Tuesday 19 December 2017

MAKALAH HADITS

H A D I T S


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJkpOsIP5ufXCxMdRf86wlzk1JxhyilAtgoPAWZCPgfRfOR47RNfdstHUgHpiifEK7e5REo432yyAZBXUf2SIkjDPF-RgkvbXeQJ201AGCrlb97nXy2nzDp23KCFeubvLlEVHM5OhDS-8/s1600/LOGO+STIH.jpg


Oleh :
Kelompok 2
Ruangan A

v  Andi Risma                              01 16 008
v  Nalini                                        01 16 009
v  Alim Febrianto                        01 16 020
v  Iftita Tri Bintari                      01 16 087









SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
(STIH) BONE
2017/2018


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat  Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “HADITS” dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh dari kata kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan kepada Rasulullah S.A.W.
Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang terbaik. Tetapi kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami yang akan datang.           
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat dan masukan.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.


Watampone, 02 November 2017

    Penyusun
                                                                                           










DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               2
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               2
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Definisi Hadits.....................................................................               3
B.       Tujuan Hadits.......................................................................               4
C.       Cakupan Ilmu Hadits...........................................................               5
D.       Kaidah-kaidah Keshahihan Hadits......................................               8
E.        Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam........................               17
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               20
B.       Saran.....................................................................................               20
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya. Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis. Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Al-Qur’an.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apakah Hadits itu?
2.    Apa sajakah Tujuan Hadits?
3.    Apa cakupan dalam ilmu hadits?
5.    Bagaimana Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui definisi hadits.
2.    Memahami tujuan hadits.
3.    Mengatahui cakupan ilmu hadits.
4.    Mengetahui kaidah-kaidah keshahihan hadits.
5.    Memahami kedudukan hadits terhadap hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Hadits
Kata hadits berasal dari  kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan.Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadits selama ini. Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Bisa diartikan pula sebagai al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).
Ilmu hadis : ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan, atau perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw,  perbuatan itu tidak dilarang olehnya) atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in.
Kata “Hadits” berasal dari bahasa Arab yakni al-hadits, jamaknya al-haadits, al-hidsan, dan al-hudson. Dan dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama), (2) al-khabar (kabar atau berita). (Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana, 2010 ; 23)
Secara terminologis, ahli Hadits dan ahli Ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang Hadits. Di kalangan ahli hadits sendiri ada beberapa definisi yang antara satu dengan lainnya agak berbeda, diantaranya :
كل مااثرعن النبي ص م من قول وفعل تقرير وصفة
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataa, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya”. (Sohari Sahrani, Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010;1)
Kata “ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa Arab, “ilmu al-hadits”, yang terdiri atas dua kata, yaitu “ilmu” dan “hadits”. Jika mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya, maka segala ilmu yang membicarakan masalah hadits pada berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu hadits. (Sohari Sahrani, Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010;71)
Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama :
1.    Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan , perbuatan , ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun sesudahnya”. Karena para muhadditsun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga segala yang berasal dari beliau baik ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.
2.    Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)
Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an, berupa perkataan perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah karena bersangkut-paut dengan hukum islam. Ushuliyyun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada dalam Al-Qur’an) yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan menjelaskan kepada umat islam tentang aturan hidup.
3.    Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)
Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail, mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan , perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.

B.  Tujuan Hadits
Tujuan mempelajari ilmu hadits adalah untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih, yakni mengetahui keadaan dari suatu hadits, apakah hadits tersebut shahih, hasan, atau bahkan dhaif (lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pegangan).
Sedangkan secara rinci, tujuan mempelajari ilmu hadits antara lain:
1.    Mengetahui istilah-istilah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring (filterisasi) dan mengklarifikasikan ke dalam beberapa macam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadits yang diterima dan mana yang bukan hadits
2.    Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring (filterisasi) dan mengklarifikasikan ke dalam beberapa macam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadits, sehingga dapat menyimpulkan mana hadits yang diterima dan mana yang ditolak.
3.    Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama dalam menerima dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan mengodifikasikannya ke dalam berbagai kitab hadits.
4.    Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits baik riwayah ataupun dirayah yang mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai sumber syari’ah islamiyah sehingga hadits terpelihara dari pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab.

C.  Cakupan Ilmu Hadits
1.    Ilmu Hadits Riwayah
a.    Pengertian
Kata riwayah, artinya periwayatan atau cerita, maka ilmu hadits riwayah, artinya ilmu hadits berupa periwayatan. (Sohari Sahrani, Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010;72). Banyak definisi ilmu hadits yang dikemukakan para ulama. Dan yang paling terkenal di antaranya adalah definisi Ibnu al-Akhfani yang mengatakan bahwa ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafal-lafalnya. (Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012;18).
Definisi di atas mengacu kepada rumusan hadits secara luas, sedangkan definisi yang mengacu kepada rumusan hadits yang terbatas atau sempit, maka definisinya ialah ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW semata.
b.    Objek dan Kegunaannya
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan atau mentadwinkan. Dalam meriwayatkan hadits atau mentadwinkan hadits hanya disebutkan apa adanya baik yang berkaitan dengan sanad maupun matan.  Kegunaan ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan hadits yang tidak berasal dari sumbernya (Nabi Muhammad SAW).
2.    Ilmu Hadits Dirayah
a.    Pengertian
Ilmu hadits dirayah ialah kumpulan dari kaidah-kaidah dan masalah-masalah yang di dalamnya dapat diketahui keadaan riwayat dan menyalin hadits sekaligus dengan sanadnya, baik dia seorang laki-laki ataupun perempuan dan yang diriwayatkan disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada selainnya baik terhadap sahabat ataupun tabi’in dan yang lain. (M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras, 2010; 4)
Nuruddin ‘Itr mengungkapkan bahwa definisi yang paling baik untuk ilmu ini adalah definisi menurut Imam ‘Izuddin bin Jama;ah berikut:
علم بقوانين يعرف بها احوال السند والمتن
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.
Adapun pengertian ilmu hadits dirayah menurut Ibnu al-Akhfani adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya. Dan untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya. (Munzir Supatra, Ilmu Hadits, Jakarta: Amzah, 2003; 26)
b.    Objek dan Kegunaannya
Objek kajian ilmu hadits dirayah adalah keadaan para periwayat atau rawi dan hadits-hadits yang mereka riwayatkan atau marwi. Keadaan para periwayat menyangkut pribadi seperti akhlak, tabiat, keadaan hafalannya atau menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Sedangkan keadaan hadits-hadits yang diriwayatkan dari segi kesahihan, kedhaifan, dan dari segi lain-lainya yang berkaitan dengan keadaan matan. (Muhammad ‘Ajjal al-Khatib, Ushul al Hadist Ulumul Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989;7).
Kegunaan mempelajari ilmu hadits dirayah cukup banyak antara lain: (Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010; 57)
1)        Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak zaman Nabi SAW hingga sekarang. Hadits dan ilmu hadits telah mengalami sejarah perkembangan yang cukup signifikan sejak masa awal Islam hingga masa sekarang.
2)        Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits.
3)        Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4)        Dapat melakukan penelitian hadits dan melakukan penilaian terhadap kualitas hadits tertentu.
5)        Dapat melakukan klarifikasi dan kritik ulang terhadap suatu hadits yang kualitasnya masih diperselisihkan. Tidak sedikit hadits yang dalam rentang waktu cukup lama diperselisihkan kualitasnya di kalangan para ulama, dan memerlukan klarifikasi serta kritik ulang sehingga diketahui status hadits yang sesungguhnya



Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah Kesahihan Hadis, perlu dijelaskan arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis, kata “kaidah” berasal dari bahasa arab قاعدة yang artinya alas bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah juga diartikan sebagai norm (norma), rule (aturan), atau principle (prinsip). Lebih tegasnya lagi bahwa pengertian Kaidah Kesahihan Hadis adalah segala syarat, kriteria, atau unsur yang harus terpenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas sahih. Kaidah kesahihan hadis meliputi sanad dan matan hadis. Untuk menjelaskan rentetan kemunculan kaidah kesahihan hadis sampai terangkum dan menjadi sebuah teori yang disepakati ulama saat ini.
1.    Kaidah Keshahihan Sanad
a.    Pengertian Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu “yang di perpegangi (yang kuat) yang bias di jadikan pegangan”. Atau dapat juga di artikan: “ sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah”. Sedangkan secara terminologi, sanad berarti:  sanad adalah jalannya matan yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Al-Tahanawi megemukakan definisi yang hampir senada; Dan sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan Hadis, yaitu nama-nama para perawi secara berurutan.
b.    Kaidah Kesahihan Sanad
1)        Kaidah Mayor
Pada awalnya ulama hadis sampai abad ke-3 masih belum jelas memaparkan hadis sahih dengan defenisi, hanya Imam Al-Syafi’I yang menjelaskan bahwa hadis yang dapat di jadikan hujjah (dalil), hadis ahad tidak akan di terima menjadi hujjah terkecuali memenuhi dua syarat. Pertama, hadis tersebut di riwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil dan dhabit) kedua, rangkaian sanad-nya bersambung dengan Nabi Muhammaad Saw, atau dapat juga tidak sampai.
Penelitian sanad yang dilakukan ulama terdahulu dengan berbagai kaedah bertujuan untuk mengetahui kualitas suatu hadis apakah hadis tersebut diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat-syatrat tertentu, yang dalam hal ini adalah syarat-syarat yang diterima (maqbul) nya suatu hadis, maka hadis tersebut tidak dapat digunakan sebagai hujah.
Pemenuhan syarat itu diperlukan, karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan dilakukannya penelitian sanad, maka akan dapat diketahui apa yang dinyatakan sebagai Hadis Nabi itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan ke-sahih-annya berasal dari beliau ataukah tidak
Adapun Indikasi Mayor atau tanda-tanda yang paling utama bahwa sanad dari hadis tersebut di ketahui sahih atau (maqbul) adalah sebagai berikut:
       Sanad bersambung
       Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil
       Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dabit
       Sanad hadis itu terhindar dari syuzzuz
       Sanad hadis terhindar dari ‘illat
2)        Kaidah Minor
Indikasi minor adalah lawan dari indikasi mayor yang telah pemakalah sebutkan di atas, bararti indikasi minor adalah tanda-tanda secara garis kecil, atau bisa juga dikatakan sebagai penjelasan indikasi minor tersebut, sehingga akan lebih jelas apa yang di maksud dengan bersambung sanad-nya, bagaimana seharusnya sifat atau tingkah laku rawi supaya bisa dikatagorikan rawi yang adil, bagimana ukuran kekuatan intelelaktual pe-rawi atau ke-dhabit-annya sehingga hadis yang diriwayatkanya biasa dikatagorikan dengan hadis yang sahih dan bukan hadis hasan, dan bagaimana yang di maksudkan bahwa sanad hadis tersebut terhindar dari syadz dan illat.
Maka untuk menjelaskan itu kita tidak terlepas dari standar ke-sahih-an sanad yang telah di tetapkan di atas walaupun hanya secara garis besar, syarat-syarat di atas telah disepakati para ulama hadis walaupun redaksi berbeda, adapun indikasi minornya sebagai berikut:
       Aspek kebersambungan sanad
Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat mengenai konsep kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut, misalnya dapat di majukan dengan konsep yang di gulirkan oleh al-Bukhori. Ia berpendapat bahwa sanad di anggap  bersambung apabila memenuhi kriteria berikut:
       Al-liqa’
Yakni adanya interaksi atau pertemuan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, dengan adanya suatu interaksi langsung antara murid dengan gurunya, artinya mendengaratau menyimak langsung suatu hadis dari gurunya
       Al-mu’asharah
Yakni bahwa sanad di anggap bersambung apabila kehidupan guru dan muridnya terjadi dalam waktu atau kurun yang sama. Muslim juga berpendapat dengan hal yang demikian, hanya saja perbedaan antara al-Bukhori dengan Muslim hanya pada titik pertemuan langsung antara guru dengan muridnya, al-Bukhori menetapkan harus adanya pertemuan antara guru dengan murid walaupun hanya sekali saja. Sedangkan Bagi muslim sebuah sanad di katakan telah bersambung apabila antara satu dengan perawi berikutnya  memungkinankan mereka bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara letak giografis mereka tinggal memungkinkan mereka bertemu jika di bandingkan  kondisi saat itu. Dengan demikian, berarti Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad itu pada aspek al-mu’asharah semata.
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagai mana di atas, dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari  yang layak menduduki peringkat pertama. Dengan mengacu  kepada kebersambungan sanad  yang demikian inilah posisi al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari  sebagai hadis kitab pertama.
Dalam periwayatan hadis terdapat dua kegiatan yakni kegiatan menerima hadis dan kegiatan menyampaikan hadis, dalam kegiatan menerima hadis menurut al-Qadhi `Iyadh dan Ibn al-Shalah keduanya berpendapat bahwa seseorang dapat dipandang layak menerima hadis setelah umurnya mencapai lima tahun
Akan tetapi Umi Sumbulah lebih memperluas bahwa seorang yang dapat menerima hadis tidak hanya mengacu kepada batas bawah umurnya, namun juga mengacu keakuratan kesetiaan hafalannya, artinya walaupun seseorang itu sudah memenuhi kriteria umur yakni umur lima tahun belum sepenuhnya dapat diterima tanpa memperhatikan keakuratan dan kesetiaan hafalannya. Disamping menyangkut aspek biologis (umur) ternyata para ulama juga tidak mensyaratkan bahwa seseorang layak menerima hadis harus beragama Islam, akan tatapi ketika mentransformasikan hadis tersebut atau mu’addi dia harus berstatus sebagai muslim.
Argumentasi yang di formulasikan para ulama di atas terkesan mempermudah periwayatan hadis akan tetepi semua yang mereka lakukan dengan penuh pertimbangan antara lain:
Para ulama mempertimbangkan adanya kekhawatiran akan hilang dan tidak terkumpulkan sejumlah hadis Rasulullah, karena hadis itu tidak semua di dengar oleh sahabat yang memeluk agama islam atau mereka yang telah mencapai usia baligh.
Meskipun transformasi hadis tidak mensyaratkan harus baligh dan muslim, akan tetapi ketika proses al-ada  kedua syarat tersebut harus terpenuhi sehingga kekhawatiran manipulasi dan kesalahan periwayatan akan di tepis dengan persyaratan baligh dan muslim.
       Periwayat bersifat adil
Istilah `adalah (adil) secara etiomologi adalah pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. Dan adapun secara terminologi ulama hadis mempunyai rumusan yang berbeda-beda di antaranya adalah rumusan al-Hakim dan al-Naisaburi bahwa perawi yang adil itu adalah perawi yang tidak berbuat bid’ah dan maksiyat yang menghancurkan moralitasnya. Berbeda dengan Ibn Shalah yang menambahkan pendapat di atas, yakni muslim, baligh, berakal, dan tidak berbuat fasiq. M. Syakir menambahkan satu unsur lagi yaitu dapat dipercaya.
2.    Kaidah Kesahihan Matan
a.    Pengertian Matan
Matan dalam bahasa arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminoligi berarti: Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) Sanad, yaitu berupa perkataan. Atau dapat di artikan sebagai: Yaitu lafadz Hadis yang memuat berbagai pengertian. Dalam hal ini, kaidah kesahihan matan hadis dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti tingkat kesahihan matan hadis.
Matan hadis bermuatan konsep ajaran Islam mengambil beragam bentuk, antara lain:
1)        Sabda penuturan Nabi (hadist qouly) termasuk kejadian yang mengulas kejadian atau peristiwa sebelum nubuwwah, penghikayatan tokoh Rasul / Nabi maupun Syariat yang diberlakukan (Syar’u man qoblana)
2)        Surat-surat yang dibuat atas printah Nabi dan selanjutnya dikirim ke petugas di daerah atau kepada pihak-pihak di luar islam, termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan nabi.
3)        Firman Allah SWT selain Al qur’an yang disampaikan kepada umat dengan bahasa tutur nabi (hadist Qudsi).
4)        Pemberitaan yang berkait erat dengan al Qur’an, seperti interpretasi Nabi atas ayat-ayat tertentu, (tafsir nabawy) dan asbab nuzul.
5)        Perbuatan atau tindakan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan oleh sahabat (hadist fi’ly/ amaly)
6)        Sifat dan Hal ihwal pribadi nabi (Hadist Khalqy)
7)        Perilaku dan kebiasaan Nabi dalam tata kehidupan sehari-hari (hadis khuluqiy) serta pengalaman dalam dinamika perjalanan kepemimpinan atau kemanusiaan Nabi (Sirah Nabawiyah)
8)        Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok sekalipuntidak terlaksanakan (hadist hammy).
9)        Perbuatan atau sikap terbuka sahabat dimana Nabi mengetahuinya dan Nabi bersikap membiarkan tanpa menegur dan melarangnya (hadist taqriry)
10)    Riwayat Hidup Sahabat karena ada data hubungan khusus dengan Nabi (Hadist manaqiby)
11)    Prediksi keadaan yang kelak terjadi, seperti hadist tentang prediksi fitnah dan gejala datangnya hari kiamat
12)    Kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran Islam dan pelestarian sunnah nabawiyyah..misalnya suksesi kepemimpinan khulafaur rasyidin, proses pembukuan mushaf Al qur’an dan proses kodifikasi hadis.
b.    Kaidah Kesahihan Matan
1)        Kaidah Mayor
Untuk mengetahui Kaidah mayor dan Kaidah minor ke-sahih-an matan hadis, para ulama telah melakukan penelitian dan kritik secara seksama terhadap matan-matan hadis. Sehingga dengan penelitian tersebut dapat menjadi tolak ukur bagi sebuah matan hadis. Namun kriteria ke-sahih-an matan hadis berbeda dalam kalangan muhadditsin, akan tetapi perbedaan itu muncul dengan berbagai alasan dan pertimbangan masing-masing muhadditsin. Perbedaan itu muncul di sebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta perbedaan masyarakat yang di hadapinya.
Walaupun para ulama tidak mengungkapkan secara eksplisit bagaimana sebenarnya penerapan secara praktis kritik matan, namun mereka memiliki beberapa garis batas yang diperpegangi sebagai tolak ukur dan standarisasi. Adapun Kaidah mayor ke-sahih-an matan hadis sebagai mana yang telah di rumuskan oleh ulama hadis adalah sebagai berikut:
       Terhindar dari Syadz
       Terhindar dari Illat.
Syadz yang ada pada sanad berbeda dengan syadz  yang ada pada matan. Allabi menyatakan bahwa sebuah matan hadis di katakan sahih antara lain:
(1)     Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an Karim yang telah muhkam.
(2)     Tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah yang memeiliki bobot akurasi yang tinggi.
(3)     Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
(4)     Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu.
(5)     Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
(6)     Tidak bertentangan dengan akal sehat.

2)        Kaidah Minor
Dari beberapa indikasi mayor yang telah di sebutkan diatas, masih dapat di interpretasikan maupun penjelasan secara spesifik atau yang disebut dengan indikasi minor adalah:
a)    Terhindar dari syadz
Syadz di samping terdapat pada sanad juga terdapat pada matan, adapun kerancuan dan syadz pada matan adalah adanya pertentangan dan ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan perawi yang lebih kuat hafalannya dan ingatannya. Adapun pertentangannya adalah dalam menukil matan hadis, sehingga terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan bentuk dan kelemahan dan cacat lainnya.
Berikut ini penjelasan tentang kerancuan dan syadz  dalam matan dan di sertai dengan hadis sebagai contoh:
(1)     Sisipan teks hadis (al-idraj fi al-matn)
Al-idraj fi al-matn (mudraj matn) adalah perkataan sebagian perawi dari kalangan atau masa  sahabat atau penerus sesudahnya, yang mana qaul atau ucapan tersebut kemudian bersambung dengan matan hadis yang asli. Dimana ucapan atau qaul itu bisa bersambung di awal, ditengah dan di akhir.
(2)     Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn)
Maqlub (fi al-matn) adalah terjadinya pembalikan teks sebuah hadis, hadis ini dapat di fahami secara definitif sebagai hadis yang perawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain, dalam sebuah matan hadis secara sengaja maupun terlupa.
(3)     Memiliki kualitas sama dan tidak bisa di unggulkan  salah satunya (idhtirab fi al-matn)
Mudhtarib hadis adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi atau lebih dengan beberapa teks yang sama kualitasnya, sehingga di antaranya tidak dapat di unggulkan dan di kompromikan, walaupun hali ini jarang terjadi  pada matan dan sering terjadi pada sanad,
(4)     Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi al-matn)
Adapun yang dimaksu dengan tashhif adalah kesalahan yang terletak pada syakal atau baris. Sedangkan yang dimaksud dengan tahrif adalah kesalahan yang terletak pada huruf. Walaupun keduanya tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
b)   Terhindar dari Illat
Illat sama halnya dengan syadz artinya keduanya terjadi pada sanad dan juga pada matan. Adapun yang di maksud illat yang terjadi pada matan adalah adanya sesuatu yang tersembunyi  yang terdapat pada matan  yang secara lahir tampak berkualitas sahih, yang tersembunyi di sini adalah kalimat yang merupakan teks hadis lain pada hadis tertentu, yang mana kalimat atau redaksi tersebut bukanlah teks yang di ucapkan oleh rasulullah, dan matan hadis tersebut sering menyalahi dari hadis-hadis yang lebih kuat bobot akurasinya.
Untuk mengungkap dan mengetahui illat  pada matan ada beberapa kriteria dan beberapa cara yang telah di formulasikan oleh al-Salafi yang di kutip umi sumbulah antara lain:
(1)     Mengumpulakan hadis yang semakna dan mengkomparasi-kan sanad dan matannya sehingga diketahui illat yang terdapat didalamnya. Dan sejalan dengan pendapat Abdullah ibn al-Mubarak  ia berpendapat jika engkau berkehendak untuk mengetahui kesahihan hadis yang ada padamu, maka perbandingkan dengan yang lain.
(2)     Jika seorang perawi bertentangan dengan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih thqah darinya, maka riwayat perawi tersebut di nilai ma’lul, artinya, matan hadis tersebut
tidak sahih dan terkena illat.
(3)     Jika hadis yang diriwayatkan seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat dalam tulisannya (kitabnya), atau bahkan hadis yang di riwayatkannya itu terynyata tidak terdapat dalam kitabnya, maka dengan pertentangan tersebut yang menjadikan matan hadis menjadi ma’lul dan tidak sahih lagi
(4)     Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa ia tidak pernah menerima hadis yang telah diriwayatkannya itu, artinya hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak sampai kepadanya
(5)     Seorang perawi tidak mendengar hadis langsung dari gurunya
(6)     Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang (kaum), namun kemudian dating seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mareka kenal itu, maka hadis yang mereka kemukakan itu di anggap memiliki cacat
(7)     Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah

E.  Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam
Banyak ayat Al-Qur’an  dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
1.    Dalil Al-Qur’an
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya[255]. karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar. (Qs. Ali Imran:179)
Dalam ayat lain Allah SWT, juga berfirman:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Qs. AnNisa’:136)
Dalam Qs. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang pada Qs. An-Nisa’, Allah menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
2.    Dalil Al-Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك)
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Dalam hadis lain Rasul bersabda:
...فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الرراشدين المهديين تمسكوا بها وعضوا عليها...(رواه ابو داود و ابن ماجه)
Artinya: Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.
3.    Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai berikut:
a.    Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
b.    Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
4.    Sesuai Dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. (Qardhawi, Yusuf. 1993;17-21)
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Hadits adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-qur’an, namun untuk menjadikannya sebagai sumber, atau dasar pengamalan, perlu di klarifikasi terlebih dahulu mana hadis yang bisa kita amalkan dan mana yang tidak bisa kita jadikan sebagai hujjah.
2.    Tujuan mempelajari ilmu hadits adalah untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih, yakni mengetahui keadaan dari suatu hadits, apakah hadits tersebut shahih, hasan, atau bahkan dhaif (lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pegangan).
3.    Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu hadits pada garis besarnya meliputi ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW semata. Sedangkan ilmu hadits dirayah adalah keadaan para periwayat (rawi) dan hadits-hadits yang mereka riwayatkan.
4.    Hadits yang dapat kita perpegangi, yang menjadi dasar pengamalan, atau sumber dan hujjah yang memang di terima adalah hadis sahih. Mengukur kesahihan hadis hanya terletek pada dua aspek yang pertama, aspek sanad dan yang kedua aspek matan. Kaidah Kesahihan Sanad terbagi atas Kaidah Mayor dan Kaidah Minor, begitupula dengan Kaidah Kesahihan Matan yang juga terdiri atas Mayor dan Minor.

B.  Saran
Makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA


Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana

Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakrya

Qardhawi, Yusuf. 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Karisma: Bandung

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

Smeer, Zeid B.,2008, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang:UIN-       Malang Press

Supatra, Munzir. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: Amzah

Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras

Umi Sumbulah. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis.Malang: UIN Press


No comments:

Post a Comment