Wednesday 20 December 2017

MAKALAH MANAJEMEN PEGADAIAN SYARIAH 1

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Pada saat ini gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dan barang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu kita akan menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai dan pemanfaatan barang gadai.
B.                  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dari Pegadaian Syariah ?
2.      Bagaimana Sejarah Pegadaian Syariah ?
3.      Apa Dasar Hukum Pegadaian Syariah ?
4.      Bagaimana Praktek Operasional Pegadaian Syariah ?

C.                Tujuan Pembahasan
 Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang Pegadaian Syariah.

D.                Manfaat Penulisan
1.      Mahasiswa dapat memahami Pegadaian Syariah.
2.      Mahasiswa dapat memahami sejarah pegadaian Syariah.
3.      Mahasiswa dapat memahami bagaimana Operasional praktek pegadaian syariah.
4.      Mahasiswa dapat memahami dasar hukum yang melandasi pegadaian syariah.









BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Pegadaian Syariah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8Exh8xNnXjRAH5By5UYpIeEyiggKQts1vYjfAh64Lc03QBYAmBFZSA4FzQ6CCHMDhvcUjgQ2xpxSBnqLX36A6iPNwAxQq7ohoP1lGyOHlV5drY5_-qoeG3WnUcTNT5UI3LG05ltaVNG4/s1600/images.jpg        Pegadaian Syariah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang membiarkan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil perlunasan dari barang tersebut serta didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melarang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.[1][1]
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”,”berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Pengertian rahn yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang itu. Firman Allah dalam surat Al-Muddastsir ayat 34 yang berbunyi :
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ  
 “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.

B.      Sejarah Pegadaian Syariah

            Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda, yaitu sekitar abad 19-an, oleh sebuah bank yang bernama Van Lening. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal 20-an, pemerintah Hindia Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan Staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya Staatsblad No.226 tahun 1960.[2][2]
Selanjutnya, pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan hukum sehingga akhirnnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Sewaktu pada tahun f1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi Perusaan Negara (PN) Pegadaian, pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, dan pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum). Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan. Misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemen dalam mengelola pegadaian.[3][3]
Pada saat ini pegadaian syariah belum terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealism, juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya Bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah (rahn) lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
Namun trend  dari perkembangna rahn sebagai produk perbankan syariah belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas, seperti sumberdaya penafsir, alat untuk menafsir, dan gudang penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu, tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminan ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpanan barang jaminan terbatas.
Alasan lain mengapa perkembangan pegadaian syariah kurang baik, sebab masyarakat belum begitu mengenal produk rahn dengan baik di bank syariah dibanding produk lain, misalnya mudharabah, musyarakah, murabahah, salam dan lain sebagainya. Apalagi rahn dalam bentuk lembaga sendiri yang benar-benar terpisah dari sistem perbankan syariah, sebagaimana pegadaian konvensional yang selama ini masyarakat kenal.
Read more
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.[4][4] Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
C.    Dasar Hukum Pegadaian Syariah

1.         Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 283:
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt $VÒ÷èt ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­u
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[5][5]
2.         Al-Hadis
Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ

“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas r.a).
3.         Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.[6][6]
Asy-Syafii mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan jaminan untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika jaminan sudah berada ditangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Syafii yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.
D.    Praktek Operasional
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.      Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memeberikan pembiayaan.
2.      Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai beberapa hal, seperti kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai dan sebagainya.
3.      Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, baiaya pemeliharaan, penjagaan, dan biaya penaksir dibayar diawal transaksi oleh nasabah.
4.      Nesabah menebus barang yang digadai setelah jatuh tempo.

Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan dimuka.[7][7]
Adapun teknis pagadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:




Skema Pegadaian Syariah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK2fN1PfLk1pWD6Tcp-8yXC7PLq34mMsvZSEMhyok_VjhgEBGeR5PN7nha8u2Yn1DqvN_t07bV_a4-F7xFQrSzer3HdBI8jHWnQ4W9pQm77ydWqPfWgX0XaRowkiSVQrBA2158ulI2i14/s1600/gambar.jpg


E.     Kegiatan Usaha

Sejauh ini, perum pegadaian menerbitkan produk pegadaian yang beragam, ada yang berbasis konvensional dan ada pula yang berbasis syariah. Gadai merupakan kegiatan yang sejauh ini masih menjadi otoritas perum pegadaian, meskipun belakangan sejumlah bank syariah ikut menerbitkan produk gadai emas syariah. Produk gadai yang diterbitkan oleh Perum Pegadaian, antara lain :
1.      Kredit KCA adalah pinjaman berdasarkan hukum gadai dengan prosedur pelayanan yang mudah, aman, dan cepat.
2.      Kreasi; kredit angsuran fidusa, yaitu pemberian pinjaman uang yang ditujukan kepada pengusaha kecil atas dasar fidusia.
3.      Kreasida; kredit angsuran sistem gadau yang merupakan pemberian pinjaman kepada para pengusaha mikro kecil (dalam rangka pengembangan usaha) atas dasar gadai yang pengembaliannya dilakukan melalui angsuran dalam jangka waktu maksimal tiga tahun dan jaminan bergerak seperti perhiasaan, kendaraan bermotor dan sebagainya.
4.      Jasa taksiran; layanan kepada masyarakat yang memerlukan harga atau nilai harta benda miliknya yang diperiksa dan ditaksir oleh juru taksir yang berpengalaman dan profesional. Dengan biaya yang relatif ringan masyarakat dapat mengetahui pasti nilai atau kualitas barang miliknya.
5.      Jasa titipan; layanan titipan barang berharga seperti perhiasaan, emas, batu permata, kendaraan bermotor, surat-surat berharga (tanah, ijazah) kepada masyarakat. Untuk menjamin rasa aman dan ketenangan terhadap harta yang ditinggalkan terutama bila hendak meninggalkan rumah dalam waktu lama.
6.      Gadai Gabah; merupakan Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian yang diberikan kepada para petani dengan jaminan Gabah kering giling. Layanan kredit ini ditujukan untuk membantu para petani pasca panen terhindar dari tekanan akibat fluktuasi  harga pada saat panen dan permainan para tengkulak. Sistem kredit ini sama dengan sisitem gadai biasa.
7.      Gadai Investa; merupakan salah satu produk perum pegadaian berupa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai dalam jangka waktu tertentu yang diberikan kepada nasabah dengan jaminan berbentuk saham yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek dan Obligasi Negara Ritel (ORI).
8.      KRISTA; Kredit Usaha Rumah Tangga merupakan kredit yang ditujukan kepad para pengusaha sangat mikro yang tergabung dalam suatu kelompok atau asosiasi dengan jaminan pokok sistem tanggung renteng diantara anggota kelompok tersebut.
9.      Gadai Syariah (rahn) adalah produk jasa gadai yang berlandaskan pad prinsip-prinsip syariah, dimana nasabah hanya akan dibebani biaya administrasi dan biaya jasa simpan dan pemeliharaan barang jaminan (ijarah).
10.  ARRUM; (Ar-Rahn untuk usaha mikro kecil) merupakan pembiayaan bagi para pengusaha mikro kecil, untuk pengembangan usaha dengan berprinsip syariah.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Payung hukum gadai syariah dalam pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan dua metode, yaitu ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan Mudharabah (bagi hasil). Namun metode ujrah saat ini masih mendominasi.



DAFTAR PUSTAKA


Soemitra Andri, 2010, Bank&Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana
Sudarsono, Heri,2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : EKONISIA
Alma Buchari, 2009, Manajemen Bisnis Syariah, Bandung : Alfabeta




[1][1] Andri Soemitra,Bank&Lembaga Keuangan Syariah”, Jakarta : Kencana, Tahun 2010. Hlm 387
[2][2] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[3][3] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[4][4] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143

[5][5] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[6][6] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.144
[7][7] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.156

No comments:

Post a Comment