Wednesday, 20 December 2017

KTI ASKEP TRAUMA PELVIS BAB IV

BAB IV
PEMBAHASAN

 Pada bab ini penyusun akan membahas mengenai kasus yang telah diuraikan pada bab sebelumnya yaitu “Asuhan Keperawatan pada Tn. S dengan Gangguan Sistem Mukuloskeletal : Trauma Pelvis di Ruang Penyakit Bedah Umum Pria ( C ) RSUD Tenriawaru Kab. Bone”. Asuhan keperawatan dilaksanakan selama 3 hari yang di mulai dari tanggal 28 Juni 2010 sampai dengan 30 Juni 2010.
Pada pembahasan ini akan diuraikan kesenjangan antara tinjauan teoritis dengan kasus dalam pelaksanaan secara nyata sesuai dengan tahap-tahap proses keperawatan yaitu : pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi, dan evaluasi keperawatan.
A.    Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan, oleh karena itu tepat atau tidaknya intervensi yang kita lakukan pada klien tergantung pada tahap pengkajian ini. Dalam pengumpulan data pada kasus Tn.S penyusun menggunakan dua tehnik anamnesa yaitu : Auto Anamnesa (pengkajian langsung pada klien dengan cara observasi, wawancara dan pemeriksaan) dan Allo Anamnesa (pengkajian yang dilakukan pada anggota keluarga, medical record, hasil-hasil pemeriksaan diagnostik atau data-data penunjang).
Dalam melakukan pengkajian pada kasus Tn. S dari tanggal 28 Juni 20010 sampai dengan 30 Juni 2010 berjalan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti, karena sebelumnya penyusun sudah membina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya. Didalam melakukan pengkajian klien dan keluarga mau mengungkapkan masalah-masalah yang dirasakan oleh klien dan memberikan jawaban atas pertanyaan penyusun kepada klien dan keluarga.
Pada tahap pengkajian ini penyusun mengumpulkan informasi yang sistematis tentang Tn. S dengan menggunakan konsep teoritis yang terkait dengan permasalahan klien sebagai alat bantu dalam arah pengkajian. Hasil  pengkajian yang diperoleh dari Tn. S antara lain seperti keluhan  nyeri tekan, deformitas pada kakinya, pembengkakan lokal, fungsi motorik, sensorik maupun peredaran darah kurang baik, gerak menjadi terbatas dan Semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang, klien memerlukan bantuan orang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam asuhan keperawatan teoritis.
Manifestasi klinis atau tanda dan gejala yang mungkin muncul dari hasil pengkajian yang dijelaskan pada asuhan keperawatan teoritis ternyata tidak semuanya muncul pada kasus Tn. S, tanda dan gejala tersebut antara lain seperti palpasi nadi meningkat dan krepitasi pada daerah patah. Penyebab tidak munculnya tanda dan gejala yang terdapat pada konsep teoritis tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain seperti nyeri yang dirasakan klien tidak begitu sakit oleh sebab itu saat nadinya diraba tidak terasa cepat atau meningkat kemudian pada saat pengkajian tidak terdengar krepitasi pada daerah patah itu dikarenakan klien pada saat itu sudah dipasang gips.
Selama proses pengkajian pada Tn. S,  penulis merasakan adanya faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung yang penulis rasakan pada tahap pengkajian adalah sikap klien dan keluarga yang kooperatif sehingga penulis dapat memperoleh data tentang permasalahan yang sedang klien alami, sedangkan faktor penghambatnya yaitu pada hari pertama pengkajian klien dan keluarga masih belum memberikan data yang lengkap kepada penyusun karena merasa malu.
 Kemudian, pengumpulan data seperti hasil pemeriksaan yang lain penyusun melihat dari catatan keperawatan dan catatan medis untuk memudahkan penyusun untuk memahami kondisi klien secara komprehensif.
  1. B.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual maupun potensial.
Setelah dilakukan proses pengkajian maka didapatkan data yang kemudian penyusun menganalisa dan mengidentifikasi menjadi rumusan diagnosa keperawatan aktual maupun resiko.
Pada tahap ini penyusun menganalisa dan mensintesis data yang telah dikelompokkan, kemudian dilakukan penilaian klinik tentang respon klien dan keluarga terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual dan resiko. Dari hasil penilaian klinik, diperoleh 6 diagnosa keperawatan dari kondisi Tn. S yaitu empat diagnosa aktual dan dua diagnosa resiko. Adapun diagnosa yang aktual adalah Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri, gangguan pemenuhan kebutuhan adl berhubungan dengan nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang, gangguan pemenuhan personal hygine : mandi berhubungan dengan keterbatasan pergerakan sekunder, dan kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi. Sedangkan diagnosa yang resiko yaitu Resiko tinggi Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan fiksasi eksternal, dan Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan Trauma pada jaringan kulit.
Keenam diagnosa yang muncul tersebut, hanya lima diagnosa yang tidak sesuai dengan asuhan keperawatan teoritis yaitu Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri, gangguan pemenuhan kebutuhan ADL berhubungan dengan nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang, gangguan pemenuhan personal hygine : mandi berhubungan dengan keterbatasan pergerakan sekunder, Resiko tinggi Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan fiksasi eksternal, dan Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan Trauma pada jaringan kulit. Sedangkan diagnosa yang sesuai dengan askep teoritis hanya satu yaitu Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi.
Alasan diangkatnya diagnosa tersebut karena pada saat pengkajian penyusun menemukan data-data yang terkait pada diagnosa tersebut seperti klien tampak mengantuk, klien tampak menguap dan klien juga mengatakan tidak bisa tidur malam dikarena nyeri kaki kanannya, dan penyusun beranggapan bahwa setiap orang yang mengalami fraktur atau patah tulang akan mengalami nyeri yang juga bisa mengakibatkan istirahat tidurnya akan terganggu, sedangkan diagnosa resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan Trauma pada jaringan kulit penyusun angkat dikarenakan pada saat pengkajian lukanya terdapat pus. Sedangkan, diagnosa gangguan pemenuhan kebutuhan ADL berhubungan dengan nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang, dan gangguan pemenuhan personal hygine : mandi berhubungan dengan keterbatasan pergerakan sekunder penyusun angkat dikarenakan fraktur pada kakinya yang mengakibatkan kebutuhan klien tidak terpenuhi. Sebaliknya, ada dua diagnosa yang tidak muncul pada klien yaitu Resiko tinggi trauma berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik, dan resiko Resiko tinggi berhubungan dengan adanya port de entree luka operasi dan Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional akan menjalani operasi, status ekonomi, perubahan fungsi peran. Alasan penyusun tidak mengangkat diagnosa tersebut dikarenakan tidak adanya data-data yang kuat untuk membuktikan ada masalah pada diagnosanya tersebut.
Kemudian, pada diagnosa kerusakan integritas kulit ada juga kesenjangan antara teori dengan praktek, penyusun lebih tertarik mengangkat masih resiko belum menjadi aktual dikarenakan pada saat pengkajian penyusun tidak menemukan data-data yang menunjukan bahwasannya diagnosa tersebut sudah menjadi aktual.

  1. C.    Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menentukan atau mengatasi masalah-masalah klien (Hidayat, Azis Alimus, 2004; 114).
Tahap perencanaan merupakan tahap lanjut dari diagnosa keperawatan, dimana didalam perencanaan akan menentukan keberhasilan asuhan keperawatan  yang akan dilakukan, kegiatannya dimulai dari menetapkan prioritas masalah, perumusan tujuan, penentuan kriteria hasil yang menggunakan SMART dan rencana tindakan sesuai dengan kondisi klien dan rasionalnya.
Pada tahap intervensi, penyusun membuat rencana tindakan sesuai data yang didapat pada saat pengkajian dan apa yang menjadi keluhan klien. Didalam menentukan tindakan keperawatan, penyusun merencanakan beberapa tindakan dengan mengikut sertakan keluarga dalam pelaksanaan asuhan keperawatan sehingga tidak ada kesulitan penyusun dalam melakukan tindakan keperawatan kepada klien dan keluarganya.

  1. D.    Implementasi  Keperawatan
Pelaksanaan rencana keperawatan merupakan kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada klien. Kegiatan ini meliputi pelaksanaan rencana keperawatan dan rencana medis. Pada tahap ini, penyusun dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Dalam hal ini penyusun sebagai anggota tim keperawatan mengimplementasikan intervensi keperawatan dengan berlandaskan teori, baik secara mandiri maupun kolaboratif sesuai dengan penyakit yang diderita pasien dan kondisi pasien saat itu. Di dalam tahap implementasi ini rencana tindakan yang sudah dibuat berdasarkan tinjauan teoritis sudah dilakukan dengan baik.
Dalam tahap pelaksanaan secara garis besar tindakan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan rencana, karena adanya kerjasama yang baik antara perawat, tenaga kesehatan lainnya dan keluarga namun penyusun masih sedikit mengalami hambatan dalam melakukan tindakan keperawatan dikarenakan pada saat melakukan perawatan luka dan ingin mengganti perban elastis yang kelihatan kotor, ada beberapa alat-alat yang tidak tersedia sehingga mengharuskan untuk membelinya demi kelengkapa alat yang kurang.
Dalam melaksanakan tindakan keperawatan, penyusun bekerja sama dengan perawat ruangan karena penulsi tidak bisa berada di ruangan selama 24 jam untuk memantau perkembangan dan melakukan perawatan kepada klien.

  1. E.    Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan aktual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan sejauh mana diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai karena melalui evaluasi memungkinkan perawatan untuk memonitor perkembangan klien.
Pada tahap ini penyusun melakukan penilaian terhadap asuhan keperawatan selama 3 hari, mulai dari tanggal 28 Juni 2010 sampai 20 Juni 2010, dengan menggunakan dua macam evaluasi yaitu formatif dan evaluasi sumatif, dari ketujuh diagnosa yang penyusun temukan pada Tn. S, dua diagnosa dapat teratasi, tiga teratasi sebagian dan dua diagnosa tidak menjadi resiko.
Adapun diagnosa yang teratasi yaitu yang kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi, faktor yang mendukung sehingga diagnosa tersebut teratasi karena adanya kerjasama yang baik dari klien dan keluarga sehingga apa yang penyusun informasikan atau sampaikan kepada klien dan keluarga lansung dilaksanakan.
Kemudian diagnosa yang teratasi sebagian adalah Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri, Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL berhubungan dengan nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang, dan Gangguan pemenuhan personal hygine : mandi berhubungan dengan keterbatasan pergerakan sekunder, adapun faktor yang penghambat sehingga diagnosa tersebut hanya teratasi sebagian dikarenakan nyeri yang dirasakan klien sering dirasakan klien apa lagi pada saat bergerak, sedangkan untuk diagnosa selanjutnya hanya teratasi sebagian karena pergerakan kaki kanannya terbatas dan didukung juga klien memakai fiksasi yaitu gips.
Kemudian yang terakhir untuk diagnosa yang tidak menjadi resiko yaitu Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan fiksasi eksternal dan resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan trauma pada jaringan kulit, faktor yang mendukung sehingga diagnosa tersebut tidak menjadi resiko adalah pada saat implementasi dilakukan tindakan sesuai rencana seperti perawatan luka dan tidak ada terjadi penekanan pada kulit klien.


No comments:

Post a Comment