|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak bisa
hidup tanpa bantuan orang lain, disinilah manusia sebagai makhluk social.
ratusan tahun sistem ekonomi didunia didominasi oleh sitem bunga hampir setiap
perjanjian menggunakan sitem bunga. Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak
di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk
berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya,
produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga
dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan
sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh
imbalan atas jasa dan atau bagi hasil.
|
Sangat banyak lembaga keuangan
syariah dalam mengatur keuangan masyarakat, yang salah satunya adalah
Pengadaian Syariah. Yang tidak semata-mata juga turut serta dalam membantu
kegitan ekonomi umat. Pegadaian syariah juga dapat membantu masalah ekonomi
dinegara indonesia. dengan sistem pegadaian syariah secara cepat dan berjangka
pendek. Dan pegadaian syariah juga memberikan keamanan bagi semua penabung dan
pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah
peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang yang menjadi jaminan.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya
menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam
mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk
konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode
Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan
metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahim, penggadaian akan
mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang
disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai
syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai
menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi
pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara
penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan
penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Pada saat ini gadai adalah hal
yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya masih banyak orang
yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan hidup yang semakin
keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dan barang dengan cepat
meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu kita akan menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai dan
pemanfaatan barang gadai.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari Pegadaian Syariah ?
2.
Bagaimana sejarah Pegadaian
Syariah ?
3.
Apa dasar hukum
Pegadaian Syariah ?
4.
Bagaimana rukun dan syarat Pegadaian Syariah?
5.
Apa saja tujuan, manfaat dan resiko Pegadaian Syariah?
6.
Bagaimana praktek
operasional Pegadaian Syariah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mahasiswa dapat memahami Pegadaian Syariah.
2.
Mahasiswa dapat memahami sejarah Pegadaian Syariah.
3.
Mahasiswa memahami
dasar hukum yang melandasi Pegadaian Syariah.
4.
Mahasiswa dapat memahami rukun dan syarat Pegadaian Syariah.
5.
Mahasiswa dapat memahami tujuan, manfaat dan Resiko Pegadaian.
6.
Mahasiswa dapat memahami bagaimana operasional praktek Pegadaian Syariah.
|
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan : “Gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya,
dan yang membiarkan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil
perlunasan dari barang tersebut serta didahulukan daripada orang yang
berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melarang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.[1]
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu
perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.
Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”, berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn
bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
|
Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukuk Ekonomi Syariah Pasal 20
mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Pengusaan barang milik peminjam
oleh pemberi
pinjaman sebagai jaminan.”
Dalam jurnal Ahmad Supriyadi
mengatakan bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara satu orang atau
lebih dengan seorang atau lebih dengan kata seepakat untuk mengikatkan dirinya
bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan
oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta
asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu
sebesar nilai taksir.[2]
Pengertian gadai yang ada dalam
syariah agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif,
sebab pengertian gadai dalam hukum positif seperti yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seseorang lain atas dirinya,
dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang
lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatannya
setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150
KUH Perdata).[3]
Pengertian rahn yang
merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai
persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa
mengambil sebagian manfaat barang itu. Firman Allah dalam surat
Al-Muddastsir ayat 34 yang berbunyi :
‘@ä. ¤§øÿtR $yJÎ ôMt6|¡x. îpoY‹Ïdu‘ ÇÌÑÈ
Artinya : “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
Jika
memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi
dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang
adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan
uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu
kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh
muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan
imbalan.[4]
B.
Sejarah Pegadaian Syariah
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan
Belanda, yaitu sekitar abad 19-an, oleh sebuah bank yang bernama Van Lening.
Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang
bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian.
Pada awal 20-an, pemerintah Hindia Belanda berusaha mengambil alih usaha
pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan Staatsblad No.131
tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik
pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas
Selanjutnya, pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli
atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali
bentuk badan hukum sehingga akhirnnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum.
Sewaktu pada tahun f1960 Dinas Pegadaian berubah
menjadi Perusaan Negara (PN) Pegadaian, pada tahun 1969 Perusahaan Negara
Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, dan pada
tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum). Pegadaian melalui peraturan
pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih
berbentuk Perusahaan Jawatan. Misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya
acuan yang digunakan oleh manajemen dalam mengelola pegadaian.[6]
Pada saat ini pegadaian syariah belum terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide
pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealism, juga dikarenakan
keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya
Bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian
oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga
sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah (rahn) lebih
dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank
menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan
pembiayaan.
Namun trend dari perkembangna rahn sebagai produk
perbankan syariah belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan
komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas, seperti
sumberdaya penafsir, alat untuk menafsir, dan gudang penyimpanan barang
jaminan. Oleh karena itu, tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn
ini, tetapi jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan
bank, maka bank tersebut memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya
dalam hal barang jaminan ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang
penyimpanan barang jaminan terbatas.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April
1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang
perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian
untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000
yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.[7] Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi
Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah
sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat
beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah
melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan
Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani
kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern
yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh
kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS)
sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian.
ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah
pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali
berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi
Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya,
Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga
September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di
Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
C.
Dasar Hukum Pegadaian
Syariah
1.
Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
283:
bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt $VÒ÷èt ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çmu‘
Artinya : “jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[8]
2.
Al-Hadis
Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Aisyah ra.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah berkata:
Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan
besi”.
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ
وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju
Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan
baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum
dari seorang Yahudi”. (HR.Anas r.a).
3.
Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan
dalam al-Qur’an dan al-Hadis itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh
para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama
bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan
kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian perlu
dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian
menurut landasan hukumnya.[9]
Asy-Syafii mengatakan Allah tidak
menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima.
Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan.
Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang
menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan jaminan untuk dipegang oleh
yang memegang gadaian (murtahin). Jika jaminan sudah berada ditangan pemegang
gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan,
berbeda dengan pendapat Imam Syafii yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku
selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.
D.
Rukun dan Syarat
Pegadaian Syariah
1.
Rukun Gadai
a.
Shigat adalah ucapan
berupa ijab dan qabul
b.
Orang yang berakad,
yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin)
c.
Harta atau barang
yang dijadikan jaminan (marhun)
d.
Hutang (marhun bih)
2.
Syarat Gadai
a.
Rahin dan murtahin
Mempunyai kecakapan dalam melakukan akad (ahliyah
al-tasharruf), yaitu balig, berakal, cerdas, dan tidak terhalang melakukan
akad seperti orang yang sedang dipenjara. Pendapat tersebut sepakat dikemukakan
oleh mayoritas ulama kecuali Hanafiyah yang menyatakan balig tidak menjadi
syarat. Oleh karena itu, anak yang sudah mumayyiz asalkan ada izin orang
tuanya, sah melakukan akad.
b.
Marhun
1)
Dapat dijual apabila
pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang.
2)
Bernilai harta dan
boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu misalnya khamr dan bangkai tidak sah dijadikan
marhun.
3)
Dapat diketahui
dengan jelas pada waktu akad. oleh karena itu misalnya tidak sah menggadaikan
burung yang sedang terbang di uadara atau ikan yang ada di kolam.
4)
Dapat
diserahterimakan pada waktu akad. Oleh karena itu utang yang berada dalam
tanggungan tidak sah dijadikan marhun.
5)
Dapat dikuasai oleh
murtahin.
6)
Milik orang yang
menggadaikan atau orang yang berutang. Atau apabila milik orang lain harus ada
izin darinya. Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan hak kepengurusan
(wilayah syar’iyyah), seperti orang tua yang menggadaikan harta milik anaknya
atau orang yang menerima wasiat yang menggadaikan harta milik orang yang member
wasiat, maka hal itu diperbolehkan tanpa harus ada izin dari keduanya (anaknya
atau pemberi wasiat).
7)
Dapat dibagi atau
dipisahkan. Oleh karena itu tidak sah hukumnya menggadaikan harta yang terikat
dengan hak orang lain yang tidak bisa dibagi (musya), seperti
menggadaikan sebagian rumah atau setengah dari perangkat kendaraan, yang
kepemilikannya berserikat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.
Berbeda dengan Imam Syafi’I yang memperbolehkan hal tersebut apabila diketahui
keberadaannya.
8)
Satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu tdak sahnya hukumnya menggadaikan buah
yang ada di pohon, tanpa menggadaikan pohonnya, atau tanaman tanpa tanahnya.
Karena semuanya itu tidak mungkin memisahkan buah atau tanaman tanpa pohon dan
tanahnya.
c.
Marhun bih
1)
Merupakan hak yang
harus dikembalikan kepada rahin.
2)
Memungkinkan dapat
dibayarkan dengan marhun tersebut.
3)
Harus jelas dan
tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang memberikan marhun atas salah satu
dari dua utangnya, tanpa menjelaskan marhun yang diserahkan itu untuk utang
yang mana, maka hukumnya tidak sah. Karena hal tersebut termasuk ke dalam hak
yang samar.
4)
Masih tetap berjalan.
Oleh karena itu tidak sah hukunya menyerahkan marhun, namun berutangnya di
kemudian hari. Karena gadai itu merupakan kepercayaan atas hak, yang tidak bisa
terdahului oleh yang lain. Pendapat ini dikemukakan Hanabilah.
d.
Shighat
1)
Diungkapkan dengan
kata-kata yang menunjukkan akad gadai yang lazim diketahui masyarakat, baik
dengan ungkapan kata-kata atau petunjuk jelas. Misalnya telah dikemukakan di
atas dalam pembahasan rukun gadai.
2)
Dilakukan dalam satu
majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akad gadai hadir dan
membicarakan topik yang sama atau antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh
sesuatu yang menunjukkan berpalingnya akad menurut kebiasaan.
3)
Terdapat kesesuaian
antara ijab dan qabul. Maksudnya ungkapan qabul dari murtahin sesuai atau ada
kaitannya dengan yang dimaksud oleh ungkapan ijabnya rahin.
4)
Tidak dikaitkan
dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang. Karena akad gadai dalm hal
ini sama dengan akad jual beli. Apabila hal tersbut dilakukan, maka syaratnya
batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya rahin mensyaratkan jika utangnya belum
terbayar pada waktu yang telah ditentukan, maka dia waktunya diperpanjang lagi.
Atau murtahin mensyaratkan agar barang gadaian bisa dimanfaatkan olehnya.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.[10]
E.
Tujuan, Manfaat dan
Resiko Pegadaian
1.
Tujuan pegadaian
a.
Turut melaksanakan
dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang
ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang
pembiayaan/ pinjaman atas dasar hukum gadai.
b.
Pencegahan praktik
ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
c.
Pemanfaatan gadai
bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jarring pengaman sosial karena
masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/ pembiayaan
berbasis bunga.
d.
Membantu orang-orang
yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
2.
Manfaat pegadaian
a.
Bagi Nasabah
1)
Tersedianya dana
dengan prosedur yang relative sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan.
2)
Nasabah juga mendapat
manfaat penaksiran nilai barang bergerak seacara professional.
3)
Mendapatkan fasilitas
penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
4)
Jika rahn diterapkan dalam mekanisme
pegadaian, maka akan
5)
Bank memberikan
kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan bank.
6)
Serta bank memberikan
keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset
atau barang (marhun).[12]
b.
Bagi perusahaan pegadaian
1)
Penghasilan yang
bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.
2)
Penghasilan yang
bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu.
Bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan
dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
3)
Pelaksanaan misi
perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa
pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang
relative sederhana.
4)
Berdasarkan PP No.10
tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk: (1) dana pembangunan semesta
(55%), (2) cadangan umum (20%), (3) cadangan tujuan (5%), (4) dana sosial
(20%).[13]
3.
Risiko pegadaian
a.
Risiko tak
terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
F.
Praktek Operasional
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan
bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat
diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja).
Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek
landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki
ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian
konvensional.
Operasi pegadaian syariah
menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian
syariah adalah sebagai berikut:
1.
Nasabah menjaminkan
barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian
pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memeberikan
pembiayaan.
2.
Pegadaian syariah dan
nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai beberapa hal, seperti
kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai dan sebagainya.
3.
Pegadaian syariah
menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, baiaya pemeliharaan, penjagaan,
dan biaya penaksir dibayar diawal transaksi oleh nasabah.
4.
Nesabah menebus
barang yang digadai setelah jatuh tempo.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian
adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara
biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan dimuka.[15]
Adapun teknis pagadaian syariah dapat diilustrasikan
dalam gambar berikut:
Skema Pegadaian Syariah

|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pegadaian
syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada
prinsip syariah. Payung hukum gadai syariah dalam pemenuhan prinsip-prinsip
syariah berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni
2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn diperbolehkan. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap
menginduk pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990.
Tonggak awal kebangkitan
Pegadaian ditandai dengan Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990. Sedangkan dasar
hukum dari pegadian terdapat pada Quran Surat al-Baqarah ayat 283, hadis
Bukhari Muslim, hadis al-Nasai, hadis al-Bukhari, dan lain-lain serta terdapat
dalam ijma’ para ulama.
|
Rukun gadai terdiri dari :
shighat, orang yang menggadaikan (rahin), orang yang menerima gadai (murtahin),
harta yang dijaminkan (marhun), hutang (marhun bih). Sedangkan
syarat gadai terdiri dari : rahin dan marhun (mempunyai kecakapan), marhun
(dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang
dengan utang), marhun bih (merupakan hak yang harus dikembalikan kepada
rahin), shighat (diungkapkan dengan kata-kata).
Tujuan pegadaian adalah sebagai
pencegahan ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Manfaat
dari pegadaian adalah bagi nasabah tersedianya dana dengan prosedur yang
relatif sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit
perbankan. Sedangkan bagi perusahaan pegadaian adalah mendapatkan penghasilan
yang bersumber dari sewa yang dibayarkan oleh peminjam dana. Resikonya adalah
tak terbayarkan utang nasabah dan penurunan nilai asset yang ditahan atau
rusak.
Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh
pegadaian syariah adalah: Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum
gadai, Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Penitipan
barang (ijarah), Gold counter.
Pegadaian
syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan
dua metode, yaitu ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan Mudharabah (bagi
hasil). Namun metode ujrah saat ini masih mendominasi.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan sampaikan, semoga
bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang
berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat dan
terima kasih.
|
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Supriyadi, Struktur
Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal Penelitian Islam,
Vol. 5, No. 2, 2012.
Alma
Buchari, 2009, Manajemen Bisnis Syariah, Bandung : Alfabeta
M. Nur Rianto Al Arif, 2012.
Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis), Pustaka
Setia, Bandung.
Moh. Rifai, 2002. Konsep
Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang.
Muhammad Syafi’I
Antonio, 2013. Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani,
Jakarta
Soemitra Andri, 2010, Bank&Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana
Sudarsono,
Heri,2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta :
EKONISIA
Zainuddin Ali, 2008. Hukum
Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
[1] Andri Soemitra,
“Bank&Lembaga Keuangan Syariah”,
Jakarta : Kencana, Tahun 2010. Hlm 387
[2] Ahmad
Supriyadi, Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal
Penelitian Islam, Vol. 5, No. 2, 2012, hlm. 7.
[3] Buchari Alma, Manajemen
Bisnis Syariah, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 31-32.
[4] Zainuddin Ali, Hukum
Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 3-4.
[5] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[6] Ibid, hlm.143
[8] Heri Sudarsono,
"Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[11] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani,
Jakarta, 2013, hlm. 130.
[12] Moh. Rifai, Konsep
Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang, 2002, hlm. 91.
No comments:
Post a Comment