Tuesday, 19 December 2017

MAKALAH HUKUM PERWAKAFAN DI INDONESIA

MACAM-MACAM WAKAF



 










Diajukan  Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perwakafan Di Indonesia
Prodi HTN 6 Semester 5 Jurusan Syariah




Oleh

Nama Kelompok :
v  Sri Wahyuni
v  Afdal Solati










SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W A T A M P O N E

 
2017/2018


KATA PENGANTAR

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQtl08659PjYUwWbz0DrlYEW2TccnYhTElz8N2AmWyc_zgaXDb5Vg

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Macam-Macam Wakaf”. Kemudian shalawat serta salam, kami sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pemandu  yang telah memberikan bimbingan serta arahan serta semu pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



                                                                          Watampone, 13 Desember 2017

   Penyusun
                                                                                           



DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               2
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               2
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Pengertian Wakaf.................................................................               3
B.       Dasar Hukum Perwakafan Di Indonesia..............................               5
C.       Rukun Wakaf ......................................................................               8
D.       Macam-macam Wakaf..........................................................               14
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               17
B.       Saran.....................................................................................               17
DAFTAR PUSTAKA
















 
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah SWT dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT, lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Di Indonesia wakaf dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia yang juga menjadi salah satu penunjang pengembangan agama dan masyarakat Islam. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Dalam makalah ini akan di bahas beberap hala mengenai wakaf, rukun dan syarat wakaf serta tata cara ikrar wakaf.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.    Apa yang dimaksud dengan wakaf?
2.    Bagaimana dasar hukum wakaf di Indonesia?
3.    Bagaimana  rukun perwakafan menurut Islam dan perundang-undangan?
4.    Bagaimana macam-macam perwakafan di indonesia?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian dari wakaf.
2.    Untuk mengetahui dasar hukum wakaf di Indonesia.
3.    Untuk mengetahui  rukun perwakafan menurut Islam dan perundang-undangan.
4.    Untuk mengetahui macam-macam perwakafan di Indonesia.





 
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf  yang berarti   radiah   (terkembalikan),  al-tahbis  (tertahan),  al-tasbil  (tertawan) dan  al-man’u  (mencegah).[1]Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah habs Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.[2]
Sedangkan menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Pranata wakaf merupakan sebuah pranata yang berasal dari hukum. Oleh karena itu, apabila kita berbicara masalah perwakafan pada umumnya dan perwakafan tanah pada khususnya, kita tidak mungkin melepaskan dari pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut hukum Islam, dari mana sebenarnya pranata tersebut. “Seperti lazimnya dalam kitab-kitab fiqh, pemahaman tentang masalah ini dimulai dari pendekatan bahasa. Menurut bahasa, kata “waqaf” dalam bahasa Arab disalin dalam bahasa Indonesia menjadi wakaf, sebenarnya adalah bentuk masdar atau kata jadian dari kata kerja “waqafa”. Kata kerja atau fi’il “waqafa” ada kalanya memerlukan objek (lazim). Kata „waqaf” adalah sinonim atau identik dengan kata “habs”. Dengan demikian, kata “waqaf” dapat berarti berhenti dan menghentikan, dapat pula berarti menahan (habs)”.[3]
“Pemaknaan Wakaf menutut Imam Nawawi mengartikan wakaf secara etimologis dengan al habs (menahan) dan secara terminologis “memelihara kelestarian harta yang potensial untuk dimanfaatkan dengan cara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak yang berwenang”[4]
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.
Pengertian wakaf menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah / PP No.41  tahun  2004  adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.[5]   

B.  Dasar Hukum Perwakafan Di Indonesia
Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan As-sunah. Dalam Al-Qur'an tidak secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf, bahkan tidak satu pun ayat Al-Qur'an yang menyinggung kata "waqf". Kendatipun demikian, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, jadi ada beberapa ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan  masyarakat, yang disandarkan sebagai landasan atau dasar wakaf, antara lain :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(QS. Al-Baqarah: 267).
Ayat ini menjelaskan bahwa pilihlah yang baik-baik dari apa yang kamunafkahkan itu, walaupun tidak harus semuanya baik, tetapi jangan sampai kamu sengaja  memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya. Selanjutnya, ayat ini mengingatkan para pemberi nafkah agar menempatkan diri pada tempat orang yang menerimanya.
Allah memerintahkan pada manusia, agar memberi nafkah kepada yang butuh, bukan karena Allah tidak mampu  memberi secara langsung, tetapi perintah ini adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan si pemberi. Jadi, kata anfiquu mempunyai arti menafkahkan atau menyedekahkan (wakaf) yang baik-baik untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan guna dipergunakan untuk kepentingan umum.
Kemudian ayat yang lain yaitu:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92).
Penjelasan ayat ini ialah banyak orang yang menafkahkan apa yang ia cintai, tetapi beserta riya. Dan banyak orang yang jiwanya penuh dengan keinginan berbakti, tidak mempunyai harta untuk disedekahkan. Serta kita diperintahkan untuk menyembunyikan sedekah agar tidak menimbulkan riya dalam dada orang yang bersedekah.
Dalam ayat ini Allah menegaskan kepada kita bahwa tanda iman dan neracanya yang benar ialah mengeluarkan harta yang dicintai dijalan Allah SWT. dengan ikhlas serta niat yang baik. Tidak dapat seseorang menjadi mukmin yang sempurna kalau tidak mau menyedekahkan harta yang dicintai. Ayat di atas sering digunakan fuqaha’ untuk rujukan wakaf.
Adapun dasar dari Sunnah Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar, kisah tersebut yaitu : “Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Umar telah menguasai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW. Guna meminta intruksi sehubungan dengan tanah tersebut”. Ia berkata: "Ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepada-ku dengannya?”  Beliau bersabda: "Jika kamu menginginkannya, tahanlah asalnya, dan shadaqahkan hasilnya”. Maka bershaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir, budak-budak, pejuang  di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”.
Jelas, maksud dari shadaqah jariyah adalah wakaf.  Karena pahala wakaf akan terus menerus mengalir selama barang wakaf itu masih dimanfaatkan. Sebagaimana keutamaan shadaqah jariyah yang manfaat dan pengaruhnya langgeng setelah pemberi sedekah meninggal dunia.
Kisah dalam Hadits di atas adalah yang mendasari disyari’atkanya wakaf sebagai tindakan hukum, dengan mendermakan sebagian harta kekayaan untuk kepentingan umum, baik kepentingan  sosial maupun kepentingan keagamaan dengan maksud memperoleh pahala dari Allah SWT. Sedikit sekali memang, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits, yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu, sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat Al-Qur’an dan Hadits yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui  ijtihad  mereka. Sebab itu, sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam seperti, qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam masalah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis dan futuristik (berorientasi pada masa depan). Dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk dari bagian muammalah yang memiliki jangkauan yang lebih luas.

C.  Rukun Wakaf
1.    Rukun wakaf menurut Syariat Islam
Wakaf merupakan salah satu ajaran dalam Islam, mempunyai aturan-aturan tersendiri yang harus terpenuhi. Salah satu bagian yang harus terpenuhi dalam wakaf adalah unsur-unsur atau rukun wakaf,yaitu : waqif (pihak yang menyerahkan wakaf), mauquf alaih (pihak yang diserahi wakaf), mauquf bih (yang diwakafkan, baik benda maupun manfaat), dan sighat atau ikrar.
“Untuk sahnya wakaf, para fuqaha bersepakat bahwa wakaf harus memenuhi rukun-rukun dan syarat tertentu, sebagaimana telah disebutkan diatas. Khusus mengenai jumlah rukun waqaf, terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha”[6].
Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu shight. Shight adalah lafazh yang menunjukan arti wakaf, seperti ucapan “kuwakafkan kepada Allah” atau untuk kebajikan, atau dengan ucapan “kuwakafkan” tanpa menyebutkan tujuan tertentu.
Menurut zumhur mazhab Syafi‟i, Maliki, dan Hambali, rukun wakaf ada empat.Menurut khatib Asy-Syarbun dalam kitabnya Mughni Al-muhtaj, seperti yang diikuti oleh Abdurrahman. “Empat rukun wakaf tersebut, yaitu orang yang berwakaf ( al-waqif ), benda yang diwakafkan (al-mauquf), orang atau objek yang diberi wakaf (al-mauquf alaih), dan shighat wakaf”[7]
“Masing-masing rukun wakaf di atas mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagaimana cukup banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh yang secara singkat akan dibahas dalam pembahasan berikut ini”[8]
a.    Orang yang mewakafkan (waqif)
Para ulama mazhab sepakat bahwa sehat akal merupakan syarat bagi sahnya melakukan wakaf. Dengan demikian, wakafnya orang gila tidak sah karena dia tidak dikenai kewajiban (bukan orang mukallaf), serta tidak dihukumi maksud, ucapan dan perbuatan.
b.    Barang yang Diwakafkan
Para ulama mazhab sepakat bahwa syarat untuk barang yang diwakafkan itu persyaratannya yang ada pada barang yang dijual, yaitu barang tersebut konkret dan milik orang yang mewakafkan.
c.    Orang yang menerima wakaf
Orang yang menerima wakaf ialah orang yang berhak memelihara barang yang diwakafkan dan memanfaatkannya. Orang yang menerima wakaf disyariatkan hal-hal berikut ini.
1)   Hendaknya orang yang diwakafi ada ketika wakaf terjadi
2)   Hendaknya orang yang menerima wakaf mempunyai kelayakan untuk memiliki
3)   Hendaknya tidak merupakan maksiat kepada Allah
4)   Hendaknya jelas orang yang diketahui.
d.   Redaksi wakaf (pernyataan waqaf)
Pernyataan waqif merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan, pernyataan wakif tersebut bisa dilakukan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Dengan pernyataan tersebut tanggalah hak wakif atas benda yang diwakafkannya.
2.    Rukun Wakaf dalam Perundang-Undangan
“Fiqh tradisional dalam pengaturan wakaf Indonesia tampaknya belum dianggap cukup memadai. Oleh karena itu perlu adanya penyesuaian dengan keadaan atau kondisi khusus di tanah air, yang melahirkan aturan pemerintah mengenai wakaf tersebut yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah hak Milik dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf”[9].
Mengenai hal tersebut, akan dibahas secara singkat mengenai masing-masing unsur atau rukun wakaf berdasarkan Peratutan Perundang-Undangan di atas yaitu sebagai berikut :
a.    Waqif atau orang yang mewakafkan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (2), wakif adalah orang atau badan hukum yang mewakafkan benda miliknya, dan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (2) disebutkan, wakif adalah pihak yang mewakafkan benda miliknya. Karena mewakafkantanah itu merupakan perbuatan hukum maka wakif haruslah orang, organisasi, atau badan hukum yang memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum. Syarat-syarat wakif yaitu :
1)   Dewasa
2)   Sehat Akalnya
3)   Tidak terhalang melakukan tindakan hukum
4)   Atas kehendak sendiri mewakafkan tanahnya
5)   Mempunyai tanah milik sendiri
Syarat-syarat ini perlu dirinci untuk menghindari tidak sahnya tanah yang diwakafkan itu, baik karena faktor intern ( pada diri orang itu sendiri ) maupun karena faktor ektern ( yang berada diluar pribadi orang yang bersangkutan).
b.    Ikrar
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanahnya. Dalam peraturan pemerintah pernyataan kehendak diatur dalam pasal 1 yang masih dirumuskan secara umum, namun dalam peraturan pelaksanannya dirinci lebih lanjut. Menurut peraturan pemerintah dan peraturan pelaksananya, ikrar wakaf harus dinyatakan secara lisan, jelas, dan tegas kepada nazhir yang telah disahkan dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW) dan dua orang saksi, ikrar lisan tersebut kemudian harus dituangkan dalam bentuk tulisan.
Dalam pasal 9 ayat (4) peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah hak milik, disebutkan dengan tegas bahwa bahwa pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah apabila disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 223 ditegaskan bahwa ikrar wakaf harus di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf dalam isi dan bentuk yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama.
c.    Saksi dalam Perwakafan
Ketentuan yang mewajibkan ikrar wakaf dituangkan dalam bentuk tulisan, dan keharusan adanya dua orang saksi yang menghadiri dan menyaksikan ikrar wakaf dimaksudkan sebagai jaminan dan perlindungan hukum terhadap perwakafan tanah.
Menurut penjelasan pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, tujuannya untuk memperoleh bukti otentik yang dapat dipergunakan sebagai persoalan seperti:
1)   Untuk bahan pendaftaran pada kantor subdirektorat agrarian kabupaten/kotamadya;
2)   Untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan tersebut.
Tidak semua orang dapat menjadi saksi dalam perwakafan. Disyaratkan saksi dalam perwakafan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu :
1)   Telah dewasa
2)   Sehat akalnya
3)   Beragama Islam
4)   Tidak terhalang berdasarkan ketentuan hukum.
d.   Benda yang Diwakafkan
Menurut peraturan pemerintah yang dapat dijadikan benda wakaf atau mauqif bih adalah tanah hak milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci dan abadi. Oleh karena itu tanah yang dapat dijadikan tanah wakaf, selain dari statusnya hak milik juga harus bersih dari segala tanggungan.
“Tanah yang bukan statusnya hak milik seperti, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak sewa dan sebagainya, tidak dapat dijadikan benda wakaf, karena hak yang melekat pada tanah itu waktu pemanfaatannya terbatas. Menurut Peraturan Pemerintah hanya tanah milik saja yang dapat didaftarkan sebagai tanah wakaf”[10]
Jika dalam peraturan pemerintah di atas hanya terbatas pada tanah milik, berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, benda yang diwakafkan mencakup semua harta benda yang dikuasai oleh wakif secara sah.
e.    Tujuan wakaf
Hal yang perlu diperhatikan adalah melestarikan tujuan wakaf dengan pengelolaan yang baik dan dilakukan oleh nazhir yaitu sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda-benda wakaf agar manfaatnya dapat kekal dinikmati oleh masyarakat.
f.     Nazhir
Nazhir adalah pihak yang menenrima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Sama halnya dengan wakif, nazhir meliputi perorangan, organisasi, dan badan hukum
Syarat nazhir perorangan adalah (1) warga Negara Indonesia (2) beragama Islam (3) dewasa (4) amanah (5) mampu secara jasmani dan rohani serta (6) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Syarat-syarat nazhir organisasi adalah (1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir perseorangan, dan (2) organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan atau keagamaan Islam. Sedangkan syarat nazhir badan hukum adalah (1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir perseorangan, (2) badan hukum Indonesia yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (3) organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan atau keagamaan Islam.
“Nazhir baik perseorangan, organisasi, maupun badan hukum harus terdaftar pada kementerian yang menangani wakaf dan badan wakaf Indonesia”.[11]35
Dalam undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tugas nazhir adalah sebagai berikut :
1)   Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
2)   Mengelola dan mengembangkanharta benda wakaf sesuai dengan tujuan fungsi dan peruntukannya
3)   Melindungi dan mengawasi harta benda wakaf
4)   Melakukan pelaporan tugas kepada badan wakaf Indonesia.

D.  Macam-macam Wakaf
Jika ditinjau dari segi peruntukkan, maka wakaf terbagi menjadi dua macam, yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi.
1.    Wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Dalam pengertian lain wakaf dzurri adalah wakaf yang di khususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara, atau ibu bapaknya.[12] Dengan kata lain, wakaf ini diperuntukkan kepada pihak keturunan atau ahli waris, wakaf ini dibenarkan hanya untuk keperluan mereka.[13]
Contohnya apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakaf tersebut dikatakan sah. Maka yang mengambil wakaf tersebut adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Secara hukum islam, wakaf ini dibenarkan oleh Nabi berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kerabatnya. Dalam hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Aku berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya”.
Dalam satusisi, wakaf ini dinilai baik karena siwakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya dan kebaikan dari silaturahim terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Namun, disisi lain wakaf ini sering menimbulkan masalah apabila redaksi atau ikrar yang dikatakan oleh wakif kurang jelas. Khawatir akan menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf oleh keluarga yang menerima harta wakaf, maka dibeberapa Negara  tertentu, seperti Mesir, Maroko, Aljazair,wakaf ahli ini telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai seg, tanah-tanah wakaf dinilai kurang produktif.[14]
2.    Wakaf Khairi
Wakaf khairi yaitu wakaf yang secara tegas untuk keperluan agama dan kemasyarakatan (kebajikan umum).[15] Wakaf ini bertujuan untuk kemaslahatan umum, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sejenisnya.
Wakaf ini seperti yang dilakukan Umar bin Khattabpadatanahnya yang berada diperkebunan Khibar. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar (HR. Bukhori Muslim).[16]
Ciri-ciri wakaf ini yaitu:
a.    Ditujukkan kepada umum (tidak untuk individu atau kelompok),
b.    tidak terbatas penggunaannya (mencakup semua aspek), dan
c.    untuk kepentingan umat manusia pada umumnya, contohnya untuk jaminan social, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan, dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Ustman bin Affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.
Dengan demikian, benda wakaf tersebut benarbenar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.[17]




 
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dan demi menjawab permasalahan yang ada, maka dapat penulis simpulkan yaitu sebagai berikut:
Wakaf adalah menahan tindakan hukum orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan unum dan kebajikan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT, sedangkan materinya tetap utuh”. Harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi milik Wakif dan akadnya bersifat mengikat. Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan As-sunah.
Wakaf terbagi menjadi dua: (1.)   Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orangorang tertentu baik keluarga wakif atau orang lain. (2.)  Wakaf khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tetentu. Wakaf khairi inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya.

B.  Saran
Pemberitahuan mengenai hukum wakaf sangat diperlukan karena pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkan wakaf.Seperti pengetahuan mengenai benda yang diwakafkan adalah benda tidak bergerak (tanah), padahal benda yang diwakafkan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Lalu mempertimbangkan kemampuan nadzir atau dapat dikatakan telah memenuhi standar kualifikasi untuk mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat akan optimal.

 
DAFTAR PUSTAKA


Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005.

Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, citra aditya bakti, Bandung, 1990

Athoillah, Hukum Wakaf, Yrama Widya, Bandung . 2014.

Harahap, Fiqih Wakaf. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta :2006.

Hendi Suhendi, fiqh muamalh, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010.

Jaih Mubarok, , Wakaf Produktif, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008

Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia Bandung: 2010.
 
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Siah Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia Bandung: 2010.
 



















[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t), hal.319.
[2] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 6.
[3] Siah Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia Bandung: 2010, hal. 15 
[4] Athoillah, Hukum Wakaf, Yrama Widya, Bandung 2014 hal 4 
[5] Hendi Suhendi, fiqh muamalh, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010, hlm. 240
[6] Siah Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia Bandung: 2010, hal. 31 
[7] Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, citra aditya bakti, Bandung, 1990, hal 50 
[8]  Siah Khosyi‟ah, op cit hal 40 
[9] Ibid., hal. 47 
[10] Siah Khosyi‟ah, op cit hal 52 
[11] Jaih Mubarok, , Wakaf Produktif, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008, hal. 154. 
[12] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 25
[13] Drs. H. Hasanuddin MA, Manajemen Zakat danWakaf, (Pamulang: FIDKOM, 2010), hal. 104
[14]Majalah Pembimbing, No. 13/1977, hal. 31; Asaf AA Fyzee, 1960, hal. 79
[15] Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006. hal 378
[16] Drs. H. Abdul Halim, M.A., Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 24-25
[17] Harahap, Fiqih Wakaf. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta :2006. Hal.18

No comments:

Post a Comment