Tuesday, 19 December 2017

KTI ASKEP TRAUMA KAPITIS BAB IV


 
BAB IV
PEMBAHASAN

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada klien Tn. “H” dengan gangguan sistem persarafan: Trauma Kapitis di Ruang Bedah BLUD RS Tenriawaru Kelas B Kab. Bone, penulis menemukan beberapa kesenjangan antara teori dan praktek. Untuk memudahkan pembahasan, penulis menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, implementasi dan evaluasi.

A.       Pengkajian
75
 
Data pengkajian yang dapat ditemukan pada penderita Trauma Kapitis menurut teori  Dongoes (2000 ; 270-272) adalah :
1.      Aktivitas/Istirahat
Gejala :  Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
2.      Sirkulasi
Gejala :  Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Tanda:  Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3.      Integritas Ego
Gejala :  Perubahan  tingkah  laku  atau kepribadian (tenang atau  dramatis).
Tanda   : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,   depresi dan impulsif.
4.      Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
5.      Makanan / Cairan
Gejala  :  Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda  :  Muntah. Gangguan menelan
6.      Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, lapang pandang menyempit.
Tanda :  Perubahan kesadaran sampai koma.
1)      Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2)      Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
3)      Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
4)      Wajah tidak simetri.
5)      Genggaman lemah, tidak seimbang.
6)      Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.
7)      Apraksia, hemiparise, quedreplegia.
8)      Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.
9)      Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
10)  Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
7.      Nyeri/Kenyamanan
Gejala :Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda :Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
8.      Pernapasan
Tanda: Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. ronci, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
9.      Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
1)      Gangguan penglihatan
2)      Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan  (drainase) dari telinga/hidung  (CSS).
3)      Gangguan kognitif.
4)      Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
5)      Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
10.  Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
11.  Pemenuhan Pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol/obat lain.
Sedangkan data pengkajian yang penulis temukan pada kasus Tn. “H”, adalah :
1.      Klien mengatakan sakit pada kepala bagian belakang
2.      Klien mengatakan nyeri pada kening/alis bagian kiri
3.      Klien mengatakan sakit pada daerah bekas pembedahan
4.      Klien mengatakan sakit pada saat bergerak
5.      Klien dibantu dalam bergerak oleh keluarga
6.      Klien nampak lemah.
7.      Ekspresi wajah nampak meringis
8.      Skala nyeri 8
9.      Kekuatan otot melemah
10.  Klien nampak cemas
11.  TTV
TD : 110/70 mmHg
N   : 75 x/i
S    : 37o C
P    : 24 x/i
12.  Nyeri tekan pada kepala
13.  Nampak luka pada kepala bagian belakang dan kening pasca kecelakaan.
Setelah mencermati data diatas, penulis menemukan kesenjangan antara teori dan kasus, dimana ada beberapa data yang terdapat pada teori tapi tidak ditemukan pada kasus yaitu :
1.      Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). Data ini tidak didapatkan pada kasus karena pada saat mengkaji sistem kardiovaskuler, jantung klien tidak nampak ikteris.
2.      Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. Data ini tidak didapat pada kasus karena pada pengkajian sistem perkemihan pada Tn. “H”, tidak nampak kelainan pada saat berkemih.
3.      Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus. Hal ini tidak didapatkan dalam kasus karena klien dapat mengenal waktu dengan orang yang ada disekitarnya.
4.      Kehilangan pendengaran, perubahan dalam penglihatan seperti ketajaman-nya, diplopia, lapang pandang menyempit. Data ini tidak didapatkan pada kasus karena pendengaran maupun penglihatan klien masih berfungsi dengan baik.
5.      Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Penulis tidak mendapatkan data ini dalam kasus disebabkan status mental  masih dalam batas normal.
6.      Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. ronci, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). Penulis tidak mendapatkan data ini dalam kasus disebabkan pola nafas klien tidak menunjukkan kelainan.
Sedangkan hasil data pengkajian yang didapat pada kasus, semuanya didapat pula dalam pengkajian teori.

B.        Diagnosa Keperawatan
Menurut teori (Doenges, 2000), diagnosa keperawatan pada kasus Trauma Kapitis antara lain :
1.      Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipotensi / hemorage, hematoma, edema cerebral.
2.      Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler; kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial. 
3.      Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis).
4.      Perubahan  proses  pikir  berhubungan  dengan  perubahan fisiologis; konflik
psikologis.
5.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan.
6.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
7.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran; kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan; status hipermetabolik.
8.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional.
9.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan.
Sedangkan pada pelaksanaan kasus nyata Tn. ”H” ditemukan tiga diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1.      Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
2.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik
3.      Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka pasca kecelakaan.
Diagnosa keperawatan yang ada pada teori tapi tidak ditemukan pada kasus yaitu:
1.      Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipotensi / hemorage, hematoma, edema cerebral. Diagnosa ini tidak diangkat karena fungsi serebrum klien masih normal ditandai dengan  klien masih bisa menunjuk hidung sendiri.
2.      Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler; kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial.  Adapun penulis tidak mengangkat diagnosa ini disebabkan pola nafas klien tidak menunjukkan kelainan.
3.      Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis). Diagnosa ini tidak diangkat berhubung karena klien mampu membedakan panas/dingin dan masih bisa mengenal waktu dengan orang yang ada disekitarnya.
4.      Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik psikologis. Diagnosa ini tidak diangkat karena tidak ada gejala-gejala yang mendukung, dimana klien dapat memperhatikan ucapan yang disampaikan dan tingkat kesadaran klien  komposmentis dengan nilai 15 sedang
5.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang hasil/harapan. Diagnosa ini tidak ditegakkan karena klien masih mampu mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat dan keluarga klien selalu mendoakan supaya klien lekas sembuh.
6.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi; keterbatasan kognitif.  Penulis tidak mengangkat diagnosa ini karena klien maupun keluarga memahami tentang kondisi, aturan pengobatan dan potensial terjadinya komplikasi.
Adapun diagnosa keperawatan yang  terdapat dalam kasus tetapi tidak terdapat dalam teori adalah : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, penulis mengangkat diagnosa ini karena ekspresi wajah klien nampak meringis dan klien mengatakan sakit pada kepala bagian belakang serta kening/alis bagian kiri.
Dengan demikian tidak semua diagnosa yang ada dalam teori dapat ditemukan pada klien yang dirawat dengan kasus Trauma Kapitis. Sebaliknya ada diagnosa yang ditemukan pada kasus namun tidak ada dalam teori. Hal ini disebabkan atau dipengaruhi oleh berat atau ringannya suatu penyakit dan komplikasi yang dialaminya.

C.       Perencanaan / Intervensi
Untuk mengatasi masalah keperawatan yang terjadi pada klien, maka  dibuat perencanaan tindakan berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan. Adapun rencana yang ditetapkan pada diagnosa keperawatan dalam kasus tidak semua sama dengan rencana keperawatan pada teori, hal ini disebabkan pada kasus penulis menentukan rencana keperawatan yang kemungkinan bisa dilakukan oleh klien. Berikut penulis memaparkan hasil analisa kesenjangan antara intervensi teori dan intervensi pada kasus dengan diagnosa yang sama :
1.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik
a.       Intervensi pada teori
1)      Periksa  kembali  kemampuan  dan  keadaan  secara  fungsional  pada
kerusakan yang terjadi.
2)      Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
3)      Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
4)      Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
5)      Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, dang anti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan.
6)      Pantau pengeluaran urine, catat warna dan bau dari urine.
7)      Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi kemampuan klien untuk melakukan aktivitas.
b.      Intervensi pada kasus
1)      Evaluasi respon pasien terhadap aktifitas
2)      Berikan lingkungan yang tenang
3)      Support klien untuk selalu melakukan gerakan yang sederhana
4)      Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan
Setelah penulis mencermati antara intervensi teori dengan intervensi kasus maka didapatkan beberapa kesenjangan, dimana pada teori ditemukan beberapa intervensi yang tidak didapatkan pada kasus yaitu : Periksa  kembali  kemampuan  dan  keadaan  secara  fungsional  pada kerusakan yang terjadi, intervensi ini tidak diaplikasikan pada kasus karena klien mampu berinteraksi dengan baik, kepada orang lain, perawat, dokter dan orang-orang terdekat. Pantau pengeluaran urine, catat warna dan bau dari urine,  hal ini tidak dimasukkan dalam intervensi kasus karena pada saat pengkajian penulis tidak menemukan kelainan pada saat klien berkemih dan tidak terjadi distensi kandung kemih.
Sedangkan intervensi yang dilaksanakan pada kasus namun tidak terdapat pada teori yakni : Berikan lingkungan yang tenang, intervensi ini penulis lakukan dengan alasan untuk menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, serta meningkatkan istirahat klien.
2.      Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka pasca kecelakaan.
a.       Intervensi pada teori
1)      Berikan perawatan aseptic dan antiseptic, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2)      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan). Catat adanya inflamasi.
3)      Pantau suhu tubuh secara teratur.
4)      Berikan perawatan perineal.
5)      Observasi warna/kejernihan urine.
6)      Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.
7)      Kolaborasi, berikan antibiotic sesuai indikasi.

b.      Intervensi pada kasus
1)      Kaji tanda-tanda infeksi
2)      Pertahankan teknik perawatan
3)      Ganti perban setiap hari
4)      Kolaborasi pemberian antibiotic ciprolatacin
Beberapa intervensi yang ditemukan pada teori namun didalam kasus nyata tidak ditemukan antara lain : Pantau suhu tubuh secara teratur, intrvensi ini penulis tidak masukkan dalam kasus disebabkan pada saat pengkajian suhu tubuh klien masih dalam batas normal. Observasi warna/kejernihan urine, penulis tidak mengambil intervensi ini karena pada saat pengkajian sistem perkemihan klien baik-baik saja. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi, intervensi ini tidak dimasukkan dalam kasus nyata karena saat pengkajian klien hanya ditemani oleh istri.
Adapun intervensi dalam kasus yang tidak ditemukan pada teori yakni : Ganti perban setiap hari, penulis mengambil intervensi ini dengan alasan agar mempercepat proses penyembuhan klien dan mencegah terjadinya infeksi.

D.       Implementasi
Dalam pelaksanaan implementasi pada Tn. ”H” disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Dimana tindakan yang diberikan kepada klien mengacu pada kebutuhan klien saat ini. Dari ketiga diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan dalam kasus telah dilaksanakan. Kesenjangan pada tahap pelaksanaan rencana asuhan keperawatan ini tidak begitu jauh berbeda karena disesuaikan dengan kondisi klien. Serta partisipasi klien dan keluarga dalam pemberian tindakan asuhan keperawatan tersebut.

E.        Evaluasi
Untuk mengevaluasi semua masalah tersebut, penulis secara langsung mengamati perubahan yang terjadi pada klien sesuai dengan kriteria evaluasi yang ditetapkan. Dari ketiga diagnosa keperawatan yang penulis angkat dalam tinjauan kasus semuanya belum teratasi. Ini disebabkan oleh waktu yang sangat terbatas yakni hanya tiga hari, sedangkan kondisi Tn. “H” masih membutuhkan perawatan yang intensif melihat jenis penyakit yang dialami (Trauma Kapitis) adalah jenis penyakit yang proses penyembuhannya memerlukan waktu yang agak lama dan memerlukan tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman.


No comments:

Post a Comment