachii dan menembus kulit yang menutupi. Fraktur ini terjadi
karena tekanan terhadap aspek posterior dari siku saat posisi fleksi.
a. Terapi
operatif :
1) ORIF.
Fiksasi plate
digunakan pada tiap collumn, baik paralel maupun membentuk sudut 90°.
2) Latihan ROM harus
dimulai segera setelah pasien mampu mentoleransi terapi.
a) Tipe I : Imobilisasi
dengan cast pada posisi hampir ekstensi diindikasikan untuk 2-3 minggu.
b) Tipe II : Reduksi
tertutup diikuti percutaneous pin dengan 2 pin lateral atau crossed pin.
c) Tipe III :
Reduksi umumnya sulit dilakukan. Sebagian besar membutuhkan tindakan ORIF
dengan crossed pin.
d) Imobilisasi
dengan cast (atau splint posterior jika terdapat edema) dengan siku fleksi
hingga 90 derajat dan lengan bawah pada posisi netral, harus dilakukan 2 - 3
minggu post operasi, yaitu hingga cast dan pin dapat dilepaskan. Pasien harus
memakai sling dengan latihan ROM dan pembatasan aktivitasi selama 4 - 6 minggu
berikutnya.
Indikasi Operasi :
1)
Displaced fracture
2)
Fraktur disertai cedera
vaskular
3)
Fraktur terbuka
4)
Pada penderita dewasa
kebanyakan patah di daerah suprakondiler sering kali menghasilkan fragmen
distal yang komunitif dengan garis patahnya berbentuk T atau Y. Untuk
menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi yaitu reposisi
terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksasi yang rigid.
I.
Komplikasi
1.
Pembentukan lepuh kulit
Pembengkakan sendi siku terjadi karena gangguan drainase
atau mungkin juga karena verban yang terlalu kuat.
2.
Maserasi kulit pada daerah
antekubiti
Komplikasi ini
terjadi karena setelah reposisi, dilakukan fleksi akut pada sendi
siku yang
menyebabkan tekanan pada kulit.
3.
Iskemik Volkmann
Iskemik Volkmann
terutama terjadi pada fraktur suprakondiler humeri tipe ekstensi, fraktur
antebraki (fraktur ulna dan radius) dan dislokasi sendi siku. Iskemik terjadi
karena adanya obstruksi sirkulasi vena karena verban yang terlalu ketat,
penekanan gips atau fleksi akut sendi siku. Disamping itu terjadi pula
obstruksi pembuluh darah arteri yang menyebabkan iskemik otot dan saraf lengan
bawah. Arteri brakialis terjepit pada daerah fraktur dan penjepitan hanya dapat
dihilangkan dengan reduksi fraktur baik secara tertutup maupun terbuka.
4.
Gunstock deformity
Bentuk varus cubitus
akibat patah tulang pada siku kondiler dimana sumbu lengan diperpanjang tidak
kontinyu dengan lengan tetapi dipindahkan ke garis tengah.
J.
Prognosis
1.
Dubia ad bonam
2.
Dubia ad malam
II.
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN
FRAKTUR SUPRAKONDILER
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah
rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada
klien oleh perawat yang berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di
ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah
secara bertahap maupun mendadak.
Berikut penjabaran proses keperawatan
yang merupakan panduan Asuhan Keperawatan di ruangan gawat darurat dengan
contoh proses keperawatan klien gawat darurat.
A.
Pengkajian
1. Pengkajian Primer (primary survey)
Pengkajian cepat untuk
mengidentifikasi dengan segera masalah aktual/potensial dari kondisi life threatning (berdampak terhadap
kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
A = Airway dengan kontrol servikal
Kaji :
-
Bersihan jalan nafas
-
Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
-
Distress pernafasan
-
Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
B = Breathing dan ventilasi
Kaji :
-
Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
-
Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
-
Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C = Circulation
Kaji :
-
Denyut nadi karotis
-
Tekanan darah
-
Warna kulit, kelembaban kulit
-
Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D = Disability
Kaji :
-
Tingkat kesadaran
-
Gerakan ekstremitas
-
GCS atau pada anak tentukan respon A = alert, V = verbal, P = pain/respon nyeri, U = unresponsive.
-
Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
E = Eksposure
Kaji :
-
Tanda-tanda trauma yang ada.
2. Pengkajian Sekunder (secondary survey)
a.
Aktivitas/istirahat
1)
Kehilangan
fungsi pad bagian yang terkena
2)
Keterbatasan
mobilitas
b.
Sirkulasi
1)
Hipertensi
(kadang terlihat sebgai respon nyeri/ansietas)
2)
Hipotensi
(respon terhadap kehilangan darah)
3)
Tachikardia
4)
Penurunan
nadi pada bagian distal yang cedera
5)
Capillary
refill melambat
6)
Pucat pada
bagian yang terkena
7)
Masa hematoma
pada sisi cedera
c.
Neurosensori
1)
Kesemutan
2)
Deformitas,
krepitasi, pemendekan
3)
Kelemahan
d.
Kenyamanan
1)
Nyeri
tiba-tiba saat cedera
2)
Spasme/kram
otot
e.
Keamanan
1)
Laserasi
kulit
2)
Perdarahan
3)
Perubahan
warna
4)
Pembengkakan
lokal
(Musliha, 2010)
B.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa atau masalah keperawatan dapat
teridentifikasi sesuai dengan kategori urgensi masalah berdasarkan pada sistem
triage dan pengkajian yang telah dilakukan. Prioritas ditentukan berdasarkan
besarnya ancaman kehidupan : Airway, Breathing
dan Circulation. Diagnosa keperawatan Gawat Darurat yang dapat muncul pada
kasus Fraktur Kalvikula antara lain :
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fargmen tulang,
edema, dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi atau immobilisasi, stress,
ansietas.
2. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan
dengan penurunan atau interupsi aliran darah, hepovolemia.
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan gas berhubungan dengan perubahan
aliran darah, perubahan membran alveolar atau kapiler.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, nyeri/ketidaknyamanan, terapi restriktif, immobilisasi tungkai.
C. Rencana Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan,
maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi,
menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien, maka langkah selanjutnya
adalah memenuhi kebutuhan tersebut melalui suatu perencanaan yang baik.
1.
Nyeri berhubungan dengan otot,
gerakan fragmen tulang, alat traksi.
(1.)
Tujuan :
-
Menyatakan nyeri hilang.
-
Menunjukkan tindakan santai ;
mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan cepat.
-
Menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi.
(2.)
Intervensi :
(a.)
Pertahankan immobilisasi bagian
yang sakit dengan tirah baring gips, pembebat, traksi.
Rasional : Menghilangkan
nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
(b.)
Tinggikan dan dukung
ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan
aliran balik vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri.
(c.)
Lakukan dan awasi latihan
rentang gerak pasif/aktif.
Rasional : Mempertahankan
kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada
jaringan yang cedera.
(d.)
Berikan alternatif tindakan
kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan
sirkulasi umum ; menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
(e.)
Berikan obat sesuai indikasi
narkotik dan analgetik non narkotik.
Rasional : Menghambat
reseptor nyeri dan menurunkan ambang nyeri atau spasme otot.
2.
Resiko tinggi terhadap
disfungsi neurovaskuler perifer.
(1.)
Tujuan :
-
Mempertahankan perfusi
jaringan.
(2.)
Intervensi :
(a.)
Kaji aliran kapiler, warna
kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : Kembalinya
warna cepat (3 – 5 detik), warna kulit putih menunjukkan gangguan arterial,
sianosis diduga ada gangguan vena.
(b.)
Lakukan pengkajian
neuromuskuler, perhatikan fungsi motorik/sensori.
Rasional : Gangguan
perasaan bebas, kesemutan, peningkatan/ penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi
syaraf tidak adekuat atau syaraf rusak.
(c.)
Tes sensasi syaraf perifer
dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari pertama dan kedua dan kaji
kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari bila diindikasikan.
Rasional : Panjang
dan posisi syaraf parineal meningkatkan resiko cedera pada adanya fraktur kaki,
edema/sindrom kompartement, atau melapisi alat traksi.
(d.)
Kaji keseluruhan panjang
ekstremitas yang cedera untuk pembengkakan/pembentukan edema. Ukur ekstremitas
yang cedera dan bandingkan dengan yang tak cedera.
Rasional : Peningkatan
lingkar ekstremitas yang cedera dapat diduga ada pembengkakan jaringan/edema
umum tetapi menunjukkan perdarahan.
(e.)
Awasi tanda vital, perhatikan
tanda-tanda pucat, cyanosis, kulit dingin.
Rasional : Ketidakadekuatan
volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
(f.)
Berikan kompres es sekitar
fraktur sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan
edema/pembentukan hematoma yang dapat mengganggu sirkulasi.
(g.)
Awasi hemoglobin/hematokrit,
pemeriksaan koagulasi.
Rasional : Membantu
dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan keefektifan terapi
penggantian.
3.
Resiko tinggi terhadap gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak.
(1.)
Tujuan :
-
Mempertahankan fungsi
pernafasan yang adekuat.
(2.)
Intervensi :
(a.)
Awasi frekuensi pernafasan.
Rasional : Takipnea,
dispnea dan insufisiensi pernafasan.
(b.)
Auskultasi bunyi nafas
perhatikan terjadinya ketidaksamaan bunyi hiperesonan, juga adanya gemericik,
ronchi, mengi, dan inspeksi mengorok/sesak nafas.
Rasional : Perubahan
dalam/adanya bunyi adventisius menunjukkan terjadinya komplikasi pernafasan.
(c.)
Observasi sputum untuk tanda
adanya darah.
Rasional : Hemodialisa
dapat terjadi dengan emboli paru.
(d.)
Inspeksi kulit untuk petekie di
atas garis puting pada aksilla meluas ke abdomen/tubuh, mukosa mulut kantong
konjungtiva dan retina.
Rasional : Ini
adalah karakteristik yang paling nyata dari tanda emboli lemak,. Yang tampak
dalam 2 – 3 hari setelah cedera.
(e.)
Berikan tambahan oksigen bila
diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan
sediaan O2 untuk oksigenasi optimal jaringan.
(f.)
Berikan obat sesuai indikasi,
heparin dosis rendah.
Rasional : Blok
siklus pembekuan dan mencegah bertambahnya pembekuan pada adanya
tromboplebitis.
4.
Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri/ketidaknyamanan.
(1.)
Tujuan
-
Meningkatkan/mempertahankan
mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin mempertahankan posisi
fungsional.
(2.)
Intervensi
(a.)
Kaji derajat imobilitas fisik
yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap
mobilitas.
Rasional : Pasien
mungkin dibatasi oleh pandangan/persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual
memerlukan intervensi/informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
(b.)
Dorong penggunaan latihan
isometrik mulai dengan tungkai yang tidak sakit.
Rasional : kontraksi
otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu
mempertahankan kekuatan massa otot.
(c.)
Tempatkan dalam posisi
terlentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk
menstabilkan fraktur tungkai bawah.
Rasional : Menurunkan
resiko kontraksi fleksi pinggul.
(d.)
Berikan/bantu dalam mobilisasi
dengan kursi roda, kruk tongkat, sesegera mungkin, instruksikan keamanan dalam
menggunakan alat mobilitas.
Rasional : Mobilisasi
dini merupakan komplikasi tirah baring/contoh decubitus.
(e.)
Berikan diet tinggi protein,
karbohidrat, vitamin dan mineral, pertahankan penurunan kandungan protein
sampai setelah defekasi pertama.
Rasional : pada
cedera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan berkurang
dengan cepat. Sering mengakibatkan penurunan berat badan, selama traksi tulang
ini dapat mempengaruhi massa otot, tonus dan kekuatan.
(f.)
Konsul dengan ahli terapi
fisik/okupasi dan atau rehabiltasi spesialis.
Rasional : Untuk
membuat aktivitas individual/program latihan pasien dapat memerlukan bantuan
jangka panjang dengan gerakan, kekuatan dan aktivitas yang mengandalkan berat
badan. (Doengoes Marilynn E, 2000)
D. Implementasi/Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perwujudan dari
rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan
sebelumnya. Dalam melaksanakan rencana tersebut harus diperlukan kerjasama
dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien, dan klien sendiri. Hal-hal yang
perlu diperhatikan :
1.
Kebutuhan klien.
2.
Dasar-dasar dari tindakan.
3.
Kemampuan perseorangan,
keahlian/keterampilan dan perawat.
4.
Sumber dari keluarga dan klien
sendiri.
5.
Sumber dari instansi.
E. Evaluasi
Evaluasi
adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam
menggunakan proses keperawatan. Adapun evaluasi klien dengan fraktur suprakondiler
dilakukan berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan
asuhan keperawatan dinilai berhasil apabila dalam evaluasi terlibat pencapaian
kriteria tujuan.
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Fraktur suprakondiler humerus:
fraktur 1/3 distal humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri.
2.
Etiologi terjadinya fraktur
suprakondiler humerus diantaranya : 1. Adanya riwayat trauma atau cedera; 2.
Kecelakaan kendaraan bermotor; 3. Jatuh dari ketiggian; 4. Luka tembak; dan 5. Sidewipe injuries.
3.
Ada 2 mekanisme terjadinya fraktur yang menyebabkan dua macam
jenis fraktur suprakondiler yang terjadi : Tipe Ekstensi (sering terjadi 99%
kasus) dan Tipe fleksi (jarang terjadi).
4.
Berdasarkan klasifikasi
Gartland, tipe I yaitu fraktur nondisplaced, dapat diterapi dengan fiksasi
eksternal, seperti pemasangan plaster
cast. Fraktur tipe II merupakan fraktur displaced sehingga sulit direduksi
dan dijaga kestabilannya melalui metode eksternal. Pada fraktur tipe III
reduksi sulit dilakukan, dan stabilitas tulang hampir mustahil tanpa fiksasi
internal.
B. Saran
Walaupun
dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara
tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan
penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus
diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Dongoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan
Edisi 3. Jakarta: EGC
Krisanty. Paula, dkk. 2010. Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Paula Krisanty. Jakarta: EGC
Musliha, 2010. Keperawatan Gawat Darurat,
Nuha Medika, Yogyakarta
Price, S.A.,dkk,. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume
2, 2006, EGC, Jakarta
Rasjad C. Trauma. In: Pengantar
Ilmu Bedah Ortopedi. 6th ed. Jakarta: Yarsif Watampone,
2009, p. 355-356.
Suzanne, Smeltzer C dan Brenda G.
Bare. 2002. Fundamental Keperawatan.
Jakarta: EGC
|
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji Syukur
Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan tugas ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN GADAR FRAKTUR SUPRAKONDILER” sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan tugas keperawatan Gawat Darurat di Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan (STIKES) Puangrimaggalatung Bone.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan hati
terbuka mengharapkan saran-saran dan kritikan-kritikan yang membangun
(konstruksi) demi kesempurnaan tugas yang akan datang.
Selanjutnya dalam kesempatan ini
penulis tidak lupa untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan dalam menyelesaikan tugas ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
balasan yang setimpal kepada Bapak, Ibu, Kakak, Adik dan seluruh rekan-rekan
sekalian. Akhir kata penulis mengharapkan agar tugas gadar ini dapat bermanfaat
bagi pihak yang memerlukannya.
Watampone, 25 Mei 2015
Penyusun
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
.............................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah.........................................................................................2
C.
Tujuan Penulisan………………………...........…………..….....…….........2
BAB II PEMBAHASAN
I.
KONSEP DASAR MEDIS
A.
Definisi..........................................................................................................3
B.
Etiologi .........................................................................................................4
C.
Insiden...........................................................................................................4
D.
Patofisiologi...................................................................................................4
E.
Gambaran Klinis............................................................................................6
F.
Klasifikasi......................................................................................................6
G.
Pemeriksaan Penunjang ................................................................................8
H.
Penatalaksanaan.............................................................................................8
I.
Komplikasi..................................................................................................10
J.
Prognosis.....................................................................................................11
II.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GADAR FRAKTUR SUPRAKONDILER
A.
Pengkajian...................................................................................................11
B.
Diagnosa Keperawatan................................................................................13
C.
Rencana Keperawatan.................................................................................14
D.
Implementasi...............................................................................................18
E.
Evaluasi.......................................................................................................18
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
.................................................................................................19
B.
Saran............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
|
Tugas Gadar
ASUHAN
KEPERAWATAN GADAR
FRAKTUR
SUPRAKONDILER
OLEH :
Kelompok III
SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN (STIKES) PUANGRIMAGGALATUNG BONE
|
2015
No comments:
Post a Comment