Wednesday, 20 December 2017

KTI ILEUS OBSTRUKSI BAB II


 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Konsep Dasar Medik

1.         Pengertian
a.         Ileus Obstruction adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. (Nurarif, 2015, Hal.128 dan Suratun , 2014, hal. 334).
b.        Ileus adalah suatu kondisi hipomortilitas (Kelumpuhan) saluran gastroinstestinal tanpa disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal.(Arif Muttaqin, 2011, Hal. 616).
c.         Obstuksi Usus findoks mengidentifikasikan penyembuhan total dari lumen usus. (Pierce, 2006, Hal.117).
d.        Ileus Obstruction adalah suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasioleh peristaltik dan dapat disebut akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari (Suratun, 2010, Hal.334).
e.         Obstruksi usus adalah suatu penyumbatan yang dapat bersifat fungsional atau mekanis. Penyumbatan tersebut menghalangi jalannya makanan, cairan, dan flatus, sehingga mengakibatkan distensi dan banyak kehilangan cairan diusus. (Marelli. TM., 2008, Hal.170)
f.         Obstruksi usus halus mekanik terjadi jika terdapat gangguan pada aliran isi usus. (Patel, 2006; Hal.119)
2.         Anatomi dan Fisiologi
a.         Anatomi system pencernaan























Gambar 1. Struktur Dari System Pencernaan

System gastrointestinal (disebut juga system pencernaan atau system digestif) terdiri atas saluran gastrointestinal dan organ aksesori. Rongga mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus, dan usus besar merupakan komponen saluran gastrointestinal. Organ aksesori terdiri atas gigi, lidah, serta beberapa kelenjar dan organ seperti kelenjar saliva, hati, dan pancreas yang menyuplai sekresi ke saluran pencernaan.
Rongga mulut atau nama lainnya rongga bukal atau oral mempunyai beberapa fungsi diantaranya dapat menganalisis material makanan sebelum menelan, proses mekanis dari (gigi, lidah, dan permukaan palatum), lubrikasi oleh sekresi saliva serta digesti pada beberapa material karbohidrat dan lamak.rongga mulut ini dibatasi oleh mukosa  mulut  yang  memiliki  Stratified  Squamus Epithelium.
Lambung terletak di bagian kiri atas abdomen tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong, lambung berbentuk tabung-J, dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, badan, dan antrum pilorikun atau pylorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayaor.


















        


Gambar 2. Anatomi Usus Halus
Sumber : Muttaqin, 2011 ; Hal.15

Usus halus berjalan dari pylorus lambung ke sekum dan dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang usus halus diperkirakan 3,65-6,7 meter, duodenum mempunyai panjang sekitar 25 cm, jejunum mempunyai panjang 2,5 m dimana proses digesti kimia dan absorpsi nutrisi terjadi di dalam jejunum, sedangkan ileum mempunyai panjang sekitar 3,5 meter. Bagian ujung ileum memiliki katup ileosecal yang mengontrol aliran material dari ileum ke usus besar.






Gambar 3. Struktur Anatomi Dari Kolon Dan Rektum
Sumber : (Muttaqin, 2011;Hal. 15 ).

Kolon yang mempunyai panjang sekitar 90-150 cm, berjalan dari ileum ke rectum. Bagian pertama kolon adalah sekum, dimana merupakan bagian yang paling lebar. Kolon berjalan sekum ke atas menjadi kolon kanan (Kolon Asendens) melintasi abdomen atas sebagai Kolon Transverses, dan turun sebagai kolon kiri (Kolon Desendens) ke sigmoid, yaitu bagian kolon yang paling sempit.
b.        Fisiologi sistem pencernaan
Fungsi primer saluran pencernaan adalah menyediakan suplai terus menerus pada tubuh akan air, elektrolit dan zat gizi, sehingga siap diabsorbsi. Selama dalam proses pencernaan, makanan dihancurkan menjadi zat-zat sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh sel jaringan tubuh. Berbagai perubahan sifat makanan terjadi karena kerja berbagi enzim yang terkandung dalam berbagai cairan pencerna.  Setiap jenis zat ini mempunyai tugas khusus menyaring   dan   bekerja   atas   satu   jenis   makanan   dan   tidak   mempunyai pengaruh terhadap jenis lainnya. (Setiadi, 2007; Hal.62)
Beberapa pengertian secara umum mengenai proses pencernaan adal;ah sebagai berikut:
1)        Ingesti, masuknya makanan kedalam mulut dan terjadi proses pemotongan dan penggilingan makanan yang dilakukan secara mekanik leh gigi.
2)        Peristaltis, gelombang kontraksi otot poros involunter yang meng-gerakkan makanan tertelan melalui saluran pencernaan
3)        Digesti, hidrolisis kimia molekul besar menjadi molekul kecil se-hingga absorbsi dapat berlangsung
4)        Egesti, proses eliminasi zat-zat sisa yang tidak tercerna, juga bakteri, dalam bentuk feses dari saluran pencernaan.
5)        Absorbsi, pergerakan produk akhir pencernaan dari lumen saluran pencernaan kedalam sirkulasi darah dan limfatik sehingga dapat digunakan oleh sel-sel tubuh. (Setiadi, 2007; Hal.62)
3.         Etiologi
a.         Perlengketan : Lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen.
b.        Intusepsi : Salah  satu  bagian  dari  usus  menyusup  kedalam bagian
lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus tertarik kedalam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltik yang memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling sering terjadi pada anaka-anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum kedalam dan terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum kedalam usus besar (colon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.
c.          Volvulus : Usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi. Keadaan ini dapat juga terjadi pada usus halus yang terputar pada mesentriumnya.
d.        Hernia : Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen.
e.         Tumor : Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus.
f.         Kelainan congenital. (Nurarif, 2015, Hal.128).
Sedangkan menurut Arif Mutaqqin (2011; hal.615), faktor predisposisi lain yang mendukung  peningkatan resiko terjadinya  ileus,  diantaranya sebagai berikut :
a.         Sepsis
b.        Obat-obatan (misalnya:opioid, antasid,coumarin,amitriptyline, chlor-
promazine).
c.         Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagne-semia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas)
d.        Infark miokard
e.         Pneumonia
f.         Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina)
g.        Bilier dan ginjal kolik
h.        Cedera kepala dan prosedur bedah saraf
i.          Inflamasi intra abdomen dan peritonitis
j.          Hematoma retroperitoneal. (Mutaqqin, 2011, Hal. 616) 
4.         Insiden
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosis ileus. Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita ileus setiap tahunnya. Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan (Chahayaningrum, 2012; Hal.3).
5.         Patofisiologi
Menurut beberapa hipotesis, ileus pascabedah dimediasi melalui penghambatan aktivasi reflex spinal. Secara anatomis,reflek yang terlibat pada ilus adalah pada pleksus ganglia prevertebral. Respons dari stres bedah mengarah pada generasi sistemik dari endrokrin dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus. model tikus telah menunjukkan bahwa laparotomi, penetrasi dan kompresi usus menyebabkan peningkatan jumlah makrofag, monosit, sel dendritik, sel T, sel-sel pembunuh alami, dan sel mast, seperti yang ditunjukkan oleh imunohistokimia. Kalsitonin-peptida ,nitrit oksid, peptida vaksoaktif. Intestina, dan substansi P berfungsi sebagai inhibitor neutron-transmiter pada system saraf usus.
Diferensiasi yang umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi  dan obstruksi usus mekanik. Seperti ileus pada pseudo-obstruksi ,terjadi dengan tidak adanya  patologi mekanis . beberapa tesk dan artikel cenderung menggunakan  ileus disamaartikan dengan pseudo-obstruksi atau merujuk kepada  “ileus kolon” . namun kondisi ini jelas merupakan dua entitas yang berbeda. Pseudo-obtruksi jelas terbatas pada usus besar, sedangkan ileus melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Usus besar yang terlibat dalam pseudo-obstruksi klasik, yang biasanya terjadi pada lanjut usia dengan gambaran penyakit ekstraintestinal serius atau trauma. Agen farmakologi , sepsis , dan ketidakseimbangan elektrolit dapat juga berkontribusi terhadap kondisi ini. Obstruksi usus mekanik dapat disebabkan oleh adhesi, volvulus, hernia, intususepsi, benda asing atau neoplasma.Klinis obtruksi hadir dengan kolik abdominal yang hebat  atau tanda-tanda  obstruksi  perforasi yang jelas. (Mutaqqin, 2011, Hal. 616) 
6.         Manifestasi Klinis
a.         Distensi abdomen.
b.        Muntah.
c.         Nyeri konstan distensi.
d.        Bising  usus  tenang  atau  tenang  atau  tidak  ada secara klasik dapat
ditemukan tetapi temuan yang tidak konsisten.
e.         Pemeriksaan laborat sering kali normal.
f.         Foto polos memperlihatkan Loop usus halus yang berdilatasi dengan batas udara-cairan.
g.        Sulit dibedakan dengan ilius obstruktif tetapi distensi tetapi distensi seluruh panjang kolon lebih sering terjadi pada ileus paralitik. (Nurarif, 2015, Hal.129).
7.         Komplikasi
Stangulasi menjadi penyebab dari kebanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus yang mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan menggeluarkan materi tersebut ke dalam rongga peritoneum. Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus yang permeabel tersebut dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan shock septik. Komplikasi lain yang dapat timbul anatara lain syok hipovolemia, abses, pneumonia aspirasi dari psoses muntah dan dapat menyebabkan kematian. (Suratun, 2010; Hal. 341)
8.         Tes Diagnostik
a.         Leukosit darah, kadar elektroilit, ureum, glukosa darah, amylase.
b.        Foto   polos   abdomen   atau   foto  abdomen  dengan  menggunakan
kontras
c.         Pemeriksaan feses
d.        Proktoskopi
e.         Enema baitum dan kolonoskopi
f.         Manometri dan elektromiografi (Nurarif, 2015, Hal.129).
9.         Penatalaksanaan Medik
a.         Obstruksi Usus Halus
1)        Dekompresi usus halus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermanfaat dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus. Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan. Sebelum pembedahan terapi intravena diperlukan untuk menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit (natrium, klorida, dan kalium).
2)        Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung penyebab obstruksi.
3)        Pasca bedah. Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup.
b.        Obstruksi Usus Besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi, pembukaan secara bedah yang dibuat pada sekum, dapat dilakukan pada pasien yang beresiko buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah reseksi bedah untuk mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan. (Suratun, 2010; Hal. 341-342)

B.       Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.         Pengkajian
Pangkajian ileus terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi diagnostik. pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus). Keluhan adanya kembung dan tidak bisa flatus bersifat akut  disertai mual, muntah, anoreksia, dan nyeri ringan pada abdomen.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, perawat mengkaji riwayat pembedahan abdominal, jenis pembedahan, penyebab adanya intervensi bedah, kondisi klinik preoperatif, pengetahuan mobilisasi dini pasien praoperatif, dan adanya penyakit sistemik yang memperberat, seperti adanya sepsis, gangguan metabolik, penyakit jantung, pneumonia pascabedah, prosedur bedah saraf, dan trauma abdominal berat .
Pengkajian psikosoial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena perut kembung dan belum bisa melakukan flatus, serta perlunya memenuhi informasi.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinik. pada survey umum pasien terlihat lemah. TTV biasa didapatkan adanya perubahan. Pada pemeriksaan fisik fokus  akan didapatkan:
Inspeksi : secara umum akan terlihat kembung dan didapatkan adanya distensi  abdominal.
Auskultasi : bising usus atau tidak ada .
Palpasi       : nyeri tekal local pada abdominal .
Perkusi       : timpani akibat abdominal mengalami kembung.
Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya gangguan elektolit atau metanolik, foto  polos  abdomen  untuk  mendeteksi  adanya  dilatasi gas berlebihan dari usus kecil dan usus besar. (Mutaqqin, 2011, Hal. 616) 
2.         Diagnosa Keperawatan
a.         Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas kelumpuhan intestinal
b.        Risiko  ketidakseimbangan  cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.
c.         Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan yang kurang adekuat.
d.        Risiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan penurunan volume darah.
e.         Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit.
f.         Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya misinterpretasi
g.        Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, distensi abdominal.

3.         Penyimpangan KDM
Gambar. 4. Dampak terhadap kebutuhan dasar manusia
Sumber : Muttaqin, 2011; Hal.616
 
 
















4.         Rencana Keperawatan
                        Rencana intervensi disusun sesuai dengan tingkat toleran individu .pada pasien ileus, intervensi pada masalah keperawatan actual/risiko tinggi syok hopovolemik dapat disesuaikan dengan masalah yang sama pada asuhan keperawatan pasien gastroenteritis. Untuk intervensi masalah nyeri, kecemasan, dan pemenuhan informasi dapat disesuaikan pada intervensi masalah pasien diverticulitis.
a.         Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas kelumpuhan intestinal.
Tujuan : Dalam waktu lima kali 24 jam terjadi perbaikan konstipasi.
Kriteria Hasil :
1)        Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan BAB.
2)        Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25x/menit.
3)        Gambaran foto polos abdomen tidak terdapat adanya akumulasi gas di dalam intestinal.
No
Intervensi
Rasional
1
Kaji faktor predisposisi terjadi-nya ileus
Walaupun predisiposisi ileus biasanya terjadi akibat pasca-bedah abdomen, tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan risiko terjadinya ileus
2
Monitor status cairan
Mendokumentasikan kondisi sta-tus cairan dan harus mela-porkan apabila didapatkan ada-nya perubahan yang signifikan.
3
Evaluasi secara berkala laporan pasien tentang flatus dan periksa kondisi bising usus
Pemantauan secara rutin dapat memberikan data dasar pada perawat atau sebagai peran untuk kolaborasi dengan medis tentang kondisi perbaikna ileus. Hasil evaluasi harus didoku-mentasikan secara hati-hati pada status medis.
4
Pasang selang nasogastrik
Pemasangan selang nasogastrik  dilakukan untuk menurunkan keluhan kembung dan distensi abdomen.
5
Lakukan teknik ambulasi
Pelaksanaan ambulasi tetap ber-manfaat dalam mencegah pem-bentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan pneumonia
6
Kolaborasi dengan dokter pemberian opioid antagonis selektif
Alvimopan ini ditunjukkan untuk membantu mencegah ileus postoperatif reseksi usus.

b.        Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah ,ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal
Tujuan : Dalam waktu 5x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria Hasil :
1)        Pasien tidak mengeluh pusing, membrane mukosa lembap, turgor kulit normal
2)        TTV dalam batas normal
3)        CRT <3 detik, urin >600 ml/hari
4)        Labolatorium: nilai elektrolit normal
No
Intervensi
Rasional
1
Monitor status cairan.
Penurunan volume cairan meng-akibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2
  Kaji sumber kehilangan cairan.
Kehilangan ciran dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium via oral yang juga akan meningkatkan resiko gangguan elektrolit.
3
Dokumentasi intake dan ouput cairan.
Sebagai data dasar dalam pemberian terapi cairan dan pemenuhan hidrasi tubuh secara umum.
4
Monitor TTV secara berkala.
Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemi yang memberikan manifestasi sudah terlibatnya system kardiovaskular untuk melakukan kompensasi memper-tahankan tekanan darah.
5
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer dan diaphoresis secara teratur.
Mengetahui adanya pengaruh adanya peningkatan tahanan perifer.
6
Kolaborasi:
a.     Pemberian cairan secara in-travena.



b.     Evaluasi kadar elektrolit

Jalur paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan perawat dlaam melakukan kontrol intake dan output cairan.
Sebagai deteksi awal menghindari gangguan elektrolit sekunder dari muntah pada pasien peritonitis


c.         Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan yang kurang adekuat. Tujuan : Setelah 7x24 jam asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan. Kriteria Hasil :
1)        Bising usus kembali normal dengan frekuensi 5-25x/menit.
2)        Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
3)        Terjadi penurunan gejala kembung dan distensi abdomen.
4)        Berat badan pada hari ke 7 pasca bedah
No
Intervensi
Rasional
1
Evaluasi secara berkala kondisi motilitas usus.
Sebagai data dasar teknik pem-berian nutrisi.
2
Hindari intake apapun secara oral.
Umumnya, menunda intake makanan oral sampai tanda klinis ileus berakhir. Namun kondisi ileus tidak menghalangi pemberi-an nutrisi enteral
3
Berikan nutrisi parenteral.
Pemberian enteral diberikan secara hati-hati dan dilakukan secara bertahap sesuai tingkat toleransi dari pasien
4
Berikan stimulant permen karet.
Pada suatu studi pemberian permen karet menunjukkan bahwa mengunyah permen karet sebagai bentuk pemberian makanan palsu pada fase pemulihan awal dari ileus pasca bedah setelah laparoskopi solectomy.
5
Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu).
Berguna untuk mengukur keefek-tifan nutrisi dan dukungan cairan.
6
Lakukan perawatan mulut.
Intervensi ini untuk menurunkan resiko infeksi oral.
7
Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jenis nutrisi yang akan digunakan pasien
Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan individu.

(Muttaqin, 2011; hal.620-623)
5.         Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan kategori dari perilaku keperawatan, dimana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan. Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain implementasi adalah melakukan rencana tindakan yang telah ditentukan untuk mengatasi masalah klien. (Haryanto, 2007).
6.         Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan pada pasien Ileus  setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :
a.         Kemampuan motilitas pasien meningkat dan kontstipasi dapat teratasi.
b.        Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan tubuh.
c.         Asupan nutrisi tubuh optimal.
d.        Pasien tidak mengalami syok hipovolemik.
e.         Terjadi penurunan respon kecemasan.
f.         Terjadi penurunan respons kecemasan.
g.        Terpenuhinya informasi kesehatan.
h.        Nyeri terkontrol atau teradaptasi.
(Muttaqin, 2011; Hal.623)



No comments:

Post a Comment