Wednesday, 20 December 2017

MAKALAH THAHARAH 1

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Bersuci merupakan hal yang sangat penting untuk di kaji lebih lanjut pembahasannya. Karena Shalat tidak akan sah kecuali dengan sucinya orang yang shalat dari hadats dan najis menurut kemampuan untuk melakukannya, dan juga karena sarana untuk bersuci adalah air atau yang menggantikannya seperti (debu untuk) tayammum ketika tidak ditemukan air, maka umumnya para ahli Fiqh memulai (dalam menulis) kitabnya dengan pembahasan tentang thaharah terlebih dahulu. Adapun pembahasan tentang thaharah menjadi pembahasan yang pertama karena merupakan kunci shalat. Sebagaimana telah di sebutkan dalam hadits: “Kuncinya shalat adalah bersuci.”
Hal itu dikarenakan hadats dapat menghalangi shalat dan dengan thaharah lah kita dapat melaksanakan shalat. Seperti perumpamaan gembok yang dipasang pada orang yang berhadats. Apabila dia berwudlu, maka lepaslah kunci gembok tersebut.
Begitu pentingnya makna thaharah dalam ilmu Fiqh di sini, maka akan dipaparkan pula hal-hal yang menjadi bagian dari bab ini, adalah wudlu sebagai cara bersuci yang dapat menghilangkan hadats kecil, dan mandi sebagai cara bersuci untuk menghilangkan hadats besar, serta tayammum yang di maksud dengan bersuci dari hadats kecil ketika seseorang tersebut tidak menjumpai adanya air ketika ia akan melaksanakan shalat.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat di bentuk beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.         Bagaimana pengertian thaharah atau bersuci serta keutamaannya?
2.         Apa pengertian istinja’, hadats dan najis beserta macam-macamnya?
3.         Apa saja definisi istinja wudlu, mandi, dan tayammum beserta beberapa pemecahan dari permasalahan yang timbul di masyarakat.
C.      Tujuan Penulisan
Berikut adalah beberapa tujuan dari penulisan makalah Studi Fiqh yang berjudul “Thaharah” ini, antara lain:
1.    Mengetahui dan memahami makna dari thaharah beserta keutamaannya.
2.    Megetahui dan memahami pengertian dari hadats dan najis beserta macam-macamnya.
3.    Memaparkan arti dari wudlu, mandi, dan tayammum beserta masing-masing penjelasannya.























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Thaharah dan Keutamaannya
Secara etimologi (bahasa), pengertian thaharah adalah bersuci, dan bersih dari kotoran material dan immaterial, atau baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata, seperti aib, dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara terminologi (istilah) adalah mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau bersih dan suci dari najis, baik najis faktual, semisal tinja, maupun najis secara hukmi, yaitu hadats.[1] Thaharah adalah bersih dan suci dari kotoran kotoran yang sifatnya fisik maupun maknawi, thaharah juga dibedakan menjadi dua macam :
1.    Thaharah lahir. Yaitu dilakukan dalam bentuk wudlu atau mandi dengan air. Disamping itu air, juga digunakan menyucikan pakaian, badan, dan tempat dari najis.
2.    Thaharah batin. Yaitu, dilakukan dalam bentuk kebersihan hati dari sifat sifat yang buruk (syirik, kufur, sombong, ujub, dendam, dengki,munafik, riya, dan sebagainya) dan tersisanya hati dengan sifat sifat yang baik (tauhid, iman, jujur, ikhlas, yakin, tawakal, dan sebagainya). Hal itu dapat disempurnakan dengan banyak bertaubat, beristighfar, dan berdzikir kepada Allah.
Apabila lahiriah manusia sudah suci dengan air dan batinnya pun suci dengan tauhid dan iman maka ruhaninya pun menjadi jernih, jiwanya menjadi baik, hatinya menjadi giat, dan siap untuk bermunajat kepada tuhannya dalam kondisi yang paling baik. Badan suci, hati suci, pakaian suci, dan berada ditempat yang suci. Ini adalah puncak adab (kesopanan), penghormatan dan pengagungan kepada Tuhan semesta alam dengan cara melaksanakan ibadah. Karena itulah bersuci merupakan sepruh iman.[2]
Allah shubhanahu wata’ala berfirman :
إٍنّ الله يحب التّوّابين و يحبّ المتطهرين
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci. (QS. Al Baqarah : 222)
Dari Abu Malik Al-Asy’ari radliallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
الطهور شطر الإيمان و الحمد لله تملأ الميزان
Bersuci adalah separuh iman dan ‘alhamdulillah’ adalah memenuhi mizan (timbangan amal)[3]

Ath-thaharah merupakan syarat shalat yang paling kuat. Dan media atau alat untuk bersuci pun banyak sekali macamnya salah satunya adalah air (al-ma’). Ada beberapa sifat air yang dapat digunakan dan tidak dapat digunakan untuk bersuci, seperti yang telah di firmankan oleh Allah SWT dalam Q.S Al-Furqon ayat 48:
Artinya: “ …Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Q.S. Al-Furqon:48)
Dan firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal ayat 11:
Artinya: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu...” (Q.S. Al-Anfal: 11)

Keutamaan Thaharah
Perlu kita mengerti keutamaan ath-thaharah di sisi Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Ta`ala. Kita dapati antara lain firman Allah di dalam Al-Qur’an.
إٍنّ الله يحب التّوّابين و يحبّ المتطهرين
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang melakukan amalan thaharah (bersuci).” (Al-Baqarah: 222)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
الطهور شطر الإيمان و الحمد لله تملأ الميزان
Bersuci adalah separuh iman dan ‘alhamdulillah’ adalah memenuhi mizan (timbangan amal (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari radliyallahu `anhu).

Dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Kuncinya shalat itu ialah berthaharah, dan pengharamannya (yakni mulai diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam (yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya dari Ali. Abu Isa (yakni At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”).

Thahur merupakan sesuatu yang suci pada dzatnya dan bisa mensucikan yang lainnya, yaitu yang tetap pada ciptaannya (artinya pada sifat yang benda tersebut dicipta atasnya). Bersuci juga merupakan salah satu keindahan islam. Bersuci dapat dilakukan dengan menggunakan air suci sesuai dengan sifat yang ditetapkan oleh syara’ mengenai tata cara menghilangkan hadats dan najis Mengingat karena air merupakan alat bersuci, maka disebutkan pula beberapa macam air yang sah digunakan untuk bersuci.

Macam Macam Air
            Air dibagi menjadi dua macam :
1)      Air Suci. Yaitu, air yang masih dalam kondisi aslinya. Seperti :
a.       Air hujan
b.      Air laut (air asin)
c.       Air sungai (air tawar)
d.      Air sumur
e.       Air sumber (mata air)
f.        Air es (salju)
g.      Air embun
baik keluar dengan sendirinya maupun dengan alat, tawar maupun asin, panas maupun dingin. Air jenis inilah yang diebut dengan air suci yang dapat digunakan untik bersuci.
2)      Air Najis. Yaitu, air yang berubah warna, rasa dan aromanya karena terkena najis, baik air itu dalam jumlah sedikit maupun banyak. Air semacam ini tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Air dapat dibagi menjadi dua berdasarkan asalnya, yaitu air yang datang dari langit, dan air yang datang dari bumi. Hal ini bila dilihat dari segi keadaan yang wujud. Sedangkan menurut asalnya, semua air itu berasal dari langit.[4]
Dari pembagian air-air tersebut, kemudian dapat dibagi lagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:
1. Air Mutlak
Air yang suci keadaannya dan mensucikan pada yang lain.
2. Air suci yang tidak mensucikan
Air ini makruh untuk digunakan di badan saja, namun tidak makruh untuk mensucikan pakaian. Contohnya: Air yang dipanaskan dengan sinar matahari.
3. Air musta’mal.
Air suci yang tidak dapat mensucikan yang lainnya, karena sudah terpakai untuk menghilangkan hadats (kotoran) atau najis.
4. Air najis
Air suci yang terkena najis yang tidak ma’fu.
Air najis ini terbagi menjadi 2, yaitu :
> Air yang sedikit, kurang dari dua kulah yang terkena najis, baik ia berubah ataupun tidak
> Air yang banyak, lebih dari dua kulah yang berubah sebab kemasukan sesuatu, baik berubahnya itu sedikit atau banyak.[5]

Apabila air tersebut telah berubah karena terkena najis, maka tidak boleh bersuci dengannya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat) di dalamnya. Dan apabila berubah terkena sesuatu yang suci dan tidak dominan atasnya, maka yang benar dari dua pendapat para ulama adalah boleh untuk bersuci dengannya.[6]



Pembagian Jenis Najis
Adapun najis terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah adalah najis yang paling ringan. Contohnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan kecuali air susu ibunya. Cara membersihkannya cukup dengan cara diperciki air saja. Sebagaimana terdapat dalam hadis berikut:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Ummi Qais binti Mihshon, bahwa dia mendatangi Rasulullah saw. bersama anak laki-lakinya yang belum apapun kecuali susu ibunya, kemudian Rasulullah memangkunya, lalu bayi tersebut mengencingi baju beliau. Lalu Rasulullah minta diambilkan air, dan kemudian dia memerciki pakaiannya dan tidak mencucinya.[11]  (HR. Abu Daud, An-Nasai dan Al-Hakim)
2. Najis Mughaladlah

Najis mughaladah adalah najis berat yang cara membersihkannya adalah dengan cara diusap dengan tanah, kemudian dicuci dengan air sebanyak tujuh kali. Contoh yang diberikan Nabi adalah liur anjing sebagaimana hadis berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ ».
“Apabila anjing minum dalam bejana milik salah seorang diantara kamu, bersihkanlah dengan tanah, kemudian cucilah dengan air sebanyak tujuh kali.”[12]

3 Najis Mutawasithah
Najis mutawasithah adalah najis sedang yang cara membersihkannya cukup dicuci dengan air tiga kali atau lebih sampai hilang bau, warna, dan bentuk najisnya. Contoh benda-benda najis yang masuk kategori ini adalah:

Darah Haid dan Nifas
Mengenai kenajisan darah haid dijelaskan di dalam al-Qur’an berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى ...
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. (Al-Baqarah/2: 222)
Dalam sebuah hadis juga dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ « تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ ».
Dari Asma’ berkata: datang seorang perempuan kepada Nabi saw., dan berkata: salah satu di antara kami pakaiannya terkena darah haid, bagaimana kami membersihkanya? Keriklah kemudian cuci dengan air, kemudian gunakan dan shalatlah dengannya.[13]
Dari hadis di atas dijelaskan cara membersihkan darah haid adalah dengan cara mengeriknya kemudian dicuci dengan air. Namun apabila setelah dicuci masih meninggalkan bekas pakaian tersebut tetap dianggap suci sebagaimana hadis dari Abu Hurairah berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ يَسَارٍ أَتَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ، قَالَ: فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ، ثُمَّ صَلِّى فِيهِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ؟ قَالَ: يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ.
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut.’ Maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka cucilah yang terkena haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.” Ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tak bisa hilang?’ Rasulullah menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tak membahayakan (shalat)mu.”[14]


Wadi dan Madzi
Wadi adalah air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Biasanya keluar diakibatkan kelelahan. Sementara madzi adalah air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang bercumbu. Keluarnya tidak terasa, terjadi pada perempuan dan laki-laki.[15] Hal ini diterangkan dalam hadis berikut: 
عَلِىٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Ali bin Abi Thalib berkata: Aku adalah laki-laki yang kerap keluar madzi dan aku malu menanyakannya kepada Nabi saw, karena putrinya menjadi istriku, maka aku meminta Miqdad menannyakannya kepadanya, lalu beliau menjawab: cucilah kemaluanya dan berwudhulah.”[16]

Tinja
Semua tinja hewan, baik yang dagingnya dimakan ataupun tidak. Berdasarkan hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْخَلَاءَ وَقَالَ ائْتِنِي بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَالْتَمَسْتُ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَلَمْ أَجِدْ الثَّالِثَ فَأَتَيْتُهُ بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ إِنَّهَا رِكْسٌ
Dari Abdullah bahwa Rasulullah saw. buang air besar mandi dan meminta: “Bawakan kepadaku tiga batu.” Lalu aku mencari namun aku dapatkan dua buah batu dan aku tidak mendapat yang ketiga, lalu aku bawakan dua buah batu dan kotoran unta. Beliau mengambil dua buah batu dan membuang kotoran unta, beliau bersabda: “Ini adalah kotoran (najis).” (HR. Abu Dawud)
Seandainya kotoran onta yang kering tidak najis, tentu Nabi saw. tidak menolak menggunakannya untuk bersuci.

Air seni
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ عَلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ لَا تُزْرِمُوهُ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ
“Pada suatu ketika ada seorang Arab badui kencing di dalam masjid, maka sebagian sahabat mendatanginya, berkata Rasulullah saw.: biarkan dia, ketika selesai kencing, Rasulullah menyuruh salah seorang sahabat untuk menyiramnya dengan air satu ember.[17]

Bangkai
Para ulama bersepakat bahwa bangkai termasuk najis. Hal ini disandarkan pada hadis berikut ini:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبَّقِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
Dari Salamah Ibnul Muhabbaq berkata, “Ketika perang Tabuk, Rasulullah saw. mendatangi sebuah rumah, lalu beliau menemukan sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau kemudian minta diambilkan air dengan wadah tersebut, maka para sahabat pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai!” beliau bersabda: “Penyamakannya telah menjadikan ia suci.” (HR. Abu Dawud)
Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kulit bangkai jika disamak menjadi suci. Namun tidak semua bangkai najis. Dalam Islam ada dua jenis bangkai yang dianggap suci, yakni bangkai ikan dan bangkai belalang atau hewan yang tidak memiliki darah.

Babi
Semua ulama sepakat bahwa babi adalah najis. Sebagaimana firman Allah berikut:
قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.S. Al-An’am/6: 145)

Muntah
Ada sebagian ulama yang memasukan muntah sebagai barang najis. Sebagaimana hadis berikut:
يا عمار إنما يغسل الثوب من خمس من الغائط والبول والقيء والدم والمني
Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal : kotoran, air kencing, muntah, darah dan mani.[18]
Namun dalam hadis ini terdapat dua orang perawi, Ibrahim Ibn Zakariya dan Thâbit Ibn Humâdi yang dinilai kalangan hadis sangat dhaif. Dari keterangan ini berarti muntah tidak dapat dikatakan najis, meskipun termasuk kotoran.

Cara Mensucikan Najis
Najis pada umumnya dibersihkan dengan menggunakan air yang dapat untuk bersuci, kecuali beberapa hal . Adapun penjelasan tentang cara membersihkannya menurut keadaan najis dan benda yang terkena najis adalah sebagai berikut:
1.      Apabila najis tersebut dapat dilihat seperti kotoran, darah, dsb, dan najis itu mengenai tempat , badan, atau pakaian, maka membersihkannya dengan digosok bersamaan dengan air, kemudian disiram dengan air sekali atau beberapa kali sehingga zat najis itu hilang warnanya, baunya, dan rasanya. Jika, setelah cukup dicuci, masih juga ada sedidkit warna dan bau yang sukar dihilangkan, hal itu dimaafkan.
2.      Apabila najis itu tak dapat dilihat, seperti air kencing yang sudah lama sehingga telah hilang tanda-tandanya atau sifat-sifatnya, maka cara membersihkannya cukup disiranm air sekali atau beberapa kali.
3.      Apabila barang yang terkena najis adalah barang cair, yakni selain air, maka dibuanglah atau tidak dapt digunakan barang tersebut sama sekali. Namun, jika yang terkena najis adalah barang yang kental, maka dibuanglah sebagian dari yang terkena najis itu.
4.      Membersihkan tanah yang terkena najis adalah dengan menuangkan air di atas tanah yang terkena najis tersebut. Apabila najis yang mengenai tanah itu cair, tanah menjadi suci jika cairan itu telah mongering. Tetapi jika najis itu berupa zat beku, maka tidak akan suci kembali kecuali zat najis itu dihilangkan.
5.      Peralatan yang permukaannya licin seperti cermin, pedang, dsb, apabila terkena najis cukup dibersihkan dengan cara digosok aatau mengusapnya sehingga hilang bekas-bekas najis itu.
6.      Sepatu dan sandal yang terkena najis cukup dibersihkan dengan cara menggosokkannya ke tanah sehingga hilang najis yang menempel pada sepatu dan sandal tersebut.
Membersihkan kulit binatang. Binatang yang dagingnya halal dimakan, mengandung ketentuan hukum tentang kesucian kulit tersebut dapat digunakan oleh manusia. Cara lain untuk menyucikan kulit hewan yang haram dimakan adalah dengan menyamak.[19]

Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci (maka tidak boleh pula melaksanakan shalat). Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.[20]
Pembagian Jenis Hadats
Hadats terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hadats Kecil (Shughra)
Hadats yang mengakibatkan seseorang harus berwudhu atau bertayamum untuk menghilangkannya. Adapun hadats shughra disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Buang air (baik dari dubur maupun qubul)
2. Buang angin
3. Hilang akal sepert tidur, pingsan, ataupun gila.
4. Menyentuh wanita yang bukan mahram dengan sengaja tanpa ada penghalang.
5. Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan telapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (baik miliknya sendiri ataupun orang lain)
2. Hadats Besar (Kubra)
Yaitu, hadats yang mengakibatkan seseorang harus mandi untuk menghilangkannya. Adapun yang menyebabkan seseorang harus mandi adalah:
1.Berhubungan kelamin (bersetubuh) walaupun tidak sampai keluar mani (sperma).
2.Mengeluarkan mani (sperma) baik sengaja  ataupun tidak.
3.Wanita yang selesai haid.
4.Wanita yang baru melahirkan dan selesai masa nifasnya.
5.Seseorang yang baru masuk Islam.

Dengan demikian, thaharah merupakan suatu hal yang sangat istimewa dan yang membedakan seorang mukmin dari kafir. Oleh karena itu, hendaknya kita semua selalu menjaga kebersihan dan kesucian diri, pakaian, dan tempat kita, sebagai awal kita mensucikan hati kita.




















BAB III
PENUTUP


 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengertian Thaharah secara bahasa adalah bersuci, sedangkan pengertian secara istilah, thaharah adalah mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau bersih dan suci dari najis, baik najis faktual, semisal tinja, maupun najis secara hukmi, yaitu hadats.
2. Istinja’, Wudlu, mandi, dan tayammum merupakan cara – cara thaharah yang masing-masing memiliki ketentuan dan tata cara masing-masing.Wudhu adalah bersuci dengan menggunakan air terhadap anggota tubuh tertentu, Mandi di definisikan sebagai membasuh seluruh tubuh dengan air, sedangkan tayammum adalah mensucikan diri, tanpa menggunakan air, namun menggunakan pasir atau debu.
















DAFTAR PUSTAKA


Abu Amar, Imron,  “Fat-hul Qarib”, Kudus : Menara Kudus, 1982.
Hadi, Nor,  “Memahami Fiqih untuk MTs/SMP Islam Kelas VII”, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Aalu Fauzan, Asy-Syaikh, “Ringkasan Fiqh Islam”, Depok : Pustaka Salafiyah, 2001.
Al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. 2006. Ensiklopedian Shalat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’I.
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis I Menurut Al-Qur’an, AS-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama. Bandung:  Karisma.
Drajat, Zakiah dkk.  1983. Ilmu Fiqh Jilid I. Jakarta.
Muhammad bin Qasim, Allamah Syekh dan Abu Bakar Muhammad. 1995. Fiqih Islam terjemah Fat-hul Qarib. Surabaya: Karya Abditama.
Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia. 2003. Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam. Bogor: Kencana.
Taqiyuddin, Al Imam dkk. 1988. Terjemah Kifayatul Akhyar Jilid 1.  Semarang: Ar Ridha.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri.”Ensiklopedia Islam Kaffah” Pustaka Yassir.





[1]  Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Aalu Fauzan, “Ringkasan Fiqh Islam”, (Depok : Pustaka salafiyah, 2001), hlm. 24
[2] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri.”Ensiklopedia Islam Kaffah” Pustaka Yassir, hlm 597.
[3] HR. Muslim, (no. 223)
[4]  Drs. H. Imron Abu Amar, “Fat-hul Qarib”, (Kudus : Menara Kudus, 1982), hlm. 3
[5]  Ibid, hlm. 6-8.
[6]  Ibid, hlm 25
[7]  Nor Hadi, “Memahami Fiqih untuk MTs/SMP Islam Kelas VI”I, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008), hal. 5
[8] Zakiah Drajat, dkk, Ilmu Fiqh Jilid I, Jakarta, 1983, hal. 20.
[9] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis I Menurut Al-Qur’an, AS-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Karisma, Bandung, 2008, hal, 52.
[10] Ibid. hal. 55
[11] HR. Nasâ’i dalam Sunan Nasâ’i, 301
[12] HR. Muslim (Hukmun Wulugul Kalbu: 674)
[13] HR. Muslim (Najâsatu ad-Damu wa Kaifiyatu Ghusluhu: 701)
[14] HR. Ahmad (Musnad Abu Hurairah: 8752)
[15] Syaid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid I, Bandung: PT. Al-Ma’arif Bandung, 1973, hlm. 48.
[16] HR. Musli (Al-Madziy: 721)
[17] HR. Imam Nasâ’i dalam Sunan Nasâ’i, no. 53
[18] HR. Dâru Qutni (Najâsatu al-Bawlu wa al-Amru...: 1)
[19] Zakiah Drajat. Op.Cit. hal. 32
[21] HR. Muslim (Mâ Yaqûlu Idha Arada Dhukhul fi Khalâ’a: 857)
[22] HR. Ibn Mâjah (Mâ Yaqûlu idza Kharaja minal Khalâ’: 300)
[23] HR. Darimiy (Fî Dzahabi ila Hâjah: 660)
[24] HR. Abu Dawud (al-Mawâdla’u alati Nahâ ‘an Bawl: 25)
[25] HR. Ibn Mâjah (Karâhiyatu al-Bawlu fî Maghtasili: 304)
[26] HR. Tirmidzi (Dhulûli Hamâmi: 2803)
[27] HR. Muslim (Al-Istithâbah: 633)
[28] HR. Ahmad (Musnad Abu Mûsa: 19729)
[29] HR. Abu Dawud (Nahâ fî Juhri: 29)
[30] HR. Baihaqi (Karâhiyah Kalâ ‘alal Khalâ’: 494)
[31] HR. Muslim (Nahâ ‘anil Istinja’ biyaminihi: 636)
[32] HR. Ibn Majah (Dzakara Allahu ‘Aza Wajala ‘alal Khala’i: 303). Menurut Syaikh Albani hadis ini dlaif. Begitu juga menurut Syu’aib al-Arnuthi sanadnya dlaif.
[33] Mustadrak (Kitabu Thahârah: 608)
[34] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri.”Ensiklopedia Islam Kaffah” Pustaka Yassir, hlm 606.
[35] Allamah Syekh Muhammad bin Qasim dan Abu Bakar Muhammad, Fiqih Islam terjemah Fat-hul Qarib, Karya Abditama, Surabaya, 1995, hal. 24
[36] Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani, Ensiklopedian Shalat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2006, hal. 115
[37] Allamah Syekh Muhammad, dkk, Op.Cit. hal. 25
[38] Al Imam Taqiyuddin, dkk, Terjemah Kifayatul Akhyar Jilid 1, Ar Ridha, Semarang, 1988, hal. 206-211
[39] Ibid. hal. 217


No comments:

Post a Comment