Tuesday, 19 December 2017

MAKALAH MANAJEMEN PEGADAIAN SYARIAH


 
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, disinilah manusia sebagai makhluk social. ratusan tahun sistem ekonomi didunia didominasi oleh sitem bunga hampir setiap perjanjian menggunakan sitem bunga. Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil.
1
 
Sangat banyak lembaga keuangan syariah dalam mengatur keuangan masyarakat, yang salah satunya adalah Pengadaian Syariah. Yang tidak semata-mata juga turut serta dalam membantu kegitan ekonomi umat. Pegadaian syariah juga dapat membantu masalah ekonomi dinegara indonesia. dengan sistem pegadaian syariah secara cepat dan berjangka pendek. Dan pegadaian syariah juga memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang yang menjadi jaminan.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Pada saat ini gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dan barang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu kita akan menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai dan pemanfaatan barang gadai.


B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian dari Pegadaian Syariah ?
2.         Bagaimana sejarah Pegadaian Syariah ?
3.         Apa dasar hukum Pegadaian Syariah ?
4.         Bagaimana rukun dan syarat Pegadaian Syariah?
5.         Apa saja tujuan, manfaat dan resiko Pegadaian Syariah?
6.         Bagaimana praktek operasional Pegadaian Syariah ?

C.      Tujuan Penulisan
1.         Mahasiswa dapat memahami Pegadaian Syariah.
2.         Mahasiswa dapat memahami sejarah Pegadaian Syariah.
3.         Mahasiswa memahami dasar hukum yang melandasi Pegadaian Syariah.
4.         Mahasiswa dapat memahami rukun dan syarat Pegadaian Syariah.
5.         Mahasiswa dapat memahami tujuan, manfaat dan Resiko Pegadaian.
6.         Mahasiswa dapat memahami bagaimana operasional praktek Pegadaian Syariah.









 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang membiarkan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil perlunasan dari barang tersebut serta didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melarang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.[1]
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”, berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
4
 
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukuk Ekonomi Syariah Pasal 20 mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Pengusaan barang milik peminjam oleh pemberi
pinjaman sebagai jaminan.”
Dalam jurnal Ahmad Supriyadi mengatakan bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata seepakat untuk mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.[2]
Pengertian gadai yang ada dalam syariah agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum positif seperti yang tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seseorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).[3]
Pengertian rahn yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang itu. Firman Allah dalam surat Al-Muddastsir ayat 34 yang berbunyi :
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ  
Artinya : “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.

Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.[4]

B.       Sejarah Pegadaian Syariah
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda, yaitu sekitar abad 19-an, oleh sebuah bank yang bernama Van Lening. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal 20-an, pemerintah Hindia Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan Staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas
Pegadaian sejak berlakunya Staatsblad No.226 tahun 1960.[5]
Selanjutnya, pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan hukum sehingga akhirnnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Sewaktu pada tahun f1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi Perusaan Negara (PN) Pegadaian, pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, dan pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum). Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan. Misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemen dalam mengelola pegadaian.[6]
Pada saat ini pegadaian syariah belum terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealism, juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya Bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah (rahn) lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
Namun trend  dari perkembangna rahn sebagai produk perbankan syariah belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas, seperti sumberdaya penafsir, alat untuk menafsir, dan gudang penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu, tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminan ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpanan barang jaminan terbatas.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.[7] Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
C.      Dasar Hukum Pegadaian Syariah
1.         Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 283:
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt $VÒ÷èt ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­u
Artinya : “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[8]
2.         Al-Hadis
Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
 “Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas r.a).
3.         Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.[9]
Asy-Syafii mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan jaminan untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika jaminan sudah berada ditangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Syafii yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.

D.      Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah
1.         Rukun Gadai
a.         Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul
b.        Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin)
c.         Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun)
d.        Hutang (marhun bih)
2.         Syarat Gadai
a.         Rahin dan murtahin
Mempunyai kecakapan dalam melakukan akad (ahliyah al-tasharruf), yaitu balig, berakal, cerdas, dan tidak terhalang melakukan akad seperti orang yang sedang dipenjara. Pendapat tersebut sepakat dikemukakan oleh mayoritas ulama kecuali Hanafiyah yang menyatakan balig tidak menjadi syarat. Oleh karena itu, anak yang sudah mumayyiz asalkan ada izin orang tuanya, sah melakukan akad.
b.        Marhun
1)        Dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang.
2)        Bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu misalnya khamr dan bangkai tidak sah dijadikan marhun.
3)        Dapat diketahui dengan jelas pada waktu akad. oleh karena itu misalnya tidak sah menggadaikan burung yang sedang terbang di uadara atau ikan yang ada di kolam.
4)        Dapat diserahterimakan pada waktu akad. Oleh karena itu utang yang berada dalam tanggungan tidak sah dijadikan marhun.
5)        Dapat dikuasai oleh murtahin.
6)        Milik orang yang menggadaikan atau orang yang berutang. Atau apabila milik orang lain harus ada izin darinya. Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan hak kepengurusan (wilayah syar’iyyah), seperti orang tua yang menggadaikan harta milik anaknya atau orang yang menerima wasiat yang menggadaikan harta milik orang yang member wasiat, maka hal itu diperbolehkan tanpa harus ada izin dari keduanya (anaknya atau pemberi wasiat).
7)        Dapat dibagi atau dipisahkan. Oleh karena itu tidak sah hukumnya menggadaikan harta yang terikat dengan hak orang lain yang tidak bisa dibagi (musya), seperti menggadaikan sebagian rumah atau setengah dari perangkat kendaraan, yang kepemilikannya berserikat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah. Berbeda dengan Imam Syafi’I yang memperbolehkan hal tersebut apabila diketahui keberadaannya.
8)        Satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu tdak sahnya hukumnya menggadaikan buah yang ada di pohon, tanpa menggadaikan pohonnya, atau tanaman tanpa tanahnya. Karena semuanya itu tidak mungkin memisahkan buah atau tanaman tanpa pohon dan tanahnya.
c.         Marhun bih
1)        Merupakan hak yang harus dikembalikan kepada rahin.
2)        Memungkinkan dapat dibayarkan dengan marhun tersebut.
3)        Harus jelas dan tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang memberikan marhun atas salah satu dari dua utangnya, tanpa menjelaskan marhun yang diserahkan itu untuk utang yang mana, maka hukumnya tidak sah. Karena hal tersebut termasuk ke dalam hak yang samar.
4)        Masih tetap berjalan. Oleh karena itu tidak sah hukunya menyerahkan marhun, namun berutangnya di kemudian hari. Karena gadai itu merupakan kepercayaan atas hak, yang tidak bisa terdahului oleh yang lain. Pendapat ini dikemukakan Hanabilah.
d.        Shighat
1)        Diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukkan akad gadai yang lazim diketahui masyarakat, baik dengan ungkapan kata-kata atau petunjuk jelas. Misalnya telah dikemukakan di atas dalam pembahasan rukun gadai.
2)        Dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akad gadai hadir dan membicarakan topik yang sama atau antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh sesuatu yang menunjukkan berpalingnya akad menurut kebiasaan.
3)        Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul. Maksudnya ungkapan qabul dari murtahin sesuai atau ada kaitannya dengan yang dimaksud oleh ungkapan ijabnya rahin.
4)        Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang. Karena akad gadai dalm hal ini sama dengan akad jual beli. Apabila hal tersbut dilakukan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya rahin mensyaratkan jika utangnya belum terbayar pada waktu yang telah ditentukan, maka dia waktunya diperpanjang lagi. Atau murtahin mensyaratkan agar barang gadaian bisa dimanfaatkan olehnya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.[10]
E.       Tujuan, Manfaat dan Resiko Pegadaian
1.         Tujuan pegadaian
a.         Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/ pinjaman atas dasar hukum gadai.
b.        Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
c.         Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jarring pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/ pembiayaan berbasis bunga.
d.        Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
2.         Manfaat pegadaian
a.         Bagi Nasabah
1)        Tersedianya dana dengan prosedur yang relative sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan.
2)        Nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai barang bergerak seacara professional.
3)        Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
4)        Jika  rahn  diterapkan  dalam  mekanisme pegadaian, maka akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.[11]
5)        Bank memberikan kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
6)        Serta bank memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun).[12]
b.        Bagi perusahaan pegadaian
1)        Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.
2)        Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
3)        Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relative sederhana.
4)        Berdasarkan PP No.10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk: (1) dana pembangunan semesta (55%), (2) cadangan umum (20%), (3) cadangan tujuan (5%), (4) dana sosial (20%).[13]
3.         Risiko pegadaian
a.         Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
b.        Risiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.[14]

F.       Praktek Operasional
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.         Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memeberikan pembiayaan.
2.         Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai beberapa hal, seperti kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai dan sebagainya.
3.         Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, baiaya pemeliharaan, penjagaan, dan biaya penaksir dibayar diawal transaksi oleh nasabah.
4.         Nesabah menebus barang yang digadai setelah jatuh tempo.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan dimuka.[15]
Adapun teknis pagadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:
Skema Pegadaian Syariah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK2fN1PfLk1pWD6Tcp-8yXC7PLq34mMsvZSEMhyok_VjhgEBGeR5PN7nha8u2Yn1DqvN_t07bV_a4-F7xFQrSzer3HdBI8jHWnQ4W9pQm77ydWqPfWgX0XaRowkiSVQrBA2158ulI2i14/s1600/gambar.jpg

 
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Payung hukum gadai syariah dalam pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990.
Tonggak awal kebangkitan Pegadaian ditandai dengan Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990. Sedangkan dasar hukum dari pegadian terdapat pada Quran Surat al-Baqarah ayat 283, hadis Bukhari Muslim, hadis al-Nasai, hadis al-Bukhari, dan lain-lain serta terdapat dalam ijma’ para ulama.
19
 
Rukun gadai terdiri dari : shighat, orang yang menggadaikan (rahin), orang yang menerima gadai (murtahin), harta yang dijaminkan (marhun), hutang (marhun bih). Sedangkan syarat gadai terdiri dari : rahin dan marhun (mempunyai kecakapan), marhun (dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang), marhun bih (merupakan hak yang harus dikembalikan kepada rahin), shighat (diungkapkan dengan kata-kata).
Tujuan pegadaian adalah sebagai pencegahan ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Manfaat dari pegadaian adalah bagi nasabah tersedianya dana dengan prosedur yang relatif sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Sedangkan bagi perusahaan pegadaian adalah mendapatkan penghasilan yang bersumber dari sewa yang dibayarkan oleh peminjam dana. Resikonya adalah tak terbayarkan utang nasabah dan penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.
Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah: Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Penitipan barang (ijarah), Gold counter.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan dua metode, yaitu ujrah atau Fee Based Income (FBI) dan Mudharabah (bagi hasil). Namun metode ujrah saat ini masih mendominasi.

B.       Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.


 
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Supriyadi, Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No. 2, 2012.

Alma Buchari, 2009, Manajemen Bisnis Syariah, Bandung : Alfabeta

M. Nur Rianto Al Arif, 2012. Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis), Pustaka Setia, Bandung.

Moh. Rifai, 2002. Konsep Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang.

Muhammad Syafi’I Antonio, 2013. Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani, Jakarta

Soemitra Andri, 2010, Bank&Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana

Sudarsono, Heri,2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : EKONISIA

Zainuddin Ali, 2008. Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.










[1] Andri Soemitra, “Bank&Lembaga Keuangan Syariah”, Jakarta : Kencana, Tahun 2010. Hlm 387
[2] Ahmad Supriyadi, Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No. 2, 2012, hlm. 7.
[3] Buchari Alma, Manajemen Bisnis Syariah, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 31-32.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 3-4.
[5]  Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004,  hlm.143
[6]   Ibid, hlm.143
[7]  Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[8] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.143
[9]  Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.144
[10] Ibid., hlm. 194-196.
[11] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani, Jakarta, 2013, hlm. 130.
[12] Moh. Rifai, Konsep Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang, 2002, hlm. 91.
[13] M. Nur Rianto Al Arif, Op. Cit., hlm. 283.
[14]  Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit., hlm 131.
[15] Heri Sudarsono, "Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, Yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm.156

No comments:

Post a Comment