Tuesday, 19 December 2017

KTI ASKEP DEMAM TYPHOID BAB II


 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Konsep Dasar Medis
1.         Pengertian
a.         Demam Typhoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. (Nursalam, 2005 ; 152 dan Suriadi, 2006 ; 254)
b.        Thypus Abdomalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella typhosa. (Nugroho, 2011 ; 187)
c.         Demam Typhoid atau Typhoid Fever atau Typhus Abdomalis adalah penyakit yang disebabkan oleh Salmonella Typhii. (Tapan, 2004 ; 131).
d.        Tifus Abdomalis (Demam Typhoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali diselaput lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan diseluruh tubuh. (Tambayong, 2000;143)
e.         Demam Typhoid atau tifus abdomalis merupakan penyakit infeksi perut yang masih banyak ditemukan pada anak dan orang dewasa. Penyakit ini mulai sering ditemukan pada anak setelah usia dua tahun. (Suririnah, 2010 ; 307).
f.         Demam Typhoid / tifus abdomalis merupakan penyakit infeksi akut yang
8
 
biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.         (Febry, 2010 ; 109).
2.         Anatomi Fisiologi























Gambar 2.1 struktur dari system pencernaan

System gastrointestinal (disebut juga system pencernaan atau system digestif) terdiri atas saluran gastrointestinal dan organ aksesori. Rongga mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus, dan usus besar merupakan komponen saluran gastrointestinal. Organ aksesori terdiri atas gigi, lidah, serta beberapa kelenjar dan organ seperti kelenjar saliva, hati, dan pancreas yang menyuplai sekresi ke saluran pencernaan.

Rongga mulut atau nama lainnya rongga bukal atau oral mempunyai beberapa fungsi diantaranya dapat menganalisis material makanan sebelum menelan, proses mekanis dari (gigi, lidah, dan permukaan palatum), lubrikasi oleh sekresi saliva serta digesti pada beberapa material karbohidrat dan lamak.rongga mulut ini dibatasi oleh mukosa   mulut  yang  memiliki  Stratified  Squamus Epithelium.
Gambar 2.2. Rongga mulut
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Palatum diakses 21 Juni 2014

Bagian atap dari rongga mulut adalah palatum, sedangkan bagian dasar adalah lidah. Bagian posterior rongga mulut terdapat uvula yang bergantung pada palatum.
Lambung   terletak  di bagian  kiri  atas   abdomen  tepat  di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong, lambung berbentuk tabung-J, dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, badan, dan antrum pilorikun atau pylorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayaor.
Gambar.2.3. Anatomi Lambung (Muttaqin, 2011 ; 9)
Kapasitas normal lambung adalah sebesar 1-2 L, volume lambung akan meningkat pada saat makan, dan menurun pada saat cairan lambung (kimus) masuk kedalam usus halus. Pada saat lambung  mengalami relaksasi (kosong), mukosa masuk ke dalam lipatan yang disebut rugae. Rugae merupakan tempat sementaradari pembesaran lambung. Pada saat lambung diisi, maka rugae menyempit dan pada saat lambung penuh, maka rugae menghilang.
















        


Gambar 2.4. Anatomi Usus Halus ( Muttaqin, 2011 ;15)

Usus halus berjalan dari pylorus lambung ke sekum dan dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang usus halus diperkirakan 3,65-6,7 meter, duodenum mempunyai panjang sekitar 25 cm, jejunum mempunyai panjang 2,5 m dimana proses digesti kimia dan absorpsi nutrisi terjadi di dalam jejunum, sedangkan ileum mempunyai panjang sekitar 3,5 meter. Bagian ujung ileum memiliki katup ileosecal yang mengontrol aliran material dari ileum ke usus besar.  Fungsi Usus halus meliputi transportasi dan pencernaan makanan serta absorpsi cairan. setiap hari beberapa liter cairan dan puluhan gram makanan yang terdiri atas karbohidrat, lemak dan protein akan melewati  usus halus, lalu setelah dicerna akan masuk kedalam aliran darah. proses ini sangat efesien karena hamper semua makanan terserap, kecuali bila terlindung oleh selulosa yang tidak dapat dicerna.  ( Muttaqin, 2011 ; 12)








Gambar 2.5 Struktur Anatomi Dari Kolon Dan Rektum ( Muttaqin, 2011;15).
Kolon yang mempunyai panjang sekitar 90-150 cm, berjalan dari ileum ke rectum. Bagian pertama kolon adalah sekum, dimana merupakan bagian yang paling lebar. Kolon berjalan sekum ke atas menjadi kolon kanan (Kolon Asendens) melintasi abdomen atas sebagai Kolon Transverses, dan turun sebagai kolon kiri ( Kolon Desendens ) ke sigmoid, yaitu bagian kolon yang paling sempit. Dari sigmoid, anatomi usus besar dilanjutkan ke rectum. (Muttaqin, 2011 ; 14).
3.         Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah salmonella typhosa yang mempunyai ciri- ciri sebagai berikut :
a.         Basil gram negatif yang begerak dengan bulu getar dan tidak berspora.
b.        Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu, antigen O (somatiik yang terdiri zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen VI dalam serum pasien terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. (Nursalam, 2005 ; 152-153).
4.         Insiden
Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadic, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari kasus pada orang-orang serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insiden tertinggi pada daerah endemic terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S.typhi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering, karier. Di daerah endemic, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S. typhi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah nonendemik. (Mansjoer, 2000; 422).
5.         Patofisiologi
Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk usus halus, ke jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke peredaran darah (bakteremia primer) dan mencapai sel retikuloendotelial, hati, limpa dan organ-organ lainnya. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikuloendotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakteremia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh terutama limpa, usus dan kandung empedu. Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks peyer. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu ke dua terjadi nekrosis dan pada minggu ke tiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada minggu ke empat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain hepar, kelenjar-kelenjar mesenterial dan limpa membesar. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus    (Suriadi, 2006 ; 254).
6.         Manifestasi Klinik
Menurut Suriadi (2006 ; 255-256), Manifestasi klinis tifus abdomalis adalah sebagai berikut :
a.         Nyeri kepala, lemah dan lesu
b.        Demam tidak terlalu tinggi berlangsung selama 3 minggu, minggu pertama peningkatan suhu tubuh berpluktuasi biasanya suhu meningkat pada malam hari dan turun pada pagi hari. Minggu kedua suhu tubuh terus meningkat. Minggu ketiga suhu mulai turun dan dapat kembali normal
c.         Gangguan pada saluran cerna ; holitosis, bibir kering dan pecah, lidah kotor (coated tongue), meteorismus, mual, tidak nafsu makan, hepatomegali,  splenomegali disertai dengan nyeri perabaan
d.        Penurunan kesadaran ; apatis atau somnolen
e.         Bintik   kemerahan   pada   kulit   (roseola)  akibat  emboli  bakteri pada
kapiler kulit
f.         Epistaksis
7.         Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2011;492), pengkajian diagnostik yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium dan radiografi meliputi hal-hal berikut ini:
a.         Pemeriksaan darah
Untuk mengidentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang terbatas malabsobsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran seldarah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah leukosit antara 3000-4000 mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran leukosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.
b.        Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan
leukosit dalam urine.
c.         Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya peredaran darah usus dan perforasi.
d.        Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi adanya kuman Salmonella pada biakan darah tinja, urine, cairan empedu, atau sumsum tulang.
e.         Pemeriksaan serologis
Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Respons antibodi yang dihasilakan tubuh akibat infeksi kuman Salmonella adalah antibodi O dan H. Apabila titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1/2 minggu kemudian menunjukkan diagnosis positif dari infeksi salmonella typhi .
f.         Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat Demam Typhoid..
8.         Komplikasi
Kompliksi yang sering adalah pada usus halus, namun hal tersebut jarang terjadi. Apabila komplikasi ini dialami oleh seorang anak, maka dapat berakibat fatal. Golongan pada usus halus ini dapat berupa:
a.         Perdarahan usus, apabila sedikit, maka perdarahan tersebut hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak maka dapat terjadi melena, yang bisa disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum.
b.        Perforasi  yang  tidak  disertai  peritonitis  hanya  dapat  ditemukan  bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c.         Peritonitis, biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu neyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegak (defense musculain) dan nyeri tekan.
d.        Komplikasi  di luar  usus, terjadi   karena  lokalisasi  peradangan  akibat
sepsis (bakteremia), yaitu meningitis, kolesistisis, ensefelopati, dan lain-lain, komplikasi di luar usus ini terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia. (Nursalam, 2005; 153)
9.         Penatalaksanaan
a.         Isolasi, desinfeksi pakaian dan ekskreta
b.        Istirahat selama demam hingga dua minggu
c.         Diit tinggi kalori,tinggi protein,tidak mengandung banyak serat
d.        Pemberian antibiotik kloramfenikol dengan dosis tinggi (Suriadi, 2006 ; 256).

B.       Konsep Asuhan Keperawatan
1.       Pengkajian   
Menurut Nursalam dkk (2005, hal: 154), pengkajian pada anak dengan demam tifoid meliputi :

a.       Identitas
Sering ditemukan pada anak berumur diatas satu tahun.
b.      Keluhan utama
Berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).
c.       Suhu tubuh
Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama  3 minggu, bersifat febris remiten dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
d.      Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma, atau gelisah (kecuali bila penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia dan epistaksis pada anak besar.

e.       Pemeriksaan fisik:
1)         Mulut
Terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), sementara ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.
2)         Abdomen
dapat ditemukan keadan perut kembung (meteorismus). Bisa terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.
3)         Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
f.       Pemeriksaan laboratorium
1)         Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relatif, dan aneosinofilia pada permukaan sakit.
2)         Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
3)         Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urine dan faeces.
4)         Pemeriksaan widal.
Untuk  membuat  diagnosis,  pemeriksaan yang diperlukan ialah titer
zat anti terhadap antigen O titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan yang progresif.

2.      Diagnosa keperawatan
Menurut Nursalam (2005), Diagnosa keperawatan yang mungkin akan  didapat pada penyakit demam tifoid adalah sebagai berikut :
e.       Kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakitnya.
3.      Perencanaan Asuhan Keperawatan
Menurut Nursalam (2005), perencanaan yang akan dilaksanakan pada klien dengan demam thypoid adalah sebagai berikut :
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Nafsu makan meningkat, Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan
1)      Berikan makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi protein, dan tidak menimbulkan gas.
2)      Jika kesadaran klien masih membaik Berikan makanan lunak dengan lauk pauk yang dicincang (hati dan daging), dan sayuran labu siam/wortel yang dimasak lunak sekali. Boleh juga diberikan tahu, telur  setengah matang atau matang yang direbus. Susu diberikan 2 x
1 gelas/lebih, jika makanan tidak habis berikan susu extra.
3)      Jika kesadaran klien menurun, berikan makanan cair per sonde dan berikan kalori sesuai dengan kebutuhannya. Pemberiannya diatur setiap 3 jam termasuk makanan ekstra seperti sari buah atau bubur kacang hijau yang dihaluskan. Jika kesadaran membaik, makanan dialihkan secara bertahap dari cair ke lunak.
4)      Pasang infus dengan cairan glukosa dan NaCl jika kondisi pasien payah (memburuk), seperti menderita delirium. Jika keadaan sudah tenang berikan makanan per sonde, disamping infus masih diteruskan. Makanan per sonde biasanya merupakan setengah dari jumlah kalori, sementara setengahnya lagi masih perinfus. Secara bertahap dengan melihat kemajuan pasien, bentuk makanan beralih ke makanan biasa.
5)      Observasi intake output.
b.      Gangguan suhu tubuh.
Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, turgor kulit kembali membaik.
1)      Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian obat secara mencukupi
2)      Anjurkan klien untuk istirahat mutlak sampai suhu tubuhnya  menurun.
3)      Atur ruangan agar cukup ventilasi.
4)      Berikan kompres dingin.
5)      Anjurkan pasien untuk banyak minum (sirup, teh manis, atau apa yang disukai anak).
6)      Berikan pakaian yang tipis
7)      Observasi suhu tubuh.
c.       Gangguan rasa aman dan nyaman.
Tujuan : Mempertahankan kondisi pasien dalam keadan amam dan nyaman
Kriteria hasil : Pasien merasa aman dan nyaman
1)      Lakukan perawatan mulut 2x1 hari
2)      Jika pasien dipasangkan sonde, perawatan mulut tetap dilakukan dan sesekali diberikan minum agar selaput lendir mulut dan tenggorokan tidak kering.
3)      Sebelum pasien mulai berjalan pasien harus mulai menggoyang goyangkan kakinya sambil tetap duduk dipinggir tempat tidur.
d.      Resiko terjadi komplikasi.
Tujuan : komplikasi tidak terjadi.
Kriteria hasil : mempertahankan intake yang adekuat.
1)      Pemberian terapi sesuai program dokter.
2)      Istirahat yang teratur.
3)      Lakukan Pengawasan komplikasi.
e.       Kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakitnya.
Tujuan : pengetahuan klien dan orang tua klien bertambah dengan adanya informasi.
Kriteria hasil : klien akan menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan, mengidentifikasi situasi stres dan tindakan khusus untuk menerimanya dan berpartisipasi dalam program pengobatan serta melakukan perubahan pola hidup tertentu.
1)      Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang hah-hal sebagai berikut :
Pasien tidak boleh tidur dengan anak-anak lain, pasien harus istirahat mutlak, pemberian obat dan pengukuran suhu dilakukan seperti dirumah sakit, feses dan urin harus dibuang kedalam lubang WC dan di siram air sebanyak-banyaknya.
4.         Implementasi
Menurut Carpenito (2009), komponen implementasi dalam proses keperawatan mencakup penerapan ketrampilan yang diperlukan untuk mengimplentasikan intervensi keperawatan. Ketrempilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk implementasi biasanya berfokus pada
a.       Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien.
b.      Melakukan pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau memantau status masalah yang telah ada
c.       Memberi  pendidikan  kesehatan   untuk  membantu  klien  mendapatkan
pengetahuan yang baru tentang kesehatannya atau penatalaksanaan gangguan.
d.      Membantu klien membuat keptusan tentang layanan kesehatannya sendiri .
e.       Berkonsultasi dan membuat rujukan pada profesi kesehatan lainnya untuk mendapatkan pengarahan yang tepat.
f.       Memberi tindakan yang spesifik untuk menghilangkan, mengurangi, atau menyelesaikan masalah kesehatan.
g.      Membantu klien melakukan aktivitasnya sendiri
h.      Membantu klien mengidentifikasi risiko atau masalah dan menggali pilihan yang tersedia. 
5.         Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil.

No comments:

Post a Comment