Wednesday, 20 December 2017

KTI ASKEP TRAUMA PELVIS BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Konsep Medis
1.         Pengertian
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini menggambarkan superfisial dari respons fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktifitas seseorang.
(R.Sjamsuhidajat. 2005, hal.90).
Truama pelvis adalah trauma pada area pelvis yang dapat terjadi mulai dari yang ringan hingga yang mengancam kehidupan. Hal ini termasuk fraktur ring pelvis, fraktur acetabulun, serta injury pada jaringan yang ada pada area pelvis.
Mayoritas dari trauma panggul yaitu adanya injury yang disebabkan oleh trauma tumpul dengan kekuatan tinggi, meskipun pada pasien yang tua dan lemah, trauma dapat terjadi akibat rudapaksa tumpul dengan kekuatan rendah. Trauma dengan kekuatan tinggi meningkatkan resiko injury pada organ visera pelvis.
2.         Anatomi Fisiologi
Pelvis adalah daerah batang tubuh yang berada di sebelah dorsokaudal terhadap abdomen dan merupakan daerah peralihan dari batang tubuh ke extremitas inferior. Pelvis bersendi dengan vertebra lumbalis ke-5 di bagian atas dan dengan caput femoris kanan dan kiri pada acetabulum yang sesuai. Pelvis dibatasi oleh dinding yang dibentuk oleh tulang, ligamentum, dan otot. Kavitas pelvis yang berbentuk seperti corong, memberi tempat kepada vesicaurinaria, alat kelamin pelvic, rectum, pembuluh darah dan limfe, dan saraf. Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
File:Pelvic Fracture Young-Burgess Classification.png
Kerangka pelvis terdiri dari: dua os coxae yang masing-masing dibentuk oleh tiga tulang : os ilii, os ischii, dan os pubis, os sacrum.1 Os sacrum terdiri dari lima vertebrae rudimenter yang bersatu membentuk tulang berbentuk baji yang cekung kea rah anterior. Pinggir atas atau basis ossis sacri bersendi dengan vertebra lumbalis V. Pinggir inferior yang sempit bersendi dengan os coceygis. Di lateral, os sacrum bersendi dengan kedua os coxae membentuk articulation sacroiliaca. Pinggir anterior dan atas vertebra sacralis pertama menonjol ke depan sebagai batas posterior apertura pelvis superior, disebut promontorium os sacrum, yang merupakan bagian penting bagi ahli kandungan untuk menentukan ukuran pelvis. Foramina vertebralia bersama-sama membentuk canalis sacralis. Canalis sacralis berisi radix anterior dan posterior nervi lumbales, sacrales, dan coccygeus filum terminale dan lemak fibrosa. Oscoccygis berartikulasi dengan sacrum di superior. Tulang ini terdiri dari empat vertebra rudimenter yang bersatu membentuk tulang segitiga kecil yang basisnya bersendi dengan ujung bawah sacrum. Vertebra koksigeus hanya terdiri atas korpus, namun vertebra pertama mempunyai processus transverses rudimenter dan cornu coccygeum. Kornu adalah sisa pedikulus dan processus articularis superior yang menonjol ke atas untuk bersendi dengan kornu sakral. Os inominatum (tulang panggul), tulang ini terdiri dari tiga bagian komponen, yaitu: ilium, iskium, dan pubis. Saat dewasa tulang-tulang ini telah menyatu selurunya pada asetabulum. Ilium : batas atas tulang ini adalah Krista iliaka. Krista iliaka berjalan ke belakang dari spina iliaka anterior superior menuju spina iliaka posterior superior.

3.         Insiden
Trauma pada pelvis terjadi sekitar 44% kasus. Trauma ini merupakan akibat dari tabrakan pada salah satu sisi tubuh, yang disebabkan karena mobil ataupun jalan, fraktur tidak selalu timbul karena hal tersebut.  Banyak fraktur minor yang terjadi pada simphisis pubis atau yang terjadi pada ramus superior dan inferior. Fraktur lain dapat menjadi luas dan menggangu sendi sacro-iliaca. Trauma pelvis yang lebih berat terkait dengan perdarahan yang luas di pelvis dan jaringan retroperitoneal dan dapat berakibat fatal untuk korban, khususnya korban yang lanjut usia.
4.         Etiologi
Penyebab paling umum pada lansia adalah jatuh, tapi patah tulang yang paling signifikan melibatkan kekuatan energi tinggi seperti kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan bersepeda, atau jatuh dari ketinggian yang signifikan.
5.         Patofisiologi
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
a.         Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan.   Ramus    pubis    mengalami    fraktur,  tulang inominata
terbelah   dan   mengalami   rotasi  eksterna disertai robekan simfisis.
Keadaan ini disebut sebagai open book injury.
b.        Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecalakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
c.         Trauma vertikal
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakroiliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai
d.        Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
6.         Manifestasi klinis
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang dapat mengenai organ – organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang hebat.
Berikut Gejala klinis Berdasarkan klasifikasi Tile:
a.         Fraktur Tipe A: pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis.
b.        Fraktur Tipe B dan C:  pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing. Kadang – kadang terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat nyeri.
7.         Pemeriksaan Diagnostik
a.         Pemeriksaan radiologis:
1)        Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
2)        Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila keadaan umum memungkinkan.
b.        Pemeriksaan urologis dan lainnya:
1)        Kateterisasi
2)        Ureterogram
3)        Sistogram retrograd dan postvoiding
4)        Pielogram intravena
5)        Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal
8.         Penatalaksanaan
a.         Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga
panggul
b.        Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
1)        Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic sling
2)        Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan oleh grup ASIF
Berdasarkan klasifikasi Tile:
1)        Fraktur Tipe A:
Hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.
2)        Fraktur Tipe B:
a)         Fraktur tipe openbook
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis.
Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
b)        Fraktur tipe closebook
Beristirahat  ditempat  tidur  selama  sekitar 6 minggu tanpa
fiksasi apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
3)        Fraktur Tipe C :
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
9.         Komplikasi
a.         Komplikasi segera
1)        Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
2)        Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
3)        Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars membranosa.
4)        Trauma rektum dan vagina
5)        Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok.
6)        Trauma pada saraf :
a)         Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.
b)        Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.
b.        Komplikasi lanjut
1)        Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.
2)        Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
3)        Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
4)        Skoliosis kompensator

B.       Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung di berikan kepada klien kepada berbagai tatanan pelayanan dengan menggunakan metodologi proses keperawatan berpedoman kepada standar keperawatan dilandasi etik dan etika keperawatan, dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat. Dalam menyelesaikan masalah klien, perawat menggunakan proses keperawatan sebagai metodologi pemecahan masalah secara ilmiah.
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien melalui proses keperawatan. Teori dan konsep keperawatan diimplementasikan secara terpadu dalam tahapan terorganisir yang meliputi pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan dan evaluasi.
1.         Pengkajian
Pengkajian klien dengan ganguan muskuloskeletal meliputi pengumpulan data dan analisa data. Dalam pengumpulan sumber data klien diperoleh dari klien sediri, keluarga, dokter ataupun dari catatan medis.
a.         Pengumpulan data
1.)      Biodata klien dan penanggung jawab klien.
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, agama, tanggal masuk RS, nomor medik dan diagnosa medik.
2.)      Keluhan utama
Merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien mengalami fraktur dan imobilisasi biasanya mengeluh tidak dapat melakukan pergerakan, nyeri, lemah, dan tidak dapat melakukan sebagian aktivitas sehari-hari.
3.)      Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, terhadap berbagai sistem tubuh maka ditemukan hal sebagai berikut :
a.)       Keadaan umum
Pada klien yang immobilisasi perlu dilihat dalam hal keadaan umum meliputi penampilan, postur tubuh, kesadaran, dan gaya bicara klien karena immobilisasi biasanya mengalami kelemahan, kebersihan dirinya kurang, bentuk tubuh kurus akibat berat badan menurun.
b.)      Aktivitas istirahat
Apakah ada keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena mungkin segera fraktur ini sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan ; nyeri).
c.)       Sirkulasi
Hipertensi yaitu kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas atau hipotensi akibat kehilangan darah.
d.)       Neurosensori
Hilangnya gerakan/sensasi spasme otot dengan tanda kebas/kesemutan/parestesi. Adanya deformitas lokal, anuglasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi.
e.)       Nyeri/kenyamanan
Nyeri    berat   tiba - tiba   pada    saat    oedema,    mungkin
terlokalisasi pada jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
f.)       Keamanan
Lacerasi kulit,perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap dan tiba-tiba).
4.)      Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari pada klien fraktur meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kualitas minum dan kuantitas minum, dan eliminasi yang meliputi BAB (frekuensi, warna, konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, gosok gigi, dan cuci rambut serta memotong kuku), olahraga (frekuensi dan jenis), serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).
5.)      Data psiko sosial
Pengkajian yang dilakukan pada klien immobilisasi pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial pada sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan hubungan atau interaksi) klien dengan anggota keluarganya maupun dengan lingkungan.
Pada klien yang fraktur dan diimobilisasi adanya perubahan konsep diri terhadi secara perlahan-lahan yang mana dapat dikenal melalui observasi terhadap perubahan yang kurang wajar dalam status emosional, perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam masalah dan perubahan status tidur.
6.)      Data spiritual
Klien yang fraktur perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinan, harapan, serta semangat yang terkandung dalam diri klien merupakan aspek yang penting untuk kesembuhan penyakitnya.
7.)      Data penunjang
a)         Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma.
b)        Scan tulang tomogram, skan CI/MRI, memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c)         Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d)        Hitung darah lengkap, Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDI adalah respon normal setelah trauma.
e)         Kreatinin trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f)         Profil kagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel atau cedera hati.
b.        Masalah
Masalah yang timbul pada klien fraktur :
1.)      Nyeri.
2.)      Resiko terjadinya gangguan pertukaran gas.
3.)      Menurunnya mobilitas fisik.
4.)      Gangguan integritas kulit.
5.)      Kurang pengetahuan.
6.)      Resiko terjadinya trauma tambahan.
7.)      Resiko terjadinya ganggua perfusi jaringan.
2.         Diagnosa Keperawatan
a.         Resiko terjadinya trauma tambahan berhubungan dengan kurangnya informasi yang adekuat.
b.        Nyeri berhubungan dengan fraktur.
c.         Resiko terjadi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan arterio vena.
d.        Resiko terjadi gangguan gas berhubungan dengan kurangnya pengembangan paru akibat adanya imobilisasi.
e.         Menurunnya mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler skeletal ekstremitas bawah.
f.         Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan sirkulasi pada daerah yang tertekan karena imobilisasi.
g.        Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang masih basah.
h.        Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang adekuat.
3.         Perencanaan
a.         Resiko terjadinya trauma tambahan berhubungan dengan kurangnya informasi yang adekuat.
1.)      Data subyektif :
2.)      Data obyektif  : klien tidak kooperatif.
3.)      Tujuan : Tidak terjadi trauma tambahan dengan kriteria :
a)         Kestabilan dan keseimbangan fraktur tetap dipertahankan.
b)        Menunjukkan susunan callus dan mulai terjadinya sambungan pada fraktur sebagaimana mestinya.
4.)      Tindakan perawatan
a)         Atur posisi klien supaya letak axis tulang panjang dapat dipertahankan.
Rasional : Dapat membantu dan mempertahankan penjajakan tulang serta mengurangi komplikasi misalnya tertundanya penyem-buhan / tulang tidak menyatu.
b)        Periksa kedudukan/posisi gips spalk tiap hari
Rasional : Bila  letak  gips  spalk   bagus akan mempercepat
pertumbuhan jaringan callus serta penjajakan tulang dapat dipertahankan.
c)         Kolaborasi dengan tim medis untuk foto X-Ray.
Rasional : Dapat memberikan secara visual bila telah terjadi pembentukan callus serta letak kedudukan tulang.
b.        Nyeri berhubungan dengan fraktur.
1)        Data subyektif: klien mengeluh nyeri, mengeluh bertambah bila digerakkan.
2)        Data obyektif  : Ekspresi wajah meringis, fraktus tibia.
3)        Tujuan : Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria : tidak mengeluh nyeri, ekspresi wajah ceria.
4)        Tindakan keperawatan
a)         Kaji lokasi dan karakteristik nyeri.
       Rasional: Mengetahui asal, sifat, dan kapan datangnya nyeri sehingga dapat menentukan yang akan diberikan dengan tepat.
b)        Pertahankan immobilisasi secara efektif dengan cara tirah baring.
       Rasional   : Mencegah terjadinya gerakan yang sering dari tulang yang patah sehingga tidak merangsang saraf yang menimbulkan nyeri.
c)         Mengatur posisi kaki dan luka tanpa mempengaruhi axis tulang.
       Rasional : Menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi rasa nyeri.
d)        Ajarkan tehnik penanganan rasa nyeri kontrol stres dan cara relaksasi.
       Rasional :   Untuk mengalihkan perhatian, meningkatkan kontrol rasa serta meningkatkan kemampuan mengatasi rasa nyeri dan stres dalam periode yang lama..
e)         Monitor keluhan, kemajuan serta kemunduran dalam melokalisir nyeri yang tidak dapat hilang.
f)         Kolaborasi dengan tim medis dan pemberian analgetik.
       Rasional:Analgetik berfungsi untuk mengurangi rasa sakit.
c.         Resiko terjadi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan arterio vena.
1)        Data subyektif : klien mengatakan bengkak daerah perifer.
2)        Data obyektif : adanya edema dan hematoma sekitar fraktur, kulit pucat dan dingin
3)        Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan dengan kriteria:
a)         Tidak ada gangguan hematoma.
b)        Kulit hangat dan warna merah.
c)         Nadi teraba.
d)        Ada pengisian pada kapiler.
4)        Tindakan keperawatan
a)         Observasi warna dan suhu kulit serta pengisian kembali pembuluh darah kapiler.
Rasional : Kulit pucat  dan dingin serta pengisian kembali kapiler lambat atau tidak menunjukkan adanya kerusakan arteri sehingga tidak membahayakan sistem perfusi jaringan.
b)        Palpasi kualitas nadi bagian distal pada daerah fraktur.
Rasional : Nadi berkurang atau hilang menunjukkan luka pada pembuluh darah sehingga memerlukan evaluasi secara segera oleh tim medis untuk memperbaiki sirkulasi.
c)         Lakukan penilaian neurovaskuler serta perhatikan perubahan fungsi motorik/sensorik.
Rasional : Terganggunya perasaan, mati rasa, sakit yang berkepanjangan, menunjukkan adanya kerusakan saraf.
d)        Bebaskan alat-alat yang menekan seperti gips sirkuler verband dan lain-lain
Rasional : Akan mengurangi keterbatasan sirkulasi sehingga tidak mengakibatkan terbentuknya edema pada ekstremitas.
e)         Berikan kantong es di sekeliling fraktur jika dibutuhkan.
Rasional : Dapat mengurangi oedema atau terbentuknya hematom dan akan merusak sirkulasi.
d.        Resiko terjadi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya pengembangan paru akibat adanya imobilisasi.
1)        Data subyektif            :   -
2)        Data obyektif              :   Immobilisasi.
3)        Tujuan : Tidak terjadi gangguan pertukaran gas dengan kriteria sesak nafas, pengembangan paru sempurna, tidak ada wheezing dan ronchi, suara nafas vesikuler, frekuensi nafas normal.
4)        Tindakan keperawatan
a)         Awasi frekwensi pernafasan, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot bantu, retraksi serta sianosis.
Rasional : Tachypnea, dyspnea, serta perubahan mental sebagai indikator emboli paru pada tahap awal.
b)        Dengar bunyi nafas dan perhatikan pengembangan dada.
Rasional : Perubahan bunyi nafas serta adanya nafas yang berulang dapat menunjukkan adanya komplikasi pernafasan misalnya pneumoni, atelektasis, emboli dan lain-lain.
c)         Anjurkan dan bantu klien breathing exercise berupa nafas dalam dan batuk.
Rasional : Meningkatkan ventilasi oksigen dan perfusi alveolar.
d)        Rubah posisi tidur klien.
Rasional : Meningkatkan pengeluaran sekresi serta  mengurangi kongesti pada daerah paru yang bebas.
e)         Perhatikan bila ada kegelisahan, lethargi dan stupor.
Rasional :Terganggunya pertukaran gas dapat menyebabkan
keburukan dalam tingkat kesadaran seperti  berkembangnya
hipoksemia dan asidosis.
e.         Menurunnya mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler skeletal ekstremitas bawah.
1)        Data subyektif : Klien mengatakan tidak mampu menggerakkan ekstremitas bagian bawah.
2)        Data obyektif : Trauma Pelvis, immobilisasi.
3)        Tujuan : Klien dapat melakukan mobilitas fisik dengan kritieria : dapat menggerakkan ekstremitas yang tidak diimobilisasi, dapat mempertahankan mobilitas pada tingkat possibilitas yang tinggi.
4)        Tindakan keperawatan
a)         Kaji kemampuan fungsional.
Rasional : Mengenal kekuatan dan memberikan informasi yang berhubungan dengan penyembuhan serta tindakan yang akan diberikan.
b)        Bantu klien melakukan range of motion pasif/aktif pada ekstremitas yang sakit maupun tidak.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang, mencegah kontraktur, mengurangi atrofi dan mempertahankan mobilitas tulang/sendi.
c)         Mendorong klien melakukan latihan isometrik untuk anggota badan yang tidak terpengaruh dengan imobilisasi.
Rasional : Membantu menggerakkan anggota badan serta dapat mempertahankan kekuatan massa otot.
d)        Kolaborasi dengan dokter/therapiest untuk memungkinkan dilakukannya rehabilitasi.
Rasional : Berguna dalam menggerakkan program latihan dan aktivitas secara individual
f.         Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan sirkulasi pada daerah yang tertekan karena imobilisasi, ditandai dengan :
1)        Data subyektif : Klien mengatakan rasa panas pada panggul.
2)        Data obyektif : Immobilisasi, warna kulit pada derah panggul pucat.
3)        Tujuan : Gangguan integritas kulit teratasi dengan kriteria : tidak rasa panas pada daerah punggung dan bokong, kulit punggung dan bokong berwarna merah, tidak nyeri.
4)        Tindakan keperawatan
a)         Observasi daerah yang tertekan.
Rasional : Dapat memberikan gambaran daerah yang sudah dekubitus, yang sudah terjadi ischemik jaringan, serta tekanan pada kulit.
b)        Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perasat.
Rasional : Merupakan suatu tindakan yang paling penting untuk mencegah meluasnya infeksi karena sumber utama terjadinya kontaminasi oleh mikroba.
c)         Bersihkan luka dekubitus dengan obat antiseptik.
Rasional : Mencegah masuk dan berkembangnya kuman dalam luka yang dapat memperberat luka.
d)        Pijat daerah tulang dan kulit yang mendapat tekanan dengan menggunankan lotion.
Rasional : Dapat memperbaiki/meningkatkan sirkulasi dan mencegah terjadinya lecet pada kulit.
e)         Rubah posisi tidur dengan ganjalan bantal/kain pada daerah yang tertekan.
Rasional : Mengurangi tekanan terus menerus pada daerah tertekan.
f)         Mandikan klien setiap hari.
Rasional : Kulit bersih dan sirkulasi kulit lancar/baik.
g.        Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang masih basah.
1)        Tujuan : Luka sembuh dengan kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi
2)        Tindakan keperawatan
a)         Observasi keadaan luka klien.
Rasional : Dapat mengetahui adanya infeksi secara dini.
b)        Monitor tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tanda vital merupakan salah satu gejala infeksi.
c)         Gunakan tehnik aseptik dan antiseptik dalam melakukan setiap tindakan.
Rasional : Memutuskan mata rantai kuman penyebab infeksi sehingga infeksi tidak terjadi.
d)        Ganti balutan setiap hari dengan menggunakan balutan steril.
Rasional : Menjaga agar luka tetap bersih dan dapat menceah terjadinya kontaminasi.
e)         Beri antibiotik sesuai dengan program pengobatan
Rasional : Antibiotik membunuh kuman penyebab infeksi.
h.        Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan informasi yang adekuat.
1)        Data subyektif : klien bertanya tentang penyakitnya.
2)        Data obyektif : tidak kooperatif, gelisah.
3)        Tujuan :    pemahaman klien terpenuhi dengan kriteria : klien tidak bertanya tentang penyakitnya, klien lebih kooperatif dalam prosedur keperawatan.
4)        Tindakan keperawatan
a)         Jelaskan    prosedur    dan     tindakan    yang    diberikan.
Rasional :    Memberikan   dan   meningkatkan  pemahaman
Klien   sehingga    dapat   mengerti   dan   koopertif  dengan
tindakan yang diberikan.
b)        Jelaskan perlunya metode ambulasi yang tepat.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan dan akan memperlambat penyembuhan.
c)         Instruksikan pada klien agar mengatakan pada perawat bila ada hal-hal yang tidak menyenangkan.
Rasional : Dapat mengurangi stres dan kegelisahan.
4.         Implementasi Keperawatan
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan jalan nafas, mempermudah pertukaran gas, meningkatkan masukan nutrisi, mencegah komplikasi, memperlambat memperburuknya kondisi, memberikan informasi tentang proses penyakit (Doenges Marilynn E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan)
5.         Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respon pasien terhadap dan keefektifan intervensi     keperawatan.   Kemudian     mengganti    rencana perawatan
jika diperlukan. Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan (Doenges Marilynn E, 2000).
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan adalah :
a.         Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
b.        Nyeri yang dirasakan berkurang
c.         Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat,sensasi normal, dan tanda vital stabil
d.        Mempertahankan fungsi pernapasan yang adekuat
e.         Mempertahankan posisi fungsional
f.         Menunjukkan prilaku untuk mencegah kerusakan kulit
g.        Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,bebas drainage purulen atau eritema dan demam.
h.        Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis,dan pengobatan.



No comments:

Post a Comment