BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilu
serentak (concurrent
elections) secara
sederhana dapat
didefinisikan
sebagai
sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. Jenis-jenis pemilihan tersebut mencakup pemilihan eksekutif dan legislatif di beragam tingkat yang dikenal di negara yang bersangkutan, yang terentang
dari tingkat nasional, regional hingga pemilihan di tingkat lokal. Di negara-negara anggota
Uni Eropa, pemilu serentak bahkan termasuk menyelenggarakan
pemilu untuk
tingkat supra-nasional,
yakni pemilihan anggota
parlemen Eropa
secara
berbarengan dengan pemilu nasional,
regional atau lokal. Dengan adanya
beragam faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan pemilu serentak, maka terdapat beberapa varian yang sebagian
sudah
diterapkan
dan
beberapa lagi
masih
sifatnya hipotetis.
Sistem pemilu serentak sudah diterapkan di banyak negara demokrasi. Sistem ini ditemukan tidak hanya di negara-negara yang
telah lama menerapkan sistem demokrasi seperti Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa Barat, melainkan juga ditemukan di banyak negara demokrasi yang
relatif lebih muda seperti negara-negara demokrasi di kawasan Amerika Latin12, Eropa Timur dan Eropa Timur. Namun di Asia Tenggara, sistem pemilu
serentak belum banyak dikenal. Dari lima negara yang
menerapkan pemilu—meski tidak sepenuhnya demokratis—hanya Philipina yang menerapkan sistem pemilu serentak dalam memilih presiden dan anggota legislatif, sementara Indonesia, Malaysia, Singapore dan Thailand tidak menggunakan sistem
pemilu serentak.
Dalam
penggunaan sistem pemilu serentak,
praktik umum yang banyak diterapkan adalah menggabungkan pemilihan eksekutif
dengan pemilihan anggota
legislatif.
Di Amerika Latin, Jones (1995: 10) mencatat bahwa pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan secara
serentak
di Bolivia, Columbia, Costa Rica, Guatemala,
Guyana, Honduras, Nicaragua, Panama,
Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela. Bukan hanya
untuk tingkat nasional, di beberapa negara
pemilu serentak juga dilakukan dengan menggabungan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu regional atau lokal. Di Amerika
Serikat, misalnya, di beberapa negara
bagian pemilu menggabungkan bukan hanya pemilihan presiden dan anggota Kongres serta Senat di tingkat
pusat, melainkan pada waktu yang bersamaan juga menyelenggarakan pemilihan gubernur dan
legislator di tingkat negara bagian.15 Di Amerika Latin, Brazil juga menerapkan model serupa.
Pemilu dilakukan secara
serentak dengan menggabungkan pemilihan presiden
dan anggota
parlemen di tingkat nasional, dan pemilihan gubernur dan
legislator
di tingkat negara bagian.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
sistem pemilihan pemilu nasional serentak?
2. Apa
itu daerah pemilihan?
3. Siapa
saja peserta pemilu dan bagaimana pola pencalonan?
4. Apa
itu kampaye?
C. TUJUAN PENULISAN
Sejalan dengan rumusan masalah di atas,
makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Untuk
mengetahui bagaimana sistem pemilihan pemilu nasional serentak;
2. Untuk
mengetahui apa itu daerah pemilihan;
3. Untuk
mengetahui siapa saja peserta pemilu dan bagaimana pola pencalonan;
4. Untuk
mengetahui apa itu kampaye.
D. MANFAAT PENULISAN
Makalah ini disusun dengan harapan dapat memberikan
manfaat bagi penyusun maupun pembaca. Manfaat yang dapat dirasakan penyusun
yaitu sebagai penambahan wawasan dan pengetahuan bagaimana sistem pemilihan
pemilu nasional serentak. Sedangkan manfaat yang diharapkan kepada pembaca
yaitu sebagai media informasi tentang sistem pemilihan pemilu nasional
serentak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SISTEM PEMILIHAN
PEMILU NASIONAL SERENTAK
1. Ruang
Lingkup
Ruang lingkup Sistem
pemilihan
ini mengatur tata cara pemilu serentak nasional yang terdiri atas
mekanisme dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
dan tata cara pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); serta
tata cara pemilihan Anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Sementara itu, tata cara
pemilu serentak lokal tidak menjadi bagian pada
ruang lingkup sistem pemilihan
pemilu
serentak nasional ini.[1]
2. Sistem
Pemilihan
Sistem pemilihan ini mengatur tata cara
bagaimana
calon presiden/wakil presiden,
calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih oleh rakyat secara langsung.
Dari segi sistem pemilihannya,
untuk memilih calon presiden/wakil presiden tidak mengalami perubahan sistem.
Sistem pemilihan yang
digunakan dalam memilih presiden
dan wakil presiden adalah sistem plurality bukan majority atau 50% + 1, sebagaimana diatur pada
UUD 1945. Sementara itu,
sistem pemilihan yang digunakan untuk memilih anggota DPD adalah
sistem distrik berwakil banyak. Sistem
distrik berwakil banyak adalah sebuah sistem
pemilihan
yang digunakan untuk memilih anggota DPD, di mana para pemenangnya didasarkan atas urutan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan yang telah
ditentukan.
Sedangkan untuk sistem pemilihan calon anggota DPR, secara teori dikenal dua rumpun besar sistem pemilihan yaitu sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Dari dua rumpun besar itu di beberapa negara dikembangkan sistem campuran (mixed system) yang menggunakan mekanisme kedua sistem (proporsional dan mayoritarian) bekerja secara
bersamaan. Dalam konteks pemilu serentak pada hakikatnya pilihan
tersebut menghendaki agar ada efek
penyelenggaraan pemilu yang diserentakkan waktu pelaksanaannya yang disebut sebagai
presidential coattail dan kecerdasan berpolitik
(political efficacy) bahwa pilihan
terhadap calon
presiden/wakil presiden akan berdampak pada pilihan terhadap partai politiknya atau calon-calon anggota DPR yang dicalonkan oleh partai politik.
Pilihan untuk mendorong agar ada
pengaruh presidential
coattail dan political efficacy, antara lain
dapat dipengaruhi oleh apakah pilihan calon presiden/wakil presiden dengan anggota
DPR/partai—dalam satu kertas suara atau pada kertas suara yang berbeda. Meski ada alasan- alasan
mandat yang berbeda dari
keduanya
sehingga tidak
mungkin bisa disatukan, namun beberapa negara
tetap saja menyatukan proses pemilihan dalam satu kertas suara. Alasannya selain karena faktor efisiensi, juga dalam kontek pemilu serentak diyakini dapat memperbesar
efek
pilihan terhadap calon
presiden/wakil presiden terhadap partai/calon anggota DPR manakala
satu kertas suara ketimbang beda kertas suara.
Walau
demikian,
perlu penghitungan secara teknis penyelenggaraan, sistem pemilu
manakah yang paling mudah
untuk proses tersebut.
Selain
alasan teknis penyelenggaraan, pilihan
terhadap sistem pemilu yang
digunakan juga perlu disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, khususnya upaya untuk mendorong multipartai
sederhana (moderat) dapat diwujudkan.
Terhadap kebutuhan tersebut,
ada beberapa pilihan kombinasi
pilihan sistem dengan teknis
penyelenggaraanya sebagai cara memperoleh efek yang
diharapkan.. Pertama, tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka (PR terbuka) untuk
memilih anggota DPR.
Keuntungan menggunakan PR terbuka, antara lain dapat mengurangi oligarkhi partai dalam
proses rekrutmen
dan pencalonan anggota
DPR dan
pemilih dapat
langsung memberikan suaranya
kepada wakil
yang dituju. Akan
tetapi kekurangannya, partai politik memang
kehilangan kontrol terhadap calon-calon wakil rakyatnya, maraknya penggunaan politik uang
dalam mencari dukungan, terjadinya kompetisi intra partai dan antar partai yang
tidak sehat dan
terjadinya pencurian suara
antarkandidat.
Secara teknis pemilihan, pemilih diberi dua peluang memilih partai dan/atau memilih
calon daftar
terbuka. Dalam
praktik
pelaksanaan pemilu pemilih seringkali mengalami kebingungan untuk menentukan
calon mana yang
ingin dipilih karena begitu banyak calon yang harus mereka pilih. Acapkali banyak pemilih yang tidak memiliki preferensi sehingga akhirnya memilih partai politik ketimbang memilih calon daftar
terbuka.
Dalam pemilu serentak, apabila sistem pemilihan
anggota DPR-nya menggunakan sistem proporsional terbuka, secara
teknis sangat sulit untuk menyatukan dalam satu kerta suara antara calon presiden/wakil presiden dengan calon daftar
terbuka dan partai politik. Kertas suaranya
akan
sangat
lebar. Konsekuensinya kalau
sistem
PR terbuka yang digunakan
maka tetap akan
ada
3 kotak dalam penyelenggaraan pemilu serentak, kotak 1 untuk memilih calon presiden/wakil
presiden; kotak 2 untuk memilih anggota DPR/partai politik; dan kotak 3 untuk memilih anggota
DPD.
Pilihan kedua
adalah
dengan menggunakan proporsional tertutup. Memang bisa
dianggap sebagai ―kemunduran,‖ atau perubahan yang tidak ideal. Akan tetapi tidak pernah ada satu evaluasi dengan penerapan sistem PR terbuka, seberapa
banyak perbandingan pemilih memilih partai atau daftar orang. Secara
sekilas hasil pilihan pemilih di setiap TPS cenderung
menunjukkan masih besarnya pilihan pemilih kepada
partai ketimbang kepada daftar calon terbuka. Efektifitas pengunaan PR terbuka selain karena kekurangan-kekurangan yang
disebut di atas, juga antara lain belum sepenuhnya menjadi pilihan bagi pemilih. Hal itu juga terbuka
kandidat yang
lolos Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) karena memperoleh suara yang melampui
atau tertinggi, persentasenya juga kecil atau rendah. Kalau PR tertutup yang
digunakan dalam pemilu serentak, secara teknis penyelenggaraan dapat lebih efisien dan mendorong
pengaruh presidential coattail atau political efficacy yang
jauh
lebih tinggi karena pemilih secara langsung
akan
dapat membandingkan pilihan
calon presiden/wakil presidennya dengan partai politik
penggusungnya dalam satu lembar kertas suara. Tidak ada split atau jeda karena letak kotak untuk memilih calon presiden/wakil presiden dengan gambar/lambang
partai berdekatan, tingkat kemungkinan presidential coattail-nya
jauh akan lebih tinggi dibandingkan dengan kertas suara yang
terpisah antara kertas
suara calon presiden/wakil presiden dengan calon
anggota
DPR/partai politik.
Pilihan ketiga ialah penyelenggaraan pemilu serentak
sekaligus dengan mengubah sistem
pemilihan
anggota DPR/Partai dari
sistem yang berbasis
proporsional ke
sistem pemilu campuran, khususnya pemilu paralel. Mengapa
ke pemilu paralel, karena Pusat
Penelitian Politik
LIPI
telah melakukan beberapa adaptasi dan ujicoba mengenai efektivitas sistem pemilu paralel dalam
rangka menghasilkan
multipartai
moderat.
Hasil simulasi
atau ujicoba yang
telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI) berbasis pada data Pemilu 2009 dan 2014 memperlihatkan adanya percepatan dalam menghasilkan komposisi partai politik yang
sederhana (moderat) di
parlemen tanpa
parliamentary
threshold. Sistem pemilu
paralel adalah sebuah sistem
di
mana
anggota DPR sebagian
dipilih
melalui sistem
proporsional
(tertutup) dan
sebagian lainnya dipilih melalui sistem
mayoritarian.
Dalam
konteks teknis penyelenggaraan pemilu
serentak presiden dan wakil presiden
dengan sistem pemilu paralel, secara teknis
lebih memungkinkan dilakukan dengan satu kertas
suara ketimbang
dengan sistem PR terbuka. Tingkat kemungkinan teknis penyelenggaraanya
hampir sama
dengan kombinasi pemilu serentak
antara sistem plurality dengan sistem
PR
tertutup dan/atau sistem plurality dengan sistem pemilu paralel, karena
setiap partai hanya mengajukan lambang partai dan 1 nama untuk dipilih pada sistem mayoritarian. Jadi secara teknis lebih mudah menerapkannya ketimbang dengan sistem PR terbuka yang
konsekuensinya harus 3 kertas suara, sementara kalau PR tertutup dan Paralel hanya akan ada 2 kertas suara, yaitu 1 kertas suara
untuk memilih presiden/wakil presiden
dan
Partai/Calon Mayoritarian; dan 1
kertas suara untuk memilih calon
anggota
DPD.
Sedangkan
dari segi sistem,
keuntungan-keuntungan sistem pemilu paralel di antaranya
akan memperbaiki kelemahan yang paling utama dari sistem proporsional yakni menyebarnya hasil pemilu karena multipartai yang dihasilkan adalah multipartai yang
terfragmentasi. Dari tiga
varian sistem pemilihan
tersebut, position paper
ini merekomendasikan penggunaan sistem
pemilihan
untuk anggota DPRnya dilakukan perubahan
sistem agar tujuan penyederhanaan partai
dari multipartai ekstrem ke yang sederhana dapat diwujudkan.[2]
B.
DAERAH PEMILIHAN
1. Pengertian dan
Cakupannya
District Magnitude (besaran daerah pemilihan) selanjutnya disingkat DM adalah jumlah wakil
yang akan
dipilih dari satu daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan adalah jumlah alokasi
kursi buat satu daerah pemilihan, atau dengan kata lain,
penetapan jumlah wakil rakyat untuk mewakili sejumlah penduduk/pemilih dalam
satu daerah pemilihan.
Oleh karena itu, district magnitude
adalah suatu konsep yang
menjelaskan bukan berapa banyak pemilih tinggal di suatu daerah pemilihan, melainkan
berapa banyak wakil yang
dicalonkan untuk dipilih di suatu daerah pemilihan.
Dengan demikian, district magnitude mengacu pada jumlah wakil yang
akan dipilih dari suatu daerah pemilihan (number of
representatives elected from the district).
Wakil yang
akan dipilih tersebut dapat berjumlah tunggal/satu (single member constituency)
atau berjumlah banyak (multi member
constituency).
Atas dasar itu, district magnitude dalam sistem pemilihan ini terdiri
atas tiga
yaitu besaran Daerah Pemilihan Anggota DPR; besaran Daerah Pemilihan Anggota
DPD; dan besaran Daerah
Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Ketiganya menyesuaikan dengan
prinsip-prinsip
sistem pemilihan yang
dianut. Pada district magnitude anggota DPR, sistem
pemilihan yang
digunakan adalah Sistem Proporsional (terbuka). Karena
itu,
district magnitude-nya menganut
prinsip berwakil banyak (multi member constituency), bukan berwakil tunggal. Sedangkan untuk memilih anggota DPD, sistem pemilihan yang
digunakan adalah sistem majoritarian berwakil banyak yang berbasis di provinsi. Sementara
dalam memilih presiden dan wakil presiden, sistem
yang digunakan adalah plurality (50%
+ 1) bukan majority, dengan district magnitude
wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam prinsip single member constituency.
C.
PESERTA PEMILU DAN POLA
PENCALONAN
1. Peserta
Pemilu
Dalam pemilu serentak ini,
karena
pemilu
serentak dibagi dalam
opsi
pemilu
serentak
nasional – lokal, maka pemilu serentak nasional yang
dapat menjadi peserta pemilu adalah
pertama, peserta pemilu anggota DPR adalah partai politik yang
telah menenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Kedua, peserta pemilu anggota DPD adalah perseorangan yang telah memenuhi persyaratan. Dan, ketiga peserta
pemilu presiden
dan wakil presiden adalah partai
politik dan/atau gabungan partai politik sebagaimana telah
di atur dalam UUD 1945.[3]
Ketentuan mengenai peserta
pemilu serentak diatur
menurut kepersertaan masing- masing.
Bagi peserta pemilu
Anggota
DPR, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:
a. Partai
politik
yang memenuhi syarat
sebagai
peserta
pemilihan
umum secara
serentak;
b. Syarat
partai politik sebagai peserta pemilu dalam Naskah Akademik ini adalah sebuah syarat yang diperketat, meliputi beberapa syarat sebagai berikut;
1) Berstatus
badan hukum sesuai dengan Undang-undang tentang partai politik;
2) Memiliki kepengurusan di
seluruh provinsi;
3) Memiliki kepengurusan di 75%
(tujuh
puluh
lima persen)
jumlah
kabupaten/kota di provinsi bersangkutan;
4) Memiliki kepengurusan di 60% (enam puluh lima persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
5) Memiliki kepengurusan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh
persen) pewakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
6) Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.500 (seribu lima ratus) orang atau
1/1500 (satu perseribu lima ratus) dari jumlah penduduk
pada kepengurusan
partai politik sebagaimana di
maksud
pada poin 3;
7) Memiliki kantor tetap untuk kepengurusan
di
tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota;
8) Memiliki nama, lambang, dan
tanda gambar
partai politik; dan
9) Memiliki deposit (dana tabungan) sebagai syarat pendirian
partai
politik.[4]
Dalam konteks persyaratan partai politik peserta pemilu di atas, karena sifat dari
pemilu serentak yang dirancang
pada dua tingkatan (nasional – lokal) dengan jarak pemilu
serentak
nasional 2 hingga 2,5 tahun dengan pemilu serentak
lokal, maka partai politik yang
telah lolos sebagai peserta pemilu serentak nasional secara otomatis menjadi partai politik
peserta
pemilu serentak lokal. Adapun partai ―lokal,‖ seperti di Aceh, harus mengikuti
prosedur dan persyaratan untuk dapat
mengikuti
pemilu serentak lokal.
Dalam
konteks keserentakan, pencalonan calon
presiden dan
wakil presiden dilakukan oleh partai atau gabungan partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu serentak yang telah menggabungkan dengan partai lainnya. Artinya, partai politik yang tidak menjadi peserta
pemilu serentak tidak diperbolehkan menjadi bagian dari proses pencalonan
calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
pesertanya adalah individu dan/atau perseorangan.
2. Pola Pencalonan
a. Presiden dan Wakil Presiden
Proses pencalonan presiden/wakil presiden dalam pemilu serentak dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Presiden
dan
wakil presiden dicalonkan dalam satu paket yang utuh;
2) Partai politik yang berhak mengajukan calon presiden adalah partai politik dan/atau gabungan yang
telah lolos sebagai
partai peserta pemilu;
3) Sebelum proses pencalonan calon presiden dan wakil presiden
dilakukan oleh partai politik kepada Komisi Pemilihan
Umum, partai politik
diwajibkan melakukan proses pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon
presiden/wakil presiden yang
akan diusung oleh masing-masing
partai.
Pemilihan pendahuluan (konvensi) dilakukan dengan mengelar
proses
pemilihan calon presiden/wakil presiden
minimal melibatkan beberapa
unsur internal partai antara lain unsur pengurus partai mulai dari DPP, DPD, DPC dan ranting
dan
unsur anggota DPR, DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota dari partai yang bersangkutan. Selain itu, unsur-unsur anggota partai juga dapat
dilibatkan dalam pemilu
pendahuluan oleh masing-masing
partai politik.
4) Proses pemilu pendahuluan dalam menentukan calon presiden/wakil presiden
ini dilakukan secara akuntabel, disupervisi oleh
KPU, dan diawasi oleh
Bawaslu; dan
5) Partai politik yang tidak melakukan pemilihan awal (pra-pemilu) dalam
menentukan calon presiden/wakil
presiden, calonnya akan ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum.
6) Koalisi yang dibangun pada proses pencalonan putaran pertama masih diberi
kesempatan untuk
mengalami perubahan
apabila terjadi
pemilihan
presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Partai
dan/atau gabungan
partai
politik membentuk koalisi
permanen yang tetap
dan tidak dapat diubah diubah setelah
hasil pemilihan presiden/wakil presiden
putaran
kedua diputuskan.[5]
b. Pencalonan
Anggota DPR
Rekruitmen calon-calon anggota DPR oleh partai politik merupakan salah satu faktor yang
menentukan dalam menghasilkan
kualitas dan kapabilitas
wakil-wakil rakyat. Dalam rangka
mendorong kualitas calon-calon yang diajukan oleh partai politik, setiap partai politik perlu mempersiapkan proses rekrutmen secara transparan, adil, berkualitas dan demokratis. Proses
rekrutmen anggota DPR selain memiliki rekam jejak yang
pasti, juga mempertimbangkan indikator pengalaman politik, pendidikan, pengalaman organisasi di dalam dan di luar partai, dedikasi dan loyalitas kepada
partai, rekam jejak sebagai kader partai politik, integritas, dan
beberapa persyaratan-persyaratan lainnya.
Oleh karena itu, persyaratan
calon-calon anggota DPR tidak hanya mengatur syarat-
syarat yang
sifatnya abstrak, tidak dapat diukur, dan syarat yang
menimbulkan penafsiran
yang jamak
atau berbeda-beda. Pengaturan
persyaratan calon-calon anggota DPR perlu didorong pada persyaratan yang
berbasis kualitas dan kapabilitas calon-calon anggota DPR
yang dapat diukur.
Dalam proses awal pencalonan, partai politik wajib mendorong
proses rekrutmen berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi internal partai. Salah satu cara yang dapat digunakan
oleh partai politik adalah sistem scoring dalam proses rekrutmen calon-calon anggota DPR.
Partai juga
dapat melakukan proses penentuan scoring tersebut secara terbuka
dan
akuntabel. Selain cara itu, proses rekrutmen calon anggota DPR yang akan mewakili partai politik,
dapat dilakukan dengan cara
mempersiapkan calon-calon yang memiliki kualitas dengan cara pemilu pendahuluan internal partai secara terbatas. Partai-partai politik juga
perlu mempersiapkan diri untuk melakukan proses kaderisasi secara berjenjang
sehingga partai
politik sebagai instrumen produksi
kepemimpinan dalam mengisi jabatan-jabatan
publik tidak mengalami kemandekan. Dalam menjamin adanya keterwakilan
perempuan, pemberlakukan
sistem
ziper dan beberapa
aturan
yang telah
diterapkan
oleh KPU pada
Pemilu 2014 di mana
setiap partai politik wajib memenuhi 30 persen calon perempuan di setiap daerah pemilihan yang diajukan patut menjadi salah satu persyaratan yang dituangkan pada Undang-Undang pemilihan
umum.[6]
c. Pencalonan
Anggota DPD
Pola pencalonan anggota DPD tidak terlalu banyak mengalami perubahan seperti yang telah
digunakan pada
Pemilu 2014. Pada
dasarnya
pola pencalonan anggota DPD ditentukan atas
dasar pengajuan calon oleh perseorangan dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan.
Adapun tahapan dan syarat-syarat tersebut dilakukan melalui beberapa perbaikan untuk melakukan penataan persyaratan sebagaimana telah diatur pada Psal 11, 12,
dan
13 UU No.
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di antara perbaikan-perbaikan
itu ialah syarat domisili calon anggota DPD.
Perlu
batasan
minimal syarat domisili ini karena
DPD adalah perwakilan ruang (bukan orang), oleh
karena itu setiap calon wajib memiliki pengetahuan mengenai wilayah
yang akan diwakili. Batasan domisili antara 5-6 tahun di wilayah tersebut dapat menjadi salah satu persyaratan yang
mewajibkan bahwa setiap orang yang akan mencalonkan
sebagai calon anggota DPD memiliki pengetahuan minimal mengenai wilayah yang
akan diwakili.
Perbaikan lain yang
dapat dilakukan ialah memasukkan proses minimal verifikasi dukungan
yang telah diatur pada Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2012 dalam pasal undang-undang agar mengikat semua pihak. Dalam konteks jaminan
dukungan tersebut, perlu ada
tambahan persyaratan yang khususnya adalah sebaran dukungan dari 50 persen menjadi lima puluh
persen lebih. Angka yang diusulkan menyebar lebih dari 65 persen wilayah provinsi,
agar kualitas
perwakilan ruang calon
anggota
DPD
dapat diperbaiki.
Selain itu, pada UU mendatang juga perlu dimasukkan prinsip akuntabilitas yang
lebih pasti anggota DPD sebagai
perwakilan
ruang, dengan adanya mosi tidak
percaya daerah apabila
anggota DPD tidak menjalankan fungsi-fungsinya. Kepada Anggota DPD yang
mencalonkan diri
juga diberi kewajiban untuk memberikan deposit uang jaminan sebagaimana diberalkukan kepada partai politik. Besaran
uang jaminan ini diusulkan sebanyak 100 juta.
Apabila yang bersangkutan tidak berhasil lolos, maka uang jaminan
tersebut akan dipergunakan untuk
membangun dan membiaya dana
operasional rumah
aspirasi di provinsi yang bersangkutan.[7]
D.
KAMPANYE
1. Waktu Kampanye
Pemilu serentak
diasumsikan akan dapat memunculkan
efek calon presiden
terhadap pilihan
konstituen ke partai politik penggusungnya (presidential coattail). Selain itu, pemilu serentak juga ditengari akan melahirkan political eficacy, kecerdasan politik pemilih, karena
pemilih
didorong untuk rasional menentukan
pilihan baik kepada
calon presiden/wakil presiden
dan kepada partai politik peserta
pemilu. Dalam rangka mewujudkan
adanya presidential coattail dan political eficacy serta efektivitas pemilu serentak dalam mendorong
terjadinya mulipartai moderat,
diperlukan suatu proses
kampanye yang
lebih panjang atau tidak dibatasi.
Oleh karena itu agar setiap calon presiden/wakil presiden dan partai-partai politik
dapat secara
maksimal mensosialisasikan visi, misi dan program-program mereka kepada
pemilih, waktu kampanye memerlukan waktu yang lebih panjang. Diusulkan bahwa kampanye mulai dapat dilakukan oleh partai politik dan calon presiden atau wakil presiden
setelah KPU mengumumkan tahapan hasil verifikasi partai politik peserta pemilu. Sehari
setelah KPU menetapkan partai politik peserta pemilu
serentak, partai-partai
yang lolos tersebut secara otomatis dapat melakukan kampanye hingga masa hari tenang seminggu menjelang pemberian suara dengan mentaati aturan kampanye yang meliputi bentuk atau
cara kampanye, larangan kampanye dan pengaturan dana kampanye serta pengaturan-
pengaturan lainnya yang
berkaitan dengan
kampanye.[8]
2. Bentuk dan cara kampanye
Pemilihan umum bukan semata-mata cara untuk mengejar
kekuasaan atau jabatan publik. Pemilihan umum juga memiliki fungsi lain sebagai instrumen pendidikan politik kepada
para pemilih. Salah satunya diwujudkan
melalui kampanye yang
digunakan. Sebagai konsekuensi
dari pemberian waktu kampanye yang
relatif panjang, bisa lebih dari satu (1) tahun, maka calon presiden/wakil presiden; partai-partai politik/calon anggota
DPR;
dan calon anggota DPD diberi batasan terhadap bentuk atau cara kampanye. Kampanye model arak-arakan atau pengerahan massa hanya diberikan kepada calon/presiden
wakil presiden dan partai politik/calon anggota DPR dan DPD masing-masing 1 kali di setiap provinsi. Selebihny adalah kampanye selain pengeran massa, yang
merupakan bentuk kampanye secara lebih cerdas dan mendidik.
Khusus
untuk calon presiden/wakil presiden
diberikan kesempatan melakukan
debat
calon presiden/wakil presiden selama 10 kali sepanjang
waktu kampanye yang akan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Selain mengatur bentuk dan cara
kampanye, pengaturan lain yang perlu dipertegas adalah pengaturan mengenai tim sukses/tim kampanye, yang
diantaranya harus mencakup semua pihak yang
mendukung calon tersebut. Pengaturan
tim
sukses/kampanye hanya pada tim yang didaftarkan kepada KPU menyebabkan banyak pihak
di luar itu seperti sukarelawan dan tim suskses yang dibentuk mandiri oleh masyarakat tidak hanya tidak dapat diatur, tetapi juga tidak terjangkau oleh aturan perundang-undangan. Oleh
karena itu,
pengaturan
mengenai tim
sukses, tim kampanye, sukarelawan, dan tim-tim lainnya agar mendaftarkan
ke KPU agar ada
tanggungjawabnya
dalam proses
pemilu menjadi sebuah keharusan
agar tidak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan. Salah satu
contoh penyimpangan ialah bagi-bagi uang dan sembako yang
dilakukan oleh simpatisan karena tidak tercatat dan bukan sebagai tim sukses/kampanye maka
tidak bisa dijangkau oleh larangan kampanye atau larangan pemilu atau
bentuk pidana lainnya.[9]
3. Dana
Kampanye
Salah satu persoalan pengaturan dana
kampanye dari pemilu ke pemilu adalah audit dan pelaporan dana kampanye. Sistem PR terbuka telah membawa satu konsekuensi yang agak keliru,di
mana
peserta
pemilu
adalah
partai politik, tetapi
dalam
pelaporan dana kampanye, yang didorong
di antaranya adalah partai politik dan perorangan. Padahal peserta
pemilu
adalah partai politik.
Konsisten pengaturan mengenai dana
kampanye ini diperlukan agar lebih
memudahkan bagi KPU untuk melakukan verifikasi dan pengaturannya
berbasis pada siapa yang
menjadi peserta pemilu. Perubahan-perubahan pengaturan dana kampanye yang
perlu dilakukan adalah mendorong
semua transaksi
melalui perbankan. Tanpa ada kewajiban itu,
kontrol akan sulit dilakukan. Termasuk perbaikan
yang dibutuhkan adalah mekanisme
palaporan yang memiliki implikasi pada sanksi bagi peserta pemilu yang melakukan
pelanggaran, apakah pada
saat tahapan sedang berjalan
dengan kewajiban-kewajiban laporan dana kampanye yang
menjadi syarat sah atau tidaknya keikutsertaan partai politik
pada setiap
tahapan pemilu. Oleh karena
itu,
tahapan laporan dana kampanye, perlu didorong
menjadi syarat bagi sah tidaknya perolehan suara partai dan suara calon presiden/wakil presiden serta
anggota DPD sebelum proses
pengumuman pemenang dan
suara
dilakukan
oleh
KPU,
terlebih dahulu didahului oleh laporan audit dana
kampanye oleh akuntan
publik yang
terpercaya.
Adapun batasan-batasan besaran dana sumbangan yang diperolehkan kepada setiap orang dapat mempertahakan prinsip pengaturan dana kampanye yang telah diatur pada UU No. 8 Tahun
2012 dan UU No. 42 Tahun 2008.[10]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Ruang lingkup
Sistem pemilihan ini mengatur tata cara pemilu serentak nasional yang terdiri atas
mekanisme dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
dan tata cara pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); serta
tata cara pemilihan Anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Sementara itu, tata cara
pemilu serentak lokal tidak menjadi bagian pada
ruang lingkup sistem pemilihan
pemilu
serentak nasional ini.
2. Sistem pemilihan ini mengatur tata cara bagaimana calon presiden/wakil presiden,
calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih oleh rakyat secara langsung.
3. District Magnitude (besaran daerah pemilihan) selanjutnya disingkat DM adalah jumlah wakil
yang akan
dipilih dari satu daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan adalah jumlah alokasi
kursi buat satu daerah pemilihan, atau dengan kata lain,
penetapan jumlah wakil rakyat untuk
mewakili sejumlah penduduk/pemilih
dalam satu daerah pemilihan.
4. Bagi peserta pemilu
Anggota
DPR, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain: Partai politik yang memenuhi
syarat sebagai peserta pemilihan umum
secara serentak; Syarat partai politik sebagai peserta pemilu dalam Naskah Akademik ini adalah sebuah syarat yang diperketat, meliputi beberapa syarat sebagai berikut; Berstatus
badan hukum sesuai dengan Undang-undang tentang partai politik; Memiliki kepengurusan di
seluruh provinsi; Memiliki kepengurusan di 75%
(tujuh
puluh
lima persen)
jumlah
kabupaten/kota di provinsi bersangkutan; Memiliki kepengurusan di 60% (enam puluh lima persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; Memiliki kepengurusan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh
persen) pewakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.500 (seribu lima ratus) orang atau
1/1500 (satu perseribu lima ratus) dari jumlah penduduk
pada kepengurusan
partai politik sebagaimana di
maksud
pada poin 3; Memiliki kantor
tetap
untuk kepengurusan
di
tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota; Memiliki nama, lambang,
dan tanda gambar partai politik; dan Memiliki deposit (dana tabungan) sebagai syarat pendirian
partai
politik.
5. Proses pencalonan presiden/wakil presiden dalam pemilu serentak dilakukan dengan
beberapa tahapan
sebagai berikut: Presiden dan wakil presiden dicalonkan dalam satu paket yang utuh; Partai politik yang berhak mengajukan calon presiden adalah partai politik dan/atau gabungan yang
telah lolos sebagai
partai peserta pemilu; Sebelum proses pencalonan calon presiden dan wakil presiden
dilakukan oleh partai politik kepada Komisi Pemilihan
Umum, partai politik
diwajibkan melakukan proses pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon
presiden/wakil presiden yang
akan diusung oleh masing-masing
partai.
Pemilihan pendahuluan (konvensi) dilakukan dengan mengelar
proses
pemilihan calon presiden/wakil presiden
minimal melibatkan beberapa
unsur internal partai antara lain unsur pengurus partai mulai dari DPP, DPD, DPC dan ranting
dan
unsur anggota DPR, DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota dari partai yang bersangkutan. Selain itu, unsur-unsur anggota partai juga dapat
dilibatkan dalam pemilu
pendahuluan oleh masing-masing
partai politik. Proses pemilu pendahuluan dalam menentukan calon presiden/wakil presiden
ini dilakukan secara akuntabel, disupervisi oleh
KPU, dan diawasi oleh
Bawaslu; dan Partai politik yang tidak melakukan pemilihan awal (pra-pemilu) dalam
menentukan calon presiden/wakil
presiden, calonnya akan ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum;
Koalisi yang dibangun pada proses pencalonan putaran pertama masih diberi
kesempatan untuk
mengalami perubahan
apabila terjadi
pemilihan
presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Partai
dan/atau gabungan
partai
politik membentuk koalisi
permanen yang tetap
dan tidak dapat diubah diubah setelah
hasil pemilihan presiden/wakil presiden
putaran
kedua diputuskan.
6. Pemilu serentak diasumsikan akan dapat memunculkan efek
calon presiden terhadap pilihan
konstituen ke partai politik penggusungnya (presidential coattail). Selain itu, pemilu serentak juga ditengari akan melahirkan political eficacy, kecerdasan politik pemilih, karena
pemilih
didorong untuk rasional menentukan
pilihan baik kepada
calon presiden/wakil presiden
dan kepada partai politik peserta
pemilu. Dalam rangka mewujudkan
adanya presidential coattail dan political eficacy serta efektivitas pemilu serentak dalam mendorong terjadinya mulipartai
moderat, diperlukan suatu proses
kampanye yang
lebih panjang atau tidak dibatasi.
B. SARAN
Harusnya skema penyelenggaraan pemilu
terpisah antara pemilu nasional dan pemilu local/daerah di pihak lain. Agar
penyelenggaraan pileg tidak mendahului pemilu presiden/wapres (pilpres), karena
pada saat ini bangsa kita sepakat untuk semakin memperkuat bangunan sistem
kepresidensial. Pileg yang mendahului pilpers dalam skema presidensial jelas
suatu anomalia atau penyimpangan mengingat di dalam sistem presidensial,
lembaga legislative terpisah dari eksekutif.
Paling tidak ada
dua UU pemilu serentak yang harus
dibuat, pertama UU Pemilu
Serentak Nasional
dan perubahan atas
UU Pemilihan Umum
Kepala Daerah
(Pemilukada) menjadi Pemilu
Lokal Serentak
pada tingkatan
provinsi.
DAFTAR RUJUKAN
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Haris, Syamsuddin, dkk. Pemilu Nasional Serentak 2019. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2016.
[2]
Desain yang disusun oleh LIPI menggunakan komposisi PR dan Mayoritarian dengan
perbandingan 70:30. Hasil silmulasi menunjukkan ada partai pemenang mayoritas
minimal dimana simulasi dengan data pemilu 2009 partai pemenang pemilunya memperoleh 34 persen kursi di parlemen, sedangkan simulasi dengan data Pemilu
2014
menunjukkan partai pemenang pemilu memperoleh 26 persen kursi di parlemen. Secara desain sudah diuji
oleh
Pusat Penelitian Politik yang dapat mendorong
percepatan terciptanya multipartai moderat di parlemen. Hasil
tersebut dapat dilihat pada penelitian Pusat Penelitian Politik, Adaptasi Sistem Pemilu Paralel Bagi Indonesia,
(Jakarta: P2P-LIPI, 2014).
[3]
Upaya untuk menghasilkan multipartai yang moderat (sederhana) dalam Naskah Akademik Desain
Pemilu Serentak 2019
ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: pertama, penataan district magnitude¸melalui
perubahan besaran daerah pemilihan dari 3-10 menjadi 3-6. Kedua, melakukan proses penyebaran quota kursi (560 kursi DPR) ke setiap daerah pemilihan
dengan rumus Saint Leaque Divisor (1, 3, 5, 7, 9...dst). Ketiga, melakukan perbaikan rumus konversi suara menjadi kursi dari Bilangan Pembangi Pemilih (BPP) dengan menggunakan rumus
Saint Leaque Divisor (1, 3, 5, 7, 9...dst).
[4]
Syarat dana deposit ini sebaiknya diatur pada UU Partai Politik, bahwa dalam
proses pendirian partai politik ada kewajiban untuk menyetorkan dana kepada kas
Negara. Besaran dana ini ditetapkan atas dasar
kesepakatan dalam proses penyusunan UU Partai Politik. Di sarankan bahwa besaran dana ini minimal 10 miliar. Selain tujuannya untuk membatasi agar tidak semua orang
secara mudah mendirikan partai politik,
juga ada
tanggungjawab dari badan atau perkumpulan yang ingin mendirikan partai politik dengan kewajiban menyetor
dana
deposit. Apabila partai yang didirikan tidak lolos dalam pemilu, dana tersebut dipergunakan
oleh negara untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan politik kepada
konstituen.
No comments:
Post a Comment