TUGAS
FIKIH
CARA-CARA PENETAPAN AWAL DAN
AKHIR RAMADHAN
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama: Nuraini Jumria
Kelas: VIII RMBI
NO.Urut: 27
MTsN 1 BONE
|
Tahun Pelajaran 2017/2018
PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN
A. Cara Penetapan Awal Dan Akhir Ramadhan
Hampir setiap tahun kaum muslimin disibukkan
dengan masalah “kapan memulai puasa dan kapan berhari raya?”. Para pemimpin dan
pengurus ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam disibukkan berijtihad untuk
memastikan kapan puasa tahun itu dimulai dan berakhir, sementara masyarakat
dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh ormas-ormas dan
lembaga-lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda. Bahkan
akhir-akhir ini masyarakat sering dikacaukan oleh seruan untuk memulai puasa
atau berhari raya dengan berpedoman pada awal puasa dan idul fitri di Saudi
Arabia.
Tidak jarang karena perbedaan-perbedaan
tersebut, timbul kesalahpahaman dan gesekan-gesekan diantara masyarakat.
Masing-masing menganggap benar apa yang diputuskan oleh ormas atau lembaga yang
diikutinya dan menganggap salah terhadap yang lain, tanpa mereka tahu apa
sebetulnya yang dijadikan patokan sebagai pentuan awal dan akhir puasa oleh
masing-masing ormas dan lembaga-lembaga Islam tersebut.
Pada masa Rasulullah, para sahabat dan
tabi’in tidak pernah terjadi perbedaan di dalam penetapan awal Ramadhan, awal
Syawal dan awal Dzulhijjah, semua didasarkan atas rukyatul hilal bil fi’li
(melihat hilal dengan mata kepala) atau istikmal (menggenapkan bulan Sya’ban
dan Ramadhan menjadi 30 hari) apabila rukyat tidak berhasil disebabkan karena
cuaca mendung atau faktor lainnya.
Namun setelah ilmu pengetahuan mengalami
kemajuan, pengertian tentang rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang
memaknainya tetap seperti semula, yaitu rukyat bil fi’li dan ada yang
memaknainya dengan rukyat bil’ilmi, yakni melihat hilal dengan ilmu pengetahuan
atau hisab.
Dari perbedaan makna rukyatul hilal itulah
maka penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal sekarang ini ada beberapa macam
cara, diantaranya adalah :
1.
Metode Rukyat Al-Hilal
a.
Pengertian
Rukyat al-Hilal adalah melihat bulan sabit setelah
ijtima’ dan setelah wujud di atas ufuk. Ijtima’ atau konjungsi adalah saat
bulan dan matahari memiliki bujur ekliptika yang sama. Ekliptika adalah sistem
koordinat langit untuk menggambarkan posisi matahari, bulan, dan planet-planet
dekat. Peristiwa ijtima’ terjadi serentak sekali setiap satu periode bulan
mengelilingi bumi (sinodis). Dengan demikian pada saat ijtima’, ada wilayah di
muka bumi yang sedang pagi, siang, sore atau malam hari. (Muslim, Shohih
Muslim, 2: 762).
Sedangkan hilal hanya bisa dilihat di sore hari,
bila tingginya sudah cukup, sehingga pada saat matahari terbenam, bulan masih
di atas ufuk (Barat), sehingga ada bagiannya yang memantulkan cahaya matahari
ke bumi, sebelum akhirnya bulan terbenam menyusul matahari. Inilah bulan sabit
yang ditunggu-tunggu.
Metode ini menekankan pada penglihatan langsung
(baik dengan mata telanjang ataupun dengan bantuan suatu alat) untuk menentukan
awal Bulan Ramadhan (dan awal bulan-bulan qomariyah lainnya). Teknisnya, pada
tanggal 29 akhir (menjelang masuk malam 30) dilakukan Rukyat al-Hilal. Jika
hilal terlihat maka malam itu sudah masuk tanggal 1 bulan berikutnya. Jika
tidak terlihat, baik karena tertutup sesuatu ataupun tidak, maka jumlah hari
dalam bulan itu digenapkan menjadi 30 hari.
b.
Ulama`
pendukung
Metode ini adalah metode yang dipegang oleh jumhur
‘Ulama` kecuali ‘Ulama` Madzhab Syafi’i. Khusus Ulama’ pengikut Madzhab
Hanbali, mereka sepakat menggunakan metode ini dengan syarat cuaca tidak
mendung dan tidak ada awan. Jika mendung maka mereka lebih mengutamakan metode
memperkirakan (Hisab).
c.
Permasalahan
Seputar Rukyat Al-Hilal
Dalam Rukyat al-Hilal, tidak perlu setiap orang
Islam harus melihat sendiri hilalnya, melainkan cukup perwakilan dari sebagian
orang Islam adil yang dikuatkan dengan sumpah bahwa dia benar dan tidak
bedusta. Dalam hal ini, Ulama berbeda pendapat, berapa minimal yang melihat
hilal itu. Jumhur ‘Ulama` berpendapat cukup 1 orang Islam yang adil dan yang
lain berpendapat minimal 2 orang Islam yang adil.
2.
Metode Hisab
a.
Definisi
Yaitu dengan cara menghitung peredaran bulan dan
matahari menggunakan rumus-rumus ilmu falaq. Secara bahasa, istilah Hisab
berasal dari bahasa Arab “hasaba” yang memiliki arti menghitung, memperkirakan
atau juga membilang. Istilah hisab tersebut erat kaitannya dengan teknis kerja
secara teoritis dan praktis yang ditunjang oleh adanya pembuktian tertentu
sehingga mendapatkan hasil akhir yang tepat.
Dimasa lalu, hisab boleh jadi hanya berkisar
hitung-hitungan diatas kertas semata sebab memang sarana untuk menjangkau
penentuan posisi bulan, matahari dan benda langit lainnya dengan tingkat
ketelitian atau akurasi hasil perhitungan yang dihasilkan belum memadai.
Kemajuan peradaban dimasa hidup kita sekarang sepantasnya sudah mengantarkan
pada satu kaidah mutlak, dimana apa-apa yang bisa dimanfaatkan guna mencapai
tujuan pewahyuan al-Qur’an ditengah masyarakat menyangkut kemaslahatan tidak
dapat lagi ditolak dengan dasar argumentasi klasik bila perbuatan itu belum
pernah dilakukan oleh Nabi Saw.
b.
Ulama
pendukung
Metode ini didukung oleh abu al-‘Abbas Bin Syuraij,
Muthorrif Bin Abdillah dan Ulama dari Madzhab Syafi’i.
c.
Permasalahan
Seputar Metode Hisab
Berbeda denga Rukyat al-Hilal yang dapat dilakukan
oleh siapapun, Metode Hisab hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar menguasai
ilmu astronomi. Setidak-tidaknya oleh orang yang menguasai rumus-rumus yang
berkenaan dengan penentuan awal bulan dan ditunjang oleh alat-alat teknologi
yang memadai. Sedangkan menggenapkan jumlah bulan menjadi 30 hari adalah bagi
orang-orang awam.
3.
Metode Perpaduan
Metode perpaduan maksudnya adalah metode yang
memadukan antara Metode Rukyat al-Hilal dengan Hisab. Cara kerja metode ini
dikelompokkan menjadi 2.
a.
Rukyat-Hisab
Pertama-tama
dilakukan hisab untuk menemukan perkiraan awal bulan baru. Setelah selasai,
maka pada tanggal 29 akhir (menjelang Maghrib) dilakukan ru`yah. Jika hilal
terlihat, maka yang digunakan adalah hasil Rukyat tersebut. Jika hilal tidak
terlihat, baik langit dalam keadaan cerah maupun dalam keadaan berawan, hujan
ataupun tertutup, maka hasil hisab yang digunakan.
b.
Rukyat
Pembulatan 30 Hari Hisab
Pertama-tama
dilakukan hisab untuk menemukan perkiraan awal bulan baru. Setelah selasai,
maka pada tanggal 29 akhir (menjelang Maghrib) dilakukan ru`yah. Jika hilal
terlihat, maka yang digunakan adalah hasil Rukyat tersebut. Jika hilal tidak
terlihat padahal langit dalam keadaan cerah dan tidak ada awan, maka jumlah
bulan digenapkan menjadi 30 hari. Jika hilal tidak terlihat, sedangkan langit
dalam keadaan berawan atau hujan, maka hasil hisab yang digunakan.
Untuk menghindari kecerobohan, maka Rukyat al-Hilal
baik untuk menentukan awal Ramadhan ataupun awal Syawal harus dilakukan minimal
oleh dua orang. Sedangkan Metode yang paling kuat dan mendekati kebenaran
adalah Metode Perpaduan Rukyat al-Hilal-pembulatan 30 hari-Hisab. Alasannya,
cara berfikir ini lebih mendekati tatacara yang diajarkan Rasulullah saw. dalam
hadit-hadits yang tersebut di atas. Apalagi alat dan teknologi untuk Rukyat al-Hilal
pun sekarang sudah semakin canggih.
4.
Metode Istikmal
Yang dimaksud dengan Istikmal adalah
menyempurnakan bilangan dari bulan Sya'ban 30 hari dalam menentukan awal
Ramadhan dan menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadhan dengan 30 hari dalam
menentukan akhir bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda : "Dari Abu
Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda : berpuasalah kamu sekalian karena kamu
melihat bulan dan berbukalah/berlebaranlah kamu sekalian karena kamu melihat
bulan. Jika kamu sekalian tidak melihat bulan maka sempurnakanlah bilangan hari
dari bulan Sya'ban tersebut menjadi tiga puluh hari". (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari
penjelasan di atas kita ketahui bahwa pendapat pertama dan ke dua dalam
menetapkan awal dan akhir Ramadhan dengan menggunakan hisab tanpa melakukan
rukyat, sedangkan pendapat ke tiga lebih mengedepankan rukyat bil fi’li,
sehingga awal ramadhan dan awal Syawal baru bisa ditetapkan setelah melakukan
rukyatul hilal pada malam 30 Sya’ban dan 30 Ramadhan. Apabila hilal dapat
di-rukyat sekalipun kurang dari dua derajat maka awal Ramadhan dan awal Syawal
dapat ditetapkan. Dan kalau tidak berhasil dirukyat maka ditetapkan hari
berikutnya dengan cara istikmal (menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari).
B. Dalil Yang Digunakan Oleh Ahli Hisab Dan Ahli Rukyat
Golongan yang menggunakan rukyat berpendapat
bahwa awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan atas dasar hasil rukyat bil
fi’li (melihat hilal dengan mata kepala) sementara golongan yang menggunakan
hisab berpendapat bahwa hisablah yang harus digunakan dalam menetapkan awal dan
akhir ramadhan. Masing – masing berpijak pada dalil-dalil syar’i berdasarkan
atas interpretasi mereka.
1.
Dalil yang digunakan Oleh Ahli Hisab
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4
$tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4
ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
Artinya:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669].
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
(QS. Yunus : 5)
[669] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang
disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
ߧôJ¤±9$# ãyJs)ø9$#ur 5b$t7ó¡çt¿2 ÇÎÈ
Artinya:
Matahari dan bulan (beredar) menurut
perhitungan.
(QS. ar-Rahman: 5)
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# (
ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3
}§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3
(#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. al-Baqarah: 189).
[116]
pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka
memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal Ini ditanyakan pula oleh
para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini.
Ayat di
atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan
manjilah-manjilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan supaya kita mengetahui
waktu (bulan) dan tahun sedangkan matahari agar kita mengetahui waktu (hari)
dan jam. Secara explisit dua ayat di atas juga mengandung pelajaran disyariatkannya
mempelajari ilmu falak (astronomi) atau ilmu hisab untuk mengetahui waktu-waktu
shalat, puasa, haji dan lainnya yang bermanfa’at bagi kaum Muslimin.
Rasulallah
SAW bersabda: Kita adalah umat buta
huruf, tidak pandai menulis dan tidak pandai berhitung, sebulan itu adalah
sekian dan sekian (maksudnya kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari)
(HR. Al Bukhari)
Dari
hadits diatas dapat kita pahami bahwa Rasulallah dan para shahabat tidak
mempergunakan hisab sebagai dasar untuk memulai dan mengakhiri puasa, karena
pada waktu itu ilmu hisab belum berkembang, orang – orang Arab masih dalam
keadaan buta huruf, sehingga cara yang paling mudah dilakukan waktu itu dengan
melihat bulan.
Namun
saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dan maju, untuk
mengetahui waktu-waktu dan fenomena luar angkasa baik yang telah terjadi maupun
yang akan terjadi dapat diperkirakan secara tepat dan mudah, sehingga dengan
didukung peralatan yang canggih, hisablah yang paling akurat untuk menentukan
awal dan akhir Ramadhan.
Rasulallah Saw sangat berhati-hati terhadap
bulan Ramadhan, disbanding dengan bulan lainnya, kemudian beliau berpuasa
karena melihat hilal Ramadhan, maka bila hilal Ramadhan tidak terlihat karena
tertutup oleh awan beliau menghitung lamanya bulan Sya’ban itu 30 hari.(HR. Abu Dawud)
Hadits
di atas dapat kita pahami bahwa pengamatan hilal pada bulan ramadhan dan syawal
pada masa Rasulallah dilakukan dengan sangat – hati hati dan dengan upaya yg
lebih keras dibandingkan bulan2 lainnya.
Jika
upaya pengamatan hilal saat itu dilakukan dengan upaya terbaik yg tersedia pada
masa itu, maka sewajarnyalah hal yg sama (upaya terbaik) juga dilakukan oleh
kita2 pada masa sekarang. Dan fasilitas yg tersedia pada masa sekarang adalah
teknologi satelit dan telekomunikasi.
Dengan
kesemua teknologi yg ada saat ini, maka akan dapat diketahui dengan cukup
akurat kapan terjadinya bumi, bulan dan matahari dalam posisi segaris (dan
dapat diramalkan untuk tahun2 mendatang), sehingga bagi daerah yg mengalami
matahari terbenam setelah waktu tsb, dapat dikatakan telah memasuki bulan baru,
walaupun hilal belum dapat terlihat dgn mata telanjang disebabkan silaunya
temaram senja dan berbagai efek pembiasan cahayanya.
Dari
Ibnu Umar ra berkata, Rasulallah Saw bersabda “Sesungguhnya sebulan itu lamanya 29 hari, maka janganlah kalian
berpuasa sehingga melihat hilal, dan janganlah kalian berlebaran sehingga
melihat hilal, maka apabila hilal tertutup oleh awan sehingga kalian tidak
dapat melihatnya, maka perkirakanlah untuknya. (HR. Muslim)
Lafazh فاقدروا له pada hadits di atas memiliki arti maka kira-kirakanlah dengan
ilmu hisab atau hisablah dengan hisabul manzilah (hitunglah dengan perjalanan
bulan), dengan demikian maksud hadits di atas memberi pengertian bahwa selain
dengan rukyat, awal dan akhir Ramadhan dapat ditetapkan dengan dan perkiraan
ilmu hisab yakni dengan menghitung peredaran bulan.
2.
Dalil Yang Digunakan Oleh Ahli Rukyat
Rasulallah
Saw bersabda “Berpuasalah dengan melihat
hilal dan berbuka (berhariraya)lah dengan melihatnya pula. Jika
(hilal)terhalang (awan) hingga kalian tidak dapat melihatnya, maka genapkanlah
bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. al-Bukhari)
Dari
Ibn Umar ra, sesungguhnya Rasulallah Saw
menceritakan Ramadhan, kemudian memukulkan tangannya, kemudian bersabda
“Sebulan itu adalah sekian dan sekian, kemudian beliau melengkungkan ibu
jarinya pada perkataan yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihat hilal,
dan berbukalah (mengakhiri puasa) kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup
oleh awan, maka pastikanlah bilangan hari pada bulan itu lamanya menjadi 30
hari” (HR. Muslim).
Dari
Ibnu Umar ra berkata, Rasulallah Saw bersabda “Sesungguhnya sebulan itu lamanya 29 hari, maka janganlah kalian
berpuasa sehingga melihat hilal, dan janganlah kalian berlebaran sehingga
melihat hilal, maka apabila hilal tertutup oleh awan sehingga kalian tidak
dapat melihatnya, maka perkirakanlah untuknya. (HR. Muslim)
Lafazh رَأى atau رُؤْيَة pada hadits – hadits di
atas atau hadist lain yang serupa harus diberi arti melihat dengan mata kepala,
tidak boleh diartikan melihat dengan hati atau dengan akal atau dengan hisab,
karena pada rangkaian hadits tersebut seterusnya terdapat perkataan فإن غُبي atau فإنْ أغمي atau فإنْ غُمّ yang artinya bila hilal itu tertutup oleh awan atau bila hilal
itu tidak dapat terlihat.
Kemudian
lafazh فاقدروا له pada hadits di atas
harus ditafsirkan pastikanlah jumlah hari bulan itu lamanya 30 hari, tidak
dengan tafsiran “kira-kirakanlah dengan ilmu hisab atau hitunglah dengan ilmu
hisab, karena pada hadits lain dijelaskan dengan perkataan فاقدروا له ثلاثين dan فاكملوا عدة شعبان ثلاثين, sehingga yang dimaksud
dengan perkataan فاقدروا له adalah perintah menyempurnakan hitungan bulan sya’ban atau
ramadhan menjadi 30 hari jika pada tanggal 29, hilal tidak dapat terlihat oleh
mata kepala.
Dengan
demikian, bahwa awal atau akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan hasil
rukyat bil fi’li atau dengan cara istikmal bila hilal tidak dapat dilihat oleh
mata kepala, karena syara’ hanya mengajukan dua cara tersebut. Dan penetapan
awal atau akhir Ramadhan dengan hisab tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah
dan para shahabatnya, padahal sebelum Rasullah lahir, di Negeri Arab telah
berkembang dan telah terdapat tempat yang dipakai untuk mengajar ilmu hisab.
Bahkan menurut fakta sejarah pada tahun 500 SM Phitagoras telah membangun suatu
pendidikan khusus dalam ilmu hisab, dan 200 kemudian Bathlimus juga
mengembangkan ilmu hisab di lembaga pendidikannya Al-Iskandariyah.
Adapun
surat Yunus ayat 5 dan surat Arrahman ayat 5 yang dijadikan dalil oleh ahli
hisab tidaklah tepat untuk menghapus sistem rukyat dengan sistem hisab, karena
ayat di atas tidak ada sangkut pautnya dengan hal memulai dan mengakhiri puasa.
Begitu juga dengan surat al Baqarah ayat 189 bila kita lihat asbabun nuzul ayat
ini yang diriwayatkan oleh al-Aufi dari Ibnu Abbas adalah bahwa orang-orang
pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai bulan
sabit, maka turunlah ayat ini. Dimana dengan bulan sabit itu mereka mengetahui
waktu puasa dan berbuka, waktu jatuh tempo hutang mereka dan iddah istri
mereka, serta waktu menunaikan haji. Namun hadits diatas tidak membicarakan
sistem hisab yang harus digunakan untuk mengetahui hilal.
C. Faktor Lain Yang Menjadi Penyebab Berbedanya Penetapan Awal Dan Akhir
Ramadhan
Tidak hanya masalah perbedaan pemahaman
terhadap nash-nash al-Quran maupun as-Sunah yang menjadi penyebab perbedaan
penetapan awal dan akhir Ramadhan, namun banyak faktor-faktor lain yang menjadi
penyebabnya, diantaranya adalah :
Masih adanya perbedaan pemahaman tentang
definisi hilal, ada yang mengartikan hilal sebagai Bulan sabit yang pertama
bisa dilihat dengan mata telanjang. Ada juga yang mengartikan hilal sebagai
Bulan yang sudah melewati konjungsi dan berada di atas ufuk saat magrib.
Adanya perbedaan di antara para ahli hisab
terhadap sistem hisab yang digunakan. Pada saat ini terdapat lebih dari 20
sistem dan referensi hisab yang digunakan di Indonesia yang dikelompokkan
menjadi tiga, yakni hisab taqribi, hisab tahqiqi, dan hisab kontemporer.
Sementara itu ada juga perbedaan di antara
para ahli rukyat sendiri, perbedaan itu antara lain dalam masalah rukyat
siapakanh yang dapat diterima, apakah harus melalui sumpah atau tidak dan
berapa batas minimal orang yang melihat bulan sehingga rukyat tersebut dapat
dijadikan keputusan, dan apakah hasil rukyat harus didukung hasil hisab,
sehingga jika bertentangan dengan hasil hisab maka hasil rukyat tidak diterima.
Selain itu, para ahli rukyat belum sepakat tentang mathla, jangkauan berlakunya
hasil rukyat, apakah hasil rukyat di suatu Negara dapat dijadikan dasar
penetapan awal dan akhir Ramadhan bagi Negara lain.
No comments:
Post a Comment