PERATURAN DAERAH PROVINSI
Makalah Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri
(STAIN) Watampone
Oleh :
Kelompok 6
v
Rosihan Bahar
v
Ayu Andira
v
Rafli
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
WATAMPONE
|
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT, atas segala berkat dan karuniaNya sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini, dengan judul "Peraturan Daerah Provinsi".
Makalah ini dapat digunakan sebagai wahana untuk
menambah pengetahuan, sebagai teman belajar, dan sebagai referensi tambahan
dalam belajar khususnya tentang Peraturan Daerah
Provinsi. Makalah ini dibuat sedemikian rupa agar pembaca
dapat dengan mudah mempelajari dan memahami isi makalah secara lebih lanjut.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Watampone, 07 Desember 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 3
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 3
BAB II... PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peraturan Daerah Provinsi.................................. 4
B.
Fungsi Peraturan Daerah Provinsi........................................ 5
C.
Prosedur Penyusunan Perda Provinsi................................... 6
D.
Asas Pembentukan Perda Provinsi ...................................... 11
BAB III.. PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 15
B.
Saran..................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut Undang- Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah.Definisi lain adalah peraturan perundang- undangan yang
dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah
baik di Propinsi maupun di Kabupaten/KotaDalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas
pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing- masing daerah.Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota.
Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan
dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan
harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem
hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya
yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Secara umum dapat dikemukakan adanya empat
kemungkinan faktor yang menyebabkan norma hukum dalam undang-undang atau
peraturan perundang-undangan dikatakan berlaku[1]
Peraturan perundang-undangan dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hierarki maksudnya peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan dan fungsi perda berbeda
antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang
termuat dalam UUD/Konstitusi dan UU Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut
juga terjadi pada penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya
urusan yang ada pada pemerintah daerah.
Demikian juga terhadap mekanisme
pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun
mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus
mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang UU Pemerintahan Daerah,
UU tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus
mengatur tentang perda.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
peraturan daerah Provinsi?
2.
Apa fungsi dari peraturan
daerah provinsi?
3.
Bagaimanakah Prosedur
penyusunan peraturan daerah provinsi?
4.
Bagaimanakah asas-asas
peraturan daerah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian
peraturan daerah Provinsi.
2. Untuk mengetahui fungsi dari
peraturan daerah provinsi.
3. Untuk mengetahui Prosedur penyusunan
peraturan daerah provinsi.
4. Untuk mengetahui asas-asas
peraturan daerah.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peraturan Daerah
Provinsi
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/walikota). Materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut UU Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor
87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Pengertian
Peraturan Daerah Provinsi
adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.[2]
Perda Provinsi
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7
ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU 12/2011). Pengertian Perda Provinsi adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
dengan persetujuan bersama Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU 12/2011). Materi muatan
Perda Provinsi berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 14 UU
12/2011).[3]
Peraturan daerah
provinsi adalah peraturan yang dibentuk oleh gubernur/kepala daerah provinsi
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada
pemerintah daerah provinsi. Menurut undang-undang no.12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dimaksud degan peraturan daearah
adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentul oleh dewan perwakilan
rakyat daerah dengan persetujuan kepala daerah.[4]
Kewenangan
pembentukan peraturan daerah provinsi ini merupakan sautu kewenangan
(atribusian) untuk mengatur daerahnya sesuai
pasal 136 undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, namun
demikian pembentukan suatu peraturan daerah ini dapat juga merupakan pelimpahan
wewenang (delegasi) dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi[5]
B. Fungsi
Peraturan Daerah Provinsi
Fungsi Peraturan
Daerah Provinsi adalah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) serta
dekonsentrasi dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13(tugas pembantuan) dari UU No. 22/1999 yang
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25/2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propini Sebagai Daerah Otonom (vide Pasal
3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Propinsi juga untuk
menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Propinsi dalam
rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan
keuangan daerah Propinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1)
UU No. 25/1999tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Fungsi Peraturan
Daerah diatur dalam BAB IV khususnya pada pasal 69 dan pasal 70. UU no. 22
Tahun 1999. Fungsi Keputusan Kepala Daerah Adalah
menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang
bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan.[6]
C.
Prosedur
Penyusunan Perda Provinsi
1.
Perumusan
Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah
(gubernur, bupati, atau walikota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah
disampaikan kepada DPRD. Draf Raperda pada dasarnya adalah kerangka
awal yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah sosial yang hendak diselesaikan.
Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka
rancangan perda tersebut harus secara jelas mendiskripsikan tentang penataan
wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing
agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi
masyarakat yang harus mematuhinya (rule occupant). Secara sederhana harus dapat
dijelaskan : siapa lembaga pelaksana aturan, kewenangan apa yang diberikan
padanya, perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan
organ yang menetapkan sanksi atas ketidak patuhan, persyaratan apa yang
mengikat lembaga pelaksana, apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat
pelaksana jika menyalahgunakan wewenang.[7]
Rumusan
permasalahan pada masyarakat akan berkisar pada siapa yang berperilaku
bermasalah, jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku
bermasalah tersebut, jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan
kepatuhan. Kerangka berfikir di atas, akan menghasilkan sebuah draf tentang
penataan kelembagaan yang menjadi pelaksana. Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah
dapat dijelaskan, dinas/kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan
perda tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Penataan wewenang juga
akan menghasilkan herarkhi kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup
tanggungjawab yang melekat padanya.
Misalnya Wewenang menandatangani ijin ada pada Bupati,
tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang
mengeluarkan ijin atas nama Bupati dsb. Penataan jenis perilaku akan
menghasilkan, perda tentang larangan atau ijin dan perda tentang kewajiban
melakukan hal tertentu atau dispensasi.
Drafter harus menjelaskan pilihan tentang norma kelakuan
yang dipilihnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Norma larangan akan
menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang perbuatan yang dilarang. Jika
menginginkan ada perkecualian, maka dirumuskan pula norma ijin. Konsekwensinya
adalah merumuskan sistem dan syarat perijinannya.
Sistem dan syarat perijinan ini dirumuskan dengan
kreteria ijin perorangan atau ijin kebendaan. Demikian juga, syarat-syarat
permohonan ijin yang secara proporsional dapat dipenuhi oleh oleh pemohon.Jika
norma kelakuan dirumuskan dengan norma perintah, maka eksepsinya adalah dengan
merumuskan norma dispensasi.
2. Pembahasan
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh
DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui
tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna. Terdapat dua tahap penting
pembahasan draf raperda, yaitu pada lingkup tim teknis eksekutif dan pembahasan
bersama dengan DPRD.
Pembahasan pada tim teknis, adalah pembahasan yang lebih
merepresentasi pada kepentingan eksekutif. Oleh UU tentang perundang-undangan,
diwajibkan bagi pemerintah untuk memberi kesempatan kepada semua masyarakat
berpartisipasi aktif baik secara lisan maupun tulisan (Pasal 53). Pembahasan
pada lingkup DPRD sangat sarat dengan kepentingan politis masing-masing fraksi.
Tim kerja di lembaga legislative dilakukan oleh komisi (
A s/d E) yang menjadi counterpart eksekutif. Pembahasan di DPRD biasanya
diformat dengan tahapan, Pengantar Eksekutif pada sidang Paripurna Dewan,
Pemandangan Umum Fraksi, Pembahasan dalam PANSUS (jika diperlukan), Catatan
akhir Fraksi, Persetujuan anggota DPRD terhadap draf raperda. [8]
3.
Pengesahan
Perjalanan akhir dari perancangan sebuah draf perda
adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah oleh
pihak pemerintah daerah dengan DPRD. Dalam konsep hukum, perda tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum materiil (materiele rechtskrach) terhadap pihak yang
menyetujuinya.
Sejak ditandatangani, maka rumusan hukum yang ada dalam
raperda tersebut sudah tidak dapat diganti secara sepihak. Pengundangan dalam
Lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui agar raperda mempunyai
kekuatan hukum mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum, maka draf raperda
sudah menjadi perda yang berkekuatan hukum formal (formele-rechtskrach). Secara
teoritik, “semua orang dianggap tahu adanya perda” mulai diberlakukan dan
seluruh isi/muatan perda dapat diterapkan.
Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum,
menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) perda harus dilakukan.
Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara perda dengan masyarakat
yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau
norma yang diatur dalam perda sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh
DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada
Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu
palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut
disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka
waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota.
Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda
tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.[9]
D.
Asas Pembentukan Perda Provinsi
Pembentukan Perda Provinsi yang
baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
1. Kejelasan tujuan, yaitu bahwa
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
2. Kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat
dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.
3. Kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
4. Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan,
yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa
dan bernegara.
6. Kejelasan rumusan, yaitu setiap
peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
7. Keterbukaan, yaitu dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Di samping itu materi muatan Perda
harus mengandung asas-asassebagai berikut:[10]
1. Asas pengayoman, bahwa setiap
materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
2. Asas kemanusiaan, bahwa setiap
materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
3. Asas kebangsaan, bahwa setiap
muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
4. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi
muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
5. Asas kenusantaraan, bahwa setiap
materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila.
6. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa
setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah
masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. asas keadilan, bahwa setiap materi
muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara tanpa kecuali.
2. asas kesamaan dalam hukum dan
pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras,
golongan, gender atau status sosial.
3. asas ketertiban dan kepastian
hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
4. asas keseimbangan, keserasian dan
keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara.
5. asas lain sesuai substansi Perda
yang bersangkutan.
Selain asas dan materi muatan di
atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan
keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Prinsip dalam menetapkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui mekanisme APBD, namun demikian untuk mencapai tujuan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat daerah bukan hanya melalui mekanisme tersebut tetapi
juga dengan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan potensi dan keunggulan
lokal/daerah, memberikan insentif (kemudahan dalam perijinan, mengurangi beban
Pajak Daerah), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang di daerahnya
dan memberikan peluang menampung tenaga kerja dan meningkatkan PDRB masyarakat
daerahnya.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Peraturan daerah provinsi adalah peraturan
yang dibentuk oleh gubernur/kepala daerah provinsi bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi,
dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada pemerintah daerah
provinsi.
Fungsi Peraturan
Daerah Provinsi adalah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) serta
dekonsentrasi dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13(tugas pembantuan) dari UU No. 22/1999 yang
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25/2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propini Sebagai Daerah Otonom (vide Pasal
3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Propinsi juga untuk
menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Propinsi dalam
rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan
keuangan daerah Propinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1)
UU No. 25/1999tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Prosedur Penyusunan Perda
Provinsi yaitu : Perumusan Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda), Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda),
Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).
B.
Saran
Pemerintah dalam merancang dan membuat
peraturan daerah provinsi hendaknya memperhatikan asas-asas pembuatan perda
yang baik, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Peraturan Daerah dibuat untuk menciptakan suasana
pemerintahan yang baik dan teratur, bukan malah membuat masalah baru dalam
masyarakat. Untuk itu keprofesionalan dan kearifan pemerintah sangatlah
dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (jilid I), Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Boko, Ronny Sautma Hotma, Pengantar Pembentukan Undang-Undang Republik
Indonesia, Bandung: Citra Adytia Bhakti, 1999.
C.S. T. Kansil dan Christine S. T, Hukum Tata
Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Erni Setyowati, dkk, Bagaimana Undang-Undang dibuat, The Asia Foundation, Jakarta: Pusat
Stusi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003.
Galery Ilmu,
2016. Pengertian Peraturan Daerah Provinsi. https://a-i-n-a.blogspot.com/2016/04/pengertian-peraturan-daerah-provinsi.
html (Diakses 07 Desember 2017, jam 07.45)
Indrati
S. Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan2
Proses dan Teknik Pembentukannya. Penerbit : Kansius Yogyakarta, 2007.
Kinel Blog, 2016.Beda
Peraturan Daerah (PERDA) dan Peraturan Gubernur (PERGUB) https://kinelblog.wordpress.com/2016/04/05/beda-peraturan-daerah-perda-dan-peraturan-gubernur-pergub/(Diakses
07 Desember 2017, jam 08.00)
Yuliandri, S.H.,M.H, Asas-Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara (jilid I), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.Hal 166
[2]Galery Ilmu, 2016. https://a-i-n-a.blogspot.com/2016/04/pengertian-peraturan-daerah-provinsi.
html (Diakses 07 Desember 2017, jam 07.45)
[3] Kinel Blog, 2016. https://kinelblog.wordpress.com/2016/04/05/beda-peraturan-daerah-perda-dan-peraturan-gubernur-pergub/(Diakses
07 Desember 2017, jam 08.00)
[5] C.S. T. Kansil dan Christine S. T, Hukum
Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlmn.36
[6] Indrati S. Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan2 Proses dan Teknik
Pembentukannya. Penerbit : Kansius Yogyakarta, 2007. Hlmn,97
[10] Boko, Ronny Sautma Hotma, Pengantar
Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia, Bandung: Citra Adytia Bhakti,
1999.Hlmn.121
[11]Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
hal. 98
No comments:
Post a Comment