BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medis
1.
Pengertian
Berdasarkan penelitian ara ahli mengenai
hemoroid maka dikemukakan pengertian hemoroid sebagai berikut :
a.
Hemoroid adalah pelebaran vena
didalam pleksus hemoroidalis yang tidak merupakan patologik. Hanya apabila
hemorid ini menyebabkan keluhan atau penyulit, diperlukan tindakan
(Wim De Jong, 2005 Hal. 672)
b.
Hemoroid adalah bagian vena
yang berdilatasi dalam kanal anal. Hemoroid sangat umum terjadi pada usia
50-an, 50% individu mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena
yang terkena. (Smeltzer, 2002 Hal.1138).
c.
Hemoroid adalah suatu pelebaran
dari vena-vena didalam pleksus hemoroidalis. Walaupun kondisi ini merupakan
suatu kondisi fisiologis. (Muttaqin, 2011 Hal. 689).
2.
Anatomi Fisiologi
a.
Anatomi kolon dan rektum
Kolon
merupakan sambungan dari usus halus, dengan panjang ± 1,5 meter, dimulai dari katup ileocaecal. Reflek gastrokolik
terjadi ketika makanan masuk ke dalam lambung dan menimbulkan peristaltik di
dalam kolon. Sekum terletak di daerah iliaka dan menempel pada tempat yang
disebut pleksura hepatika, seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini :
Gbr. Hemoroid
Sumber : http://medlinux.blogspot.com/2009/02/hemoroid.html
Selanjutnya
kolon berjalan melalui tepi daerah epigastrium dan umbilikal sebagai kolon
transversum, kemudian membelok sebagai fleksura lienalis. Di daerah kanan
iliaka terdapat belokan yang disebut fleksura sigmoid dan dibentuk kolon
sigmoideus dan kemudian masuk pelvis besar yang menjadi rektum. Panjang rektum
adalah kira-kira 10 cm di bagian bawah dari usus besar, yang dimulai dari kolon
sigmoideus dan berakhir pada saluran anal yang panjangnya kira-kira 3 cm.
Saluran paling bawah berakhir pada anus yang diapit oleh otot internus dan eksternus
yang merupakan tempat dimana dapat menyebabkan pelebaran fleksus vena
hemoroidalis.
b.
Struktur pembuluh darah
Usus
besar menunjukkan empat morfologi lapisan seperti apa yang ditemukan juga pada
usus halus yaitu :
1.)
Lapisan serosa
Merupakan
lapisan paling luar, yang dibentuk oleh peritonium. Mesenterium merupakan
lipatan peritonium yang lebar sehingga memungkinkan usus bergerak lebih
leluasa. Mesenterium menyokong pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf
mensuplai darah. Fungsi dari peritonium adalah mencegah pergesekan antara
organ-organ yang berdekatanb, dengan mensekresi cairan serosa yang berfungsi
sebagai pelumas.
2.)
Lapisan otot longitudinal
Meliputi
usus besar tidak sempurna, tetapi berkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia
koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal sehingga rektum mempunyai selubung
otot yang lengkap. Taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus menjadi berkerut seperti
kantong
kecil yang disebut : haustra.
3.)
Lapisan otot sirkuler
Diantara
kedua lapisan otot tersebut, terdapat pembuluh darah dan pembuluh limfe, yang
mensuplai usus
4.)
Lapisan mukosa
Lapisan
paling dalam, tidak mempunyai vili atau rugae dan merupakan suatu perbedaan
dengan usus halus. Kriptus liberikula (kelenjar internal) terletak lebih dalam
dan mempunyai lebih banyak sel goblet daripada usus halus. Usus besar secara
klinik dibagi dalam separu bagian kiri dan kanan menurut suplai darahnya.
c.
Sistem hepatika portal
Vena mesenterika superior
memperdarahi separuh bagian kanan yaitu
: sekum, kolon, asendus, dan dua pertiga proximal kolon transversum. Arteri
mesenterika superior mensuplai separuh bagian kiri yaitu sepertiga distal kolon
mendatar dari kolon desendens, kolon sigmoid serta bagian proksimal dari
rektum. Suplai darah pada rektum diselenggarakan oleh vena return dari kolon
dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior yang
mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan
darah ke vena iliaka dan merupakan bagian distal dari sirkulasi sistemik.
Suplai saraf usus besar, dilakukan
oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian sfingter eksterna yang diatur oleh
sistem volunter. Serabut parasimpatik berjalan melalui nervus vagus, ke bagian
tengah kolon transversum dan pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai
bagian distal.
Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi, kontraksi dan perangsangan sfingter ani, sedangkan
perangsangan parasimpatis, menyuplai efek yang berlawanan.
d.
Fisiologi kolon dan rektum
Usus besar mempunyai fungsi yang
semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus yang paling
penting adalah absorpsi air dan elektrolit yang sebagian besar dilangsungkan
pada kolon bagian kanan, dan fungsi kolon sigmoid sebagai reservoir untuk
dehidrasi masa faeces, sampai defekasi berlangsung.
Kolon mengabsorbsi air, sekitar 600
ml perhari dibandingkan dengan 800 ml air yang diabsorbsi oleh usus besar. Akan
tetapi kapasitas absorbsi usus besar sekitar 2000 ml perhari. Bila jumlah ini
dilampaui oleh pengiriman cairan yang berlebihan dari ileum akan mengakibatkan
diare.
Berat akhir faeces yang
dikeluargakan perhari sekitar 200 gr, 75 % diantaranya berupa air. Sisanya
terdiri dari residu makanan yang tidak diabsorbsi, bakteri, sel epitel yang
mengelupas dan mineral yang tidak diabsorpsi. Sangat sedikit pencernaan
berlangsung dalam usus besar. Sekresi usus besar mengandung banyak mukus,
menunjukkan sekresi alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus bekerja sebagai
pelumas dan pelindung mukosa pada peradangan usus. Didalam usus besar terdapat
pembusukan cukup banyak antara lain : peptida, asam amino, indol, skatol, fenol
dan asam lemak. Amino, CO2. H2, H2S, dan Ch4
merupakan gas – gas yang terpenting. Sebagian besar dari gas – gas dikeluarkan
dari faeces sedangkan yang lainnya diabsorbsi dan diangkut ke hati untuk
dirubah menjadi senyawa yang tidak toksik diekskresi dalam urine. Sekitar 1000
ml gas flatus dalam keadaan biasanya dikeluarkan melalui anus setiap hari.
Penyebab terjadinya hemoroid akibat
dari pelebaran vena fleksus hemoroidalis superior, medial dan inferior.
Hemoroid dikenal dalam masyarakat adalah ambeien yang merupakan penyakit
saluran pencernaan. Hemoroid dapat terjadi pada semua tingkat usia, baik pria
maupun wanita.
3.
Insiden
Kedua
jenis haemoroid ini sangat sering terjadi dan terdapat pada sekitar 35 %
penduduk yang berusia lebih dari 25 tahun. walaupun keadaan ini tidak mengancam
jiwa, tetapi dapat meyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman. (Barbara,
2000)
4.
Etiologi
Kondisi hemoroid biasanya
tidak berhubungan dengan kondisi
medis atau penyakit, namun ada beberapa
prisposisi penting yang
dapat meningkatkan risiko hemoroid
seperti berikut ini :
a.
Peradangan pada usus, seperti
pada kondisi colitis ulseratif atau penyakit Chron.
b.
Kehamilan, berhubungan dengan
banyak masalah anorektal.
c.
Konsumsi makanan rendah serat.
d.
Obesitas.
e.
Hipertensi portal. (Muttaqin,
2011 Hal. 690).
f.
Faktor – faktor yang mungkin
berperan antara lain :
1.)
Keturunan/herediter.
Dalam hal ini yang menurun adalah kelemahan dinding pembuluh darah
dan bukan hemoroidnya.
2.)
Anatomi
Vena di daerah mesenterium tidak mempunyai katup sehingga darah
mudah mengalir kembali, menyebabkan tekanan pada vena fleksus hemoroidalis.
3.)
Pekerjaan
Orang yang pekerjaannya banyak berdiri, gaya gravitasi akan
mempengaruhi timbulnya haemorhoid dan para pekerja yang pekerjaannya mengangkat
barang berat. Hal ini jelas pada orang yang sering mengedan.
5. Patofisiologi
Pada daerah rektum terdapat vena
hemoroidalis superior, medialis dan inferior. Vena hemoroidalis media dan
inferior mengalirkan darah ke vena iliaka yang merupakan bagian dari sirkulasi
sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, medialis dan
inferior. Tekanan yang cukup tinggi pada kavum abdominalis secara kronis
misalnya konstipasi atau diare, tumor rektum, sering mengedan, kongesti pelvis
pada kehamilan. Fibroma uteri dan penyakit hati kronis disertai hipertensi
portal, karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah kedalam sistem
portal tidak mempunyai katup, sehingga mudah terjadi aliran balik. Konstipasi
dapat memperburuk keadaan, dimana faeces yang keras dapat menggores vena
hemoroidalis yang membengkak, sehingga
apabila keadaan ini terus menerus bisa menimbulkan perlukaan dan perdarahan
secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar yang menyebabkan
prolapsus.
6. Manifestasi Klinik
Tanda utamanya biasanya adalah
perdarahan, darah
yang keluar berwarna merah segar, tidak bercampur dengan feses, dan jumlahnya
bervariasi, bila
hemoroid bertambah besar maka dapat terjadi prolaps pada awalnya biasanya dapat
tereduksi spontan pada tahap lanjut, pasien harus memasukkan sendiri setelah defekasi dan akhirnya
sampai pada suatu keadaan dimana tidak dapat dimasukkan kotoran di pakaian dalam
menjadi tanda hemoroid yang mengalami prolaps permanen.kulit di daerah perianal akan
mengalami iritasi.nyeri kan terjadi bila timbul thrombosis luas dengan edema dan
peradangan. (Mansjoer, 2000 Hal 322).
Fleksus hemoroidalis melebar ini
terletak dibawah mukosa rektum, tepat diatas lapisan muskularis muskulus dari
sfingterani eksternus tanpa adanya trombus atau infeksi. Pada pemeriksaan colok
dubur hemoroid interna tidak dapat diraba sebab tekanan vena didalamnya tidak
cukup tinggi dan biasanya tidak nyeri. Colok dubur diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum.
Penilaian dengan anaskop diperlukan
untuk melihat hemoroid interna tidak menonjol keluar. Dalam pemeriksaan anoskop
akan tampak benjolan – benjolan di bawah mukosa yang seringkali penuh
dilingkaran rektum dan anus.
Secara klinis hemoroid interna
diklasifikasikan atas 4 derajat untuk memudahkan terapi :
1.)
Derajat satu.
Tidak menonjol melalui anus dan hanya dapat ditemukan dengan
protoskopi, lesi biasanya terletak pada posterior kanan dan kiri dan anterior
kanan, mengikuti penyebaran cabang-cabang vena hemoridalis superior dan tampak
sebagai pembengkakan globular kemerahan.
2.)
Derajat dua.
Dapat mengalami prolapsus melalui anus saat defekasi haemoroid ini
dapat mengecil secara spontan atau dapat direduksi (dikembalikan ke dalam)
secara manual.
3.)
Derajat tiga.
Mengalami prolapsus secara permanen (keadaan dimana varises yang
keluar tidak dapat masuk kembali) dengan sendirinya tapi harus didorong. Dalam
hal ini mungkin saja varises keluar dan harus didorong kembali tanpa
perdarahan.
4.)
Derajat IV
Akan timbul keadaan akut, dimana varises yang keluar pada saat
defekasi tidak dapat didorong masuk kembali hal ini akan menimbulkan rasa
sakit. Biasanya ini terdapat trombus yang diikuti infeksi dan kadang-kadang
timbul peningkatan rektum.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa cara pemeriksaan yang dapat
membantu menentukan diagnosis pasti antara lain dengan inspeksi, pemeliharaan
digitalis, melihat langsung dengan :
a.
Anaskopi atau protoskopi.
Anastetik topikal dan tekanan pada sisi kontralateral akan nampak
benjolan – benjolan dibawah mukosa yang seringkali penuh melingkari seluruh
lingkaran rektum atau anus.
b.
Rektal toucher (colok dubur)
Colok dubur dapat dilakukan dengan menekan sisi diseberang fisura
setelah pemberian anastetik topikal. Bila tidak ada trombus atau infeksi tidak
teraba apa – apa karena berupa gelembung pada sub mukosa yang hilang bila
ditekan.
c.
Proktosigmoidoskopi
Untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang
atau proses keganasan tingkat tinggi karena hemoroid merupakan keadaan
fisiologik saja atau tanda yang menyertai.
8. Penatalaksanaan
Kebanyakan pasien dengan hemoroid
(Tingkat I dan II) dapat diobati dengan tindakan local dan anjuran diet.
Hilangkan factor penyeabab, misalnya obstipasi, dengan diet rendah sisa, banyak
makan makan makanan berserat seperti buah dan sayur, banyak minum, dan
mengurangi daging. Pasien dilarang makan makanan yng merangsang. (Mansjoer,
2000 Hal 324).
Therapi hemoroid interna yang
simptomatik harus ditetapkan secara perorangan. Hemoroid adalah normal dan oleh
karenanya tujuan terapi bukan untuk menghilangkan fleksus hemoroidalis tetapi
untuk menghilangkan keluhan.
a.
pasien hemoroid derajat I dan
II dapat ditolong dengan tindakan lokal yang sederhana disertai nasehat tentang
makan makanan sebaiknya makanan yang berserat tinggi.
b.
Supositoria dan salep anus
diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna kecuali efek anastetik dan
astrigen.
c.
Hemoroid interna yang mengalami
prolaps oleh karena edema umumnya dimasukkan kembali secara perlahan – lahan
disusul istirahat baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan.
d.
Rendam duduk dengan cairan
hangat juga dapat meringankan nyeri.
e.
Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang
misalnya 5 % fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke sub mukosa di
dalam jaringan areolar yang longgar dibawah hemoroid interna dengan tujuan
menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik dan meninggalkan
parut.
f.
Ligasi dengan gelang karet
Hemoroid yang besar atau mengalami prolapsus dapat ditangani dengan
ligasi gelang karet menurut Barron dengan bantuan anoskop, mukosa diatas
hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik dan dihisap dalam tabung khusus.
g.
Bedah beku
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan pendinginan pada suhu yang
rendah sekali atau bedah krio. Ini dapat dipaksi secara luas oleh karena mukosa
yang nekrotik sukar ditentukan luasnya.
h.
Hemoroidektomi
Therapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan yang
menahun dan pada penderita hemoroid derjat III dan IV. Therapi bedah juga dapat
dilakukan pada penderita dengan perdarahan berulang. Penderita grade IV yang
mengalami trombosit dan kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan
hemoroidektomi.
i.
Tindakan bedah lain
Dilatasi anus yang dilakukan dalam anastesi dimaksudkan untuk
memutuskan jeringan ikat yang diduga menyebabkan obstruksi jalan keluar anus
atau spasme yang merupakan faktor penting dalam pembentukan hemoroid. Metode
dilatasi lord ini kadang disertai dengan penyulit inkontinensia sehingga tidak
dianjurkan.
9. Komplikasi
Komplikasi penyakit ini adalah perdarahan hebat, abses, fistula para
anal, dan inkarserasi. Untuk hemoroid eksterna, pengbatannya selalu operatif.
Tergantung keadaan, dapat dilakukan eksisi atau insisi thrombus serta
penhgeluaran thrombus. Komplikasi jangka panjang adalah struktur ani eksisi
yang berlebihan. (Mansjoer, 2000 Hal 324).
B.
Konsep Dasar Keperawatan
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam
praktik keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai
suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, tehnik dan keterampilan
interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/ keluarga. Dimana
proses keperawatan terdiri dari lima tahap yang sequensial dan berhubungan:
pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (Nursalam,
2001 ; 1)
Asuhan Keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam
aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif perawatan kesehatan.
Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah mengidentifikasikan proses
pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling diinginkan dari seni
keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan
menggunakan metode ilmiah. (Doengoes,
2000)
Menurut Smeltzer 2001; Dalam
melakukan asuhan keperawatan terdapat beberapa langkah yang harus
ditempuh. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Pengkajian
a.
Riwayat kesehatan:
1)
Apakah ada rasa gatal, terbakar dan nyeri selama
defekasi?
2)
Adakah nyeri abdomen?
3)
Apakah terdapat perdarahan dari rektum?
4)
Berapa banyak, seberapa sering, apa warnanya?
5)
Adakah mucus atau pus?
6)
Bagaimana pola eliminasi klien?
7)
Apakah sering menggunakan laksatif?
b.
Riwayat diet:
1)
Bagaimana pola makan klien?
2)
Apakah klien mengkonsumsi makanan yang mengandung
serat?
c.
Riwayat pekerjaan:
Apakah klien melakukan pekerjaan yang memerlukan duduk atau berdiri dalam
waktu lama?
d.
Aktivitas dan latihan:
Seberapa jumlah latihan dan tingkat aktivitas?
e.
Pengkajian obyektif:
Menginspeksi feses apakah terdapat darah atau mucus dan area
perianal akan adanya hemoroid, fisura, iritasi, atau pus. (Smeltzer
dan Bare. 2001: Hal 1139).
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Konstipasi berhubungan dengan
mengabaikan dorongan untuk defekasi akibat nyeri selama eliminasi.
b.
Ansietas berhubungan dengan rencana
pembedahan dan rasa malu.
c.
Nyeri berhubungan dengan iritasi,
tekanan, dan sensitivitas pada area rectal / anal sekunder akibat
penyakit anorektal dan spasme sfingter pada pascaoperatif.
d.
Perubahan eliminasi urinarius berhubungan dengan rasa
takut nyeri pada pascaoperatif.
e.
Risiko
ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik.
3.
Intervensi
a.
Konstipasi berhubungan dengan
mengabaikan dorongan untuk defekasi akibat nyeri selama eliminasi.
Kriteria hasil : Menghilangkan konstipasi.
Intervensi :
1)
Masukan cairan sedikitnya 2
liter sehari dianjurkan untuk memberikan hidrasi adekuat.
2)
Makanan tinggi serat dianjurkan
untuk meningkatkan bulk dalam feses dan membuatnya lebih mudah dikeluarkan.
3)
Laksatif bulk seperti Metamucil
dan pelunak feses diberikan sesuai resep.
4)
Pasien dianjurkan untuk miring
guna merangsang usus dan merangsang keinginan defekasi sebisa mungkin.
5)
Menganjurkan pasien untuk
relaksasi sebelum defekasi akan membantu merilekskan otot-otot perineal abdomen
yang kemungkinan berkonstriksi atau mengalami spasme.
6)
Berikan analgesik sebelum
pergerakan usus benar-benar terjadi.
b.
Ansietas berhubungan dengan rencana
pembedahan dan rasa malu.
Kriteria hasil : Menurunkan ansietas.
1)
Pasien yang menghadapi
pembedahan rektal dapat merasa kacau dan peka akibat ketidaknyamanan, nyeri,
dan malu.
2)
Kebutuhan psikososial khusus
dan rencana asuhan yang bersifat individu diidentifikasi.
3)
Privasi diberikan dengan
membatasi pengunjung bila pasien menginginkannya.
4)
Privasi pasien dipertahankan
pada saat memberikan perawatan.
5)
Balutan kotor dibuang dari
ruangan dengan segera untuk mencegah bau tidak enak.
6)
Pengharum ruangan dapat
diberikan bila balutan berbau menyengat.
c.
Nyeri berhubungan dengan
iritasi, tekanan, dan sensitivitas pada area rektal/anal sekunder akibat
penyakit anorektal dan spasme sfingter pada pascaoperatif.
Kriteria hasil :Menghilangkan nyeri.
Selama 24 jam pertama setelah pembedahan rektal, dapat
terjadi spasme yang menimbulkan nyeri pada sfingter dan otot perineal.
Intervensi :
1)
Kontrol terhadap nyeri adalah
pertimbangan utama.
2)
Pasien didorong untuk memilih
posisi nyaman.
3)
Bantalan flotasi dibawah bokong
pada saat duduk akan membantu menurunkan nyeri, demikian juga dengan pemberian
es dan salep analgesik.
4)
Kompres hangat dapat
meningkatkan sirkulasi dan meringankan jaringan teriritasi.
5)
Rendam duduk, tiga atau empat
kali sehari, akan menghilangkan rasa sakit dan nyeri dengan merelakskan spasme
sfingter.
6)
24 jam setelah pembedahan,
agens anestetik topikal dapat membantu dalam menghilangkan iritasi lokal dan
rasa sakit. Obat-obatan dapat mencakup supositoria yang mengandung anestetik.
Astringen, antiseptik, tranquilizer, dan antiemetik. Pasien akan lebih patuh
dan bebas dari rasa takut bila nyeri dapat diatasi.
7)
Balutan basah yang jenuh oleh
air dingin dan witch hazel dapat membantu menghilangkan edema. Apabila kompres
basah digunakan secara kontinu, petroleum harus diberikan disekitar area anal
untuk mencegah maserasi kulit.
8)
Pasien diinstruksikan untuk
melakukan posisi telungkup dengan
interval tertentu, karena posisi ini meningkatkan
drainase dependen cairan edema.
d.
Perubahan eliminasi urinarius berhubungan dengan rasa
takut nyeri pada pascaoperatif.
Kriteria hasil : Meningkatkan eliminasi urinarius.
Berkemih dapat menjadi masalah pada periode
pascaoperatif, akibat spasme refleks sfingter pada jalan keluar kandung kemih
dan sejumlah tertentu otot pelindung dari rasa takut dan nyeri.
1)
Semua metode untuk mendorong
berkemih spontan (meningkatkan masukan cairan, mendengar aliran air, meneteskan
air di atas meatus urinarius) harus dicoba sebelum memasukkan kateter.
2)
Setelah pembedahan rektal,
haluaran urin harus dipantau dengan cermat.
e.
Risiko
ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik.
Pemantauan dan penatalaksanaan
komplikasi
Intervensi :
1)
Sisi operasi harus diperiksa dengan
sering terhadap munculnya perdarahan rektal.
2)
Kaji indikator sitemik perdarahan
berlebihan (takikardia, hipotensi, gelisah, haus).
3)
Setelah hemoroidektomi, dapat terjadi
hemoragi dari vena yang dipotong, bukti perdarahan harus tampak pada balutan
4.
Implementasi
Tindakan keperawatan (implementasi)
adalah preskripsi untuk mengetahui perilaku positif yang diharapkan dari klien
atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang
direncanakan (Doenges et al, 2000).
Menurut Smeltzer;
2001, Tujuan utama tindakan keperawatan dengan hemoroid mencakup : mendapatkan
pola eliminasi yang adekuat, penurunan ansietas, penghilangan nyeri,
peningkatan eliminasi urinarius, patuh dengan program terapeutik,
5.
Evaluasi
Hasil yang diharapkan:
a.
Mendapatkan pola eliminasi
normal.
1)
Menyusun waktu untuk defekasi,
biasanya setelah makan atau pada waktu tidur.
2)
Berespons terhadap dorongan
untuk defekasi dan menyediakan waktu untuk duduk di toilet dan mencoba untuk
defekasi.
3)
Menggunakan latihan relaksasi
sesuai kebutuhan.
4)
Menambahkan makanan tinggi
serat pada diet.
5)
Meningkatkan masukan cairan
sampai 2 liter/24 jam.
6)
Melaporkan pasase feses lunak
dan berbentuk.
7)
Melaporkan penurunan
ketidaknyamanan pada abdomen.
b.
Ansietas berkurang.
c.
Nyeri teratasi atau berkurang.
1)
Mengubah posisi tubuh dan
aktivitas untuk meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan.
2)
Menerapkan kompres
hangat/dingin pada area rektal/anal.
3)
Melakukan rendam duduk empat
kali sehari.
d.
Mentaati program terapeutik.
1)
Mempertahankan area perianal
kering.
2)
Makan makanan pembentuk bulk.
3)
Mengalami feses lunak dan
berbentuk secara teratur.
e.
Bebas dari masalah perdarahan.
1)
Insisi bersih.
2)
Menunjukkan tanda vital normal.
3)
Menunjukkan tidak ada tanda
hemoragi.
No comments:
Post a Comment