MACAM-MACAM
WAKAF
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum
Perwakafan Di Indonesia
Prodi HTN 6 Semester
5 Jurusan Syariah
Oleh
Nama Kelompok :
v
Sri Wahyuni
v
Afdal Solati
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W
A T A M P O N E
|
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Macam-Macam
Wakaf”. Kemudian shalawat serta salam, kami sampaikan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-qur’an dan
sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Selanjutnya
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pemandu yang telah memberikan bimbingan serta arahan serta
semu pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah
ini.
Akhirnya
penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Watampone, 13 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 2
BAB II... PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf................................................................. 3
B.
Dasar Hukum Perwakafan Di Indonesia.............................. 5
C.
Rukun Wakaf ...................................................................... 8
D.
Macam-macam Wakaf.......................................................... 14
BAB III.. PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 17
B.
Saran..................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah SWT
dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum
Islam sebagai aturan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban
misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat,
baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi sosial Islam yang mengandung
nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran
tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya
Allah SWT, lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan
sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa
harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan
melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas
(si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit
masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh
umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang,
termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Pada tulisan yang sederhana
ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh
negara, yang merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Di Indonesia wakaf
dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia
yang juga menjadi salah satu penunjang pengembangan agama dan masyarakat Islam.
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain
adalah memajukan kesejahteraan umum.
Salah satu langkah
strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran
wakaf. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf
tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga
dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian
atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami
status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Dalam makalah ini
akan di bahas beberap hala mengenai wakaf, rukun dan syarat wakaf serta tata
cara ikrar wakaf.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas,
maka dapat diidentifikasi beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam
penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud dengan wakaf?
2.
Bagaimana dasar hukum wakaf di Indonesia?
3.
Bagaimana
rukun perwakafan menurut Islam dan perundang-undangan?
4.
Bagaimana macam-macam perwakafan di indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari wakaf.
2.
Untuk
mengetahui dasar hukum wakaf di Indonesia.
3.
Untuk
mengetahui rukun perwakafan menurut Islam dan perundang-undangan.
4.
Untuk
mengetahui macam-macam perwakafan di Indonesia.
|
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang
berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[1]Perkataan wakaf yang menjadi
bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau
kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini
adakalanya memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui
sinonim waqf ialah habs Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna
menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.[2]
Sedangkan menurut istilah syara,
ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk
kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya
tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya
disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Pranata wakaf merupakan sebuah pranata yang
berasal dari hukum. Oleh karena itu, apabila kita berbicara masalah perwakafan
pada umumnya dan perwakafan tanah pada khususnya, kita tidak mungkin melepaskan
dari pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut hukum Islam, dari mana
sebenarnya pranata tersebut. “Seperti lazimnya dalam kitab-kitab fiqh,
pemahaman tentang masalah ini dimulai dari pendekatan bahasa. Menurut bahasa,
kata “waqaf” dalam bahasa Arab disalin dalam bahasa Indonesia menjadi
wakaf, sebenarnya adalah bentuk masdar atau kata jadian dari kata kerja “waqafa”.
Kata kerja atau fi’il “waqafa” ada kalanya memerlukan objek (lazim).
Kata „waqaf” adalah sinonim atau identik dengan kata “habs”.
Dengan demikian, kata “waqaf” dapat berarti berhenti dan menghentikan,
dapat pula berarti menahan (habs)”.[3]
“Pemaknaan Wakaf menutut Imam Nawawi
mengartikan wakaf secara etimologis dengan al habs (menahan) dan secara
terminologis “memelihara kelestarian harta yang potensial untuk dimanfaatkan
dengan cara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak yang berwenang”[4]
Ada beberapa pengertian tentang
wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab
syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa
dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta
tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut imam Abu
Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan
bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada
orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka
harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih
hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik
untuk dijual atau dihibahkan.
Pengertian wakaf menurut
mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta,
dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut
walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut
Peraturan Pemerintah / PP No.41 tahun 2004 adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk
dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya
guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari definisi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam
pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap
utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang
tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah,
bangunan dan sejenisnya. Utamanya
untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti
asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan
jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi
lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang
diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu
masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah
dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ
مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ
صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka
terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.”[5]
B. Dasar Hukum Perwakafan Di Indonesia
Dalil yang menjadi dasar
disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan
As-sunah. Dalam Al-Qur'an tidak
secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf, bahkan tidak satu pun ayat
Al-Qur'an yang menyinggung kata "waqf". Kendatipun demikian, karena
wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, jadi ada
beberapa ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan
masyarakat, yang disandarkan sebagai landasan atau dasar wakaf, antara lain :
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(QS.
Al-Baqarah: 267).
Ayat ini menjelaskan
bahwa pilihlah yang baik-baik dari apa yang kamunafkahkan itu, walaupun tidak
harus semuanya baik, tetapi jangan sampai kamu sengaja memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya. Selanjutnya, ayat ini mengingatkan
para pemberi nafkah agar menempatkan diri pada tempat orang yang menerimanya.
Allah memerintahkan
pada manusia, agar memberi nafkah kepada yang butuh, bukan karena Allah tidak
mampu memberi secara langsung, tetapi perintah ini adalah untuk
kepentingan dan kemaslahatan si pemberi. Jadi, kata anfiquu mempunyai arti
menafkahkan atau menyedekahkan (wakaf) yang baik-baik untuk diberikan kepada
orang yang membutuhkan guna dipergunakan untuk kepentingan umum.
Kemudian ayat yang lain yaitu:
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya: Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92).
Penjelasan ayat ini
ialah banyak orang yang menafkahkan apa yang ia cintai, tetapi beserta riya.
Dan banyak orang yang jiwanya penuh dengan keinginan berbakti, tidak mempunyai
harta untuk disedekahkan. Serta kita diperintahkan untuk menyembunyikan sedekah
agar tidak menimbulkan riya dalam dada orang yang bersedekah.
Dalam ayat ini Allah
menegaskan kepada kita bahwa tanda iman dan neracanya yang benar ialah
mengeluarkan harta yang dicintai dijalan Allah SWT. dengan ikhlas serta niat
yang baik. Tidak dapat seseorang menjadi mukmin yang sempurna kalau tidak mau
menyedekahkan harta yang dicintai. Ayat di atas sering digunakan fuqaha’ untuk
rujukan wakaf.
Adapun dasar dari
Sunnah Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu
perintah Nabi kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang ada di
Khaibar, kisah tersebut yaitu : “Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Umar telah
menguasai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW. Guna meminta
intruksi sehubungan dengan tanah tersebut”. Ia berkata: "Ya Rasulullah,
aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya
seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepada-ku dengannya?” Beliau
bersabda: "Jika kamu menginginkannya, tahanlah asalnya, dan shadaqahkan
hasilnya”. Maka bershaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual,
dihibahkan dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir,
budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak
berdosa orang yang mengelolanya, memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara
yang ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”.
Jelas, maksud dari
shadaqah jariyah adalah wakaf. Karena pahala wakaf akan terus menerus
mengalir selama barang wakaf itu masih dimanfaatkan. Sebagaimana keutamaan
shadaqah jariyah yang manfaat dan pengaruhnya langgeng setelah pemberi sedekah
meninggal dunia.
Kisah dalam Hadits di
atas adalah yang mendasari disyari’atkanya wakaf sebagai tindakan hukum, dengan
mendermakan sebagian harta kekayaan untuk kepentingan umum, baik
kepentingan sosial maupun kepentingan keagamaan dengan maksud memperoleh
pahala dari Allah SWT. Sedikit sekali memang, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits,
yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu, sedikit sekali hukum-hukum wakaf
yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat
Al-Qur’an dan Hadits yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqh
Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan
mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui ijtihad mereka. Sebab itu,
sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad,
dengan menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam seperti, qiyas, maslahah
mursalah dan lain-lain.
Oleh karena itu,
ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam masalah ijtihadi, maka hal
tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru,
dinamis dan futuristik (berorientasi pada masa depan). Dengan demikian,
ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup
besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran
wakaf ini termasuk dari bagian muammalah yang memiliki jangkauan yang lebih
luas.
C. Rukun Wakaf
1. Rukun wakaf menurut Syariat Islam
Wakaf merupakan salah satu ajaran dalam Islam, mempunyai
aturan-aturan tersendiri yang harus terpenuhi. Salah satu bagian yang harus
terpenuhi dalam wakaf adalah unsur-unsur atau rukun wakaf,yaitu : waqif (pihak
yang menyerahkan wakaf), mauquf alaih (pihak yang diserahi wakaf), mauquf
bih (yang diwakafkan, baik benda maupun manfaat), dan sighat atau
ikrar.
“Untuk sahnya wakaf, para fuqaha bersepakat bahwa
wakaf harus memenuhi rukun-rukun dan syarat tertentu, sebagaimana telah
disebutkan diatas. Khusus mengenai jumlah rukun waqaf, terdapat perbedaan
pendapat diantara para fuqaha”[6].
Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu shight.
Shight adalah lafazh yang menunjukan arti wakaf, seperti ucapan “kuwakafkan
kepada Allah” atau untuk kebajikan, atau dengan ucapan “kuwakafkan” tanpa
menyebutkan tujuan tertentu.
Menurut zumhur mazhab Syafi‟i, Maliki, dan Hambali, rukun
wakaf ada empat.Menurut khatib Asy-Syarbun dalam kitabnya Mughni Al-muhtaj,
seperti yang diikuti oleh Abdurrahman. “Empat rukun wakaf tersebut, yaitu orang
yang berwakaf ( al-waqif ), benda yang diwakafkan (al-mauquf),
orang atau objek yang diberi wakaf (al-mauquf alaih), dan shighat wakaf”[7]
“Masing-masing rukun wakaf di atas mempunyai
syarat-syarat tertentu, sebagaimana cukup banyak dibicarakan dalam kitab-kitab
fiqh yang secara singkat akan dibahas dalam pembahasan berikut ini”[8]
a.
Orang
yang mewakafkan (waqif)
Para ulama mazhab sepakat bahwa sehat akal merupakan syarat bagi sahnya
melakukan wakaf. Dengan demikian, wakafnya orang gila tidak sah karena dia
tidak dikenai kewajiban (bukan orang mukallaf), serta tidak dihukumi
maksud, ucapan dan perbuatan.
b.
Barang
yang Diwakafkan
Para ulama mazhab sepakat bahwa syarat untuk barang yang diwakafkan itu
persyaratannya yang ada pada barang yang dijual, yaitu barang tersebut konkret
dan milik orang yang mewakafkan.
c.
Orang
yang menerima wakaf
Orang yang menerima wakaf ialah orang yang berhak memelihara barang yang
diwakafkan dan memanfaatkannya. Orang yang menerima wakaf disyariatkan hal-hal
berikut ini.
1)
Hendaknya
orang yang diwakafi ada ketika wakaf terjadi
2)
Hendaknya
orang yang menerima wakaf mempunyai kelayakan untuk memiliki
3)
Hendaknya
tidak merupakan maksiat kepada Allah
4)
Hendaknya
jelas orang yang diketahui.
d.
Redaksi
wakaf (pernyataan waqaf)
Pernyataan waqif merupakan tanda penyerahan barang atau benda
yang diwakafkan, pernyataan wakif tersebut bisa dilakukan dalam bentuk lisan
ataupun tulisan. Dengan pernyataan tersebut tanggalah hak wakif atas
benda yang diwakafkannya.
2. Rukun Wakaf dalam Perundang-Undangan
“Fiqh tradisional dalam pengaturan wakaf Indonesia
tampaknya belum dianggap cukup memadai. Oleh karena itu perlu adanya
penyesuaian dengan keadaan atau kondisi khusus di tanah air, yang melahirkan
aturan pemerintah mengenai wakaf tersebut yang dikenal dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah hak Milik dan Inpres
Nomor 1 tahun 1991 kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf”[9].
Mengenai hal tersebut, akan dibahas secara singkat mengenai
masing-masing unsur atau rukun wakaf berdasarkan Peratutan Perundang-Undangan
di atas yaitu sebagai berikut :
a.
Waqif
atau orang yang
mewakafkan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, wakif adalah orang atau
orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Menurut Kompilasi
Hukum Islam pasal 215 ayat (2), wakif adalah orang atau badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya, dan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
Wakaf pasal 1 ayat (2) disebutkan, wakif adalah pihak yang mewakafkan
benda miliknya. Karena mewakafkantanah itu merupakan perbuatan hukum maka wakif
haruslah orang, organisasi, atau badan hukum yang memenuhi syarat untuk
melakukan tindakan hukum. Syarat-syarat wakif yaitu :
1)
Dewasa
2)
Sehat
Akalnya
3)
Tidak
terhalang melakukan tindakan hukum
4)
Atas
kehendak sendiri mewakafkan tanahnya
5)
Mempunyai
tanah milik sendiri
Syarat-syarat ini perlu dirinci untuk
menghindari tidak sahnya tanah yang diwakafkan itu, baik karena faktor intern
( pada diri orang itu sendiri ) maupun karena faktor ektern ( yang
berada diluar pribadi orang yang bersangkutan).
b.
Ikrar
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif
untuk mewakafkan tanahnya. Dalam peraturan pemerintah pernyataan kehendak
diatur dalam pasal 1 yang masih dirumuskan secara umum, namun dalam peraturan
pelaksanannya dirinci lebih lanjut. Menurut peraturan pemerintah dan peraturan
pelaksananya, ikrar wakaf harus dinyatakan secara lisan, jelas, dan tegas
kepada nazhir yang telah disahkan dihadapan pejabat pembuat akta ikrar
wakaf (PPAIW) dan dua orang saksi, ikrar lisan tersebut kemudian harus
dituangkan dalam bentuk tulisan.
Dalam pasal 9 ayat (4) peraturan
pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah hak milik, disebutkan
dengan tegas bahwa bahwa pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah apabila
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 223
ditegaskan bahwa ikrar wakaf harus di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf
dalam isi dan bentuk yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama.
c.
Saksi
dalam Perwakafan
Ketentuan yang mewajibkan ikrar wakaf
dituangkan dalam bentuk tulisan, dan keharusan adanya dua orang saksi yang
menghadiri dan menyaksikan ikrar wakaf dimaksudkan sebagai jaminan dan perlindungan
hukum terhadap perwakafan tanah.
Menurut penjelasan pasal 9 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, tujuannya untuk
memperoleh bukti otentik yang dapat dipergunakan sebagai persoalan seperti:
1)
Untuk
bahan pendaftaran pada kantor subdirektorat agrarian kabupaten/kotamadya;
2)
Untuk
keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari tentang
tanah yang diwakafkan tersebut.
Tidak semua orang dapat menjadi saksi dalam perwakafan. Disyaratkan
saksi dalam perwakafan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu :
1)
Telah
dewasa
2)
Sehat
akalnya
3)
Beragama
Islam
4)
Tidak
terhalang berdasarkan ketentuan hukum.
d.
Benda
yang Diwakafkan
Menurut peraturan pemerintah yang
dapat dijadikan benda wakaf atau mauqif bih adalah tanah hak milik yang
bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.Ketentuan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci dan
abadi. Oleh karena itu tanah yang dapat dijadikan tanah wakaf, selain dari statusnya
hak milik juga harus bersih dari segala tanggungan.
“Tanah yang bukan statusnya hak milik
seperti, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak sewa dan sebagainya, tidak
dapat dijadikan benda wakaf, karena hak yang melekat pada tanah itu waktu pemanfaatannya
terbatas. Menurut Peraturan Pemerintah hanya tanah milik saja yang dapat
didaftarkan sebagai tanah wakaf”[10]
Jika dalam peraturan pemerintah di
atas hanya terbatas pada tanah milik, berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf, benda yang diwakafkan mencakup semua harta benda yang
dikuasai oleh wakif secara sah.
e.
Tujuan
wakaf
Hal yang perlu diperhatikan adalah
melestarikan tujuan wakaf dengan pengelolaan yang baik dan dilakukan oleh nazhir
yaitu sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan
dan pengurusan benda-benda wakaf agar manfaatnya dapat kekal dinikmati oleh
masyarakat.
f.
Nazhir
Nazhir adalah pihak yang menenrima harta
benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Sama halnya dengan wakif, nazhir meliputi
perorangan, organisasi, dan badan hukum
Syarat nazhir perorangan adalah
(1) warga Negara Indonesia (2) beragama Islam (3) dewasa (4) amanah (5) mampu
secara jasmani dan rohani serta (6) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Syarat-syarat nazhir organisasi
adalah (1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir
perseorangan, dan (2) organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang
sosial, pendidikan, kemasyarakatan atau keagamaan Islam. Sedangkan syarat nazhir
badan hukum adalah (1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
syarat-syarat nazhir perseorangan, (2) badan hukum Indonesia yang
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (3) organisasi
yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan atau
keagamaan Islam.
“Nazhir baik perseorangan, organisasi, maupun
badan hukum harus terdaftar pada kementerian yang menangani wakaf dan badan
wakaf Indonesia”.[11]35
Dalam undang-Undang Nomor 41 tahun
2004 tentang wakaf tugas nazhir adalah sebagai berikut :
1)
Melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf
2)
Mengelola
dan mengembangkanharta benda wakaf sesuai dengan tujuan fungsi dan
peruntukannya
3)
Melindungi
dan mengawasi harta benda wakaf
4)
Melakukan
pelaporan tugas kepada badan wakaf Indonesia.
D. Macam-macam Wakaf
Jika ditinjau dari
segi peruntukkan, maka wakaf terbagi menjadi dua macam, yaitu wakaf ahli dan
wakaf khairi.
1. Wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang
tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Dalam pengertian
lain wakaf dzurri adalah wakaf yang di khususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya,
seperti anak, cucu, saudara, atau ibu bapaknya.[12] Dengan kata lain,
wakaf ini diperuntukkan kepada pihak keturunan atau ahli waris, wakaf ini
dibenarkan hanya untuk keperluan mereka.[13]
Contohnya apabila
seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakaf
tersebut dikatakan sah. Maka yang mengambil wakaf tersebut adalah mereka yang
ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Secara hukum islam,
wakaf ini dibenarkan oleh Nabi berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhori Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah
kepada kerabatnya. Dalam hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal
tersebut. Aku berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga
terdekat. Maka Abu thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak
pamannya”.
Dalam satusisi,
wakaf ini dinilai baik karena siwakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu
kebaikan dari amal ibadah wakafnya dan kebaikan dari silaturahim terhadap
keluarga yang diberikan harta wakaf. Namun, disisi lain wakaf ini sering
menimbulkan masalah apabila redaksi atau ikrar yang dikatakan oleh wakif kurang
jelas. Khawatir akan menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
harta wakaf oleh keluarga yang menerima harta wakaf, maka dibeberapa
Negara tertentu, seperti Mesir, Maroko,
Aljazair,wakaf ahli ini telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai
seg, tanah-tanah wakaf dinilai kurang produktif.[14]
2. Wakaf Khairi
Wakaf khairi yaitu
wakaf yang secara tegas untuk keperluan agama dan kemasyarakatan (kebajikan
umum).[15] Wakaf
ini bertujuan untuk kemaslahatan umum, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk
membangun masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sejenisnya.
Wakaf ini seperti
yang dilakukan Umar bin Khattabpadatanahnya yang berada diperkebunan Khibar.
Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar (HR.
Bukhori Muslim).[16]
Ciri-ciri wakaf ini yaitu:
a.
Ditujukkan kepada umum (tidak untuk individu atau kelompok),
b.
tidak terbatas penggunaannya (mencakup semua aspek), dan
c.
untuk kepentingan umat manusia pada umumnya, contohnya untuk jaminan social, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan, dan
lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih
banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak
terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah
yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara
umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat
mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si
wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil
air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Ustman
bin Affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah
satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan
tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana
pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian,
kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.
Dengan demikian, benda wakaf tersebut benarbenar terasa
manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga
atau kerabat yang terbatas.[17]
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dan demi menjawab
permasalahan yang ada, maka dapat penulis simpulkan yaitu sebagai berikut:
Wakaf adalah menahan
tindakan hukum orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan
dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan unum dan kebajikan dalam
rangka mendekatkan diri pada Allah SWT, sedangkan materinya tetap utuh”. Harta yang sudah diwakafkan
tidak lagi menjadi milik Wakif dan akadnya bersifat mengikat. Dalil yang menjadi
dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari pemahaman terhadap teks
Al-Qur’an dan As-sunah.
Wakaf terbagi menjadi
dua: (1.) Wakaf
Dzurri (keluarga) disebut juga
wakaf khusus dan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orangorang
tertentu baik keluarga wakif atau orang lain. (2.) Wakaf
khairi yaitu wakaf yang ditujukan
untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tetentu. Wakaf
khairi inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus
mengalir hingga wakif itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat
diambil manfaatnya.
B. Saran
Pemberitahuan
mengenai hukum wakaf sangat diperlukan karena pada umumnya masyarakat belum
memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat
wakaf, maupun maksud disyariatkan wakaf.Seperti pengetahuan mengenai benda yang
diwakafkan adalah benda tidak bergerak (tanah), padahal benda yang diwakafkan
dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Lalu mempertimbangkan
kemampuan nadzir atau dapat dikatakan telah memenuhi standar kualifikasi untuk
mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan umat akan optimal.
|
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat
Press, 2005.
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah
Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, citra aditya bakti,
Bandung, 1990
Athoillah, Hukum
Wakaf, Yrama Widya, Bandung . 2014.
Harahap, Fiqih
Wakaf. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta :2006.
Hendi Suhendi, fiqh
muamalh, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010.
Jaih Mubarok, , Wakaf Produktif,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008
Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah
Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia
Bandung: 2010.
Sabiq, Sayyid, Fiqh
al-Sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Siah
Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia,
CV Pustaka Setia Bandung: 2010.
[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi
Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t), hal.319.
[2] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:
Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 6.
[3] Siah Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah
Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia
Bandung: 2010, hal. 15
[4] Athoillah, Hukum Wakaf, Yrama Widya,
Bandung 2014 hal 4
[6] Siah Khosyi‟ah,, Wakaf dan Hibah
Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, CV Pustaka Setia
Bandung: 2010, hal. 31
[7] Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah
Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, citra aditya bakti,
Bandung, 1990, hal 50
[8] Siah
Khosyi‟ah, op cit hal 40
[9] Ibid., hal. 47
[10] Siah Khosyi‟ah, op cit hal 52
[11] Jaih Mubarok, , Wakaf Produktif,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008, hal. 154.
[12] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:
Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 25
[13] Drs. H. Hasanuddin MA, Manajemen Zakat danWakaf, (Pamulang: FIDKOM, 2010), hal. 104
[14]Majalah Pembimbing, No. 13/1977, hal. 31;
Asaf AA Fyzee, 1960, hal. 79
[16] Drs. H. Abdul Halim, M.A., Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta:
Ciputat Press, 2005), hal. 24-25
[17] Harahap, Fiqih
Wakaf. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta :2006. Hal.18
No comments:
Post a Comment