PROSES PEMBUATAN UNDANG-UNDANG
Makalah Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Legislasi di Indonesia
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN)
Watampone
Oleh :
Kelompok 5
-
Sri Gusti Handayani
-
Nur Haliza
-
Syahreni
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
WATAMPONE
|
2017
KATA
PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah memang sepantasnya kita panjatkan selalu ke hadirat Allah SWT
yang senantiasa memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Alhamdulillah
kami selaku mahasiswa STAIN Watampone, berbahagia sekali mendapat tugas makalah
dari hasil kajian kami sendiri dari beberapa literatur tentang ilmu
perundang-undangan dan juga dari Internet. Terus terang kami sampaikan kepada
salah satu dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan. bahwa dalam Makalah
ini kami yakin masih belum
perfect seperti yang bapak inginkan, Namun tidak menutup kemungkinan pada
kesempatan lain kami akan berusaha untuk membaca dan mengetik lebih banyak lagi.
Atas segala kekurangan dalam
Makalah ini, kami mohon maaf dan mohon
kritik ataupun saran demi perbaikan selanjutnya.
Akhirnya
kami hanya berharap semoga ikhtikad baik penulis makalah ini bernilai iba di
mata Allah SWT, dan memberikan pemahaman utuh kepada seluruh lapisan masyarakat
Indonesia.Amin.
Watampone, 26 Maret
2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................... 2
BAB II... PEMBAHASAN
A.
Rancangan Undang-Undang (RUU)................................... 3
1.
Pengertian...................................................................... 3
2.
Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang ........ 4
3.
Tahap Pembentukan Undang-Undang.......................... 10
B.
Peraturan Perundang-Undangan (PERPU).......................... 15
1.
Pengertian ..................................................................... 15
2.
Asas Asas Peraturan
Perundang-Undangan.................. 16
BAB III.. PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 20
B.
Saran..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang
merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar pelaksanaan dari keseluruhan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal policy” yang dituangkan dalam
undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang membuat kebijaksanaan
yang hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima
nilai-nilai baru.[1]
Didalam
negara yang berdasarkan atas hukum moderen (verzorgingsstaat), tujuan utama
dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodipikasi bagi normanorma
dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi
tujuan utama pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modipikasi atau
perubahan dalam kehidupan masyarakat.[2]
Menindaklanjuti
amanah dari ketentuan pasal 18 ayat (3) UU NO. 11 Tahun 2011 dalam ihwal
urgensi pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur ketentuan
ketenutan lebih lanjut tata cara mempersiapkan RUU, Presiden RI menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 Tentang Cara Mempersiapkan Rancangan UU,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, Racangan Peraturtan Presiden. (Penulisan selanjutnya disingkat
dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005-Penulis)[3]
Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan
pada pemikiran bahwa
Negara Indonesia adalah negara
hukum. Sebagai negara
hukum, segala aspek
kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas
hukum yang sesuai dengan sistem hukum
nasional.
Perkembangan
peratuaran perundangan sangat flexible mengikuti perkembangan zaman
sesuai dengan Pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur
lebih lanjut dengan
undang-undang.” Namun, ruang
lingkup materi muatan Undang-Undang ini
diperluas tidak saja Undang-Undang tetapi
mencakup pula Peraturan
Perundang-undangan lainnya,
selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam
makalah ini kita akan mengupas bagaimana Proses RUU dari pemerintah dan dari DPR-RI,Serta Asas asas
Pembentukan Peraturan yang baik digunakan dalam proses RUU, yang akan dibahas di dalam makalah ini. Dan bagaimana cara pengaturan
pembentukan peraturan perundang–undangan di indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang?
2.
Bagaimana Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dalam
Proses Penyusunan RUU yang akan dibuat ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang.
2.
Mengetahui Bagaimana Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik dalam Proses Penyiapan RUU yang akan dibuat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rancangan Undang-Undang (RUU)
1.
Pengertian
Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari
perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut
dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif
(Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR).
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas
program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional
yang integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di bawah
UU. Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:
a.
Perintah UUD NKRI Tahun 1945;
b.
Perintah Ketetapan MPR;
c.
Perintah UU lainya;
d.
Sistem perencanaan pembangunan nasional;
e.
Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f.
Rencana pembangunan jangka menegah;
g.
Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;
h.
Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang
diatur, dan keterkaitanya dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi
yang diatur dan keterkaitanya dengan peraturan perundang-undang lainya merupakan
keterangan mengenai konsep RUU yang meliputi:
a.
Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.
Sasaran yang ingin diwujudkan;
c.
Jangkawan
dan arah peraturan.[4]
2.
Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Penyusunan RUU
dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut
sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU
dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu,
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu
mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Pengajuan permohonan ijin
prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang
meliputi (i) urgensi dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan,
(iii) pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv)
jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara itu,
Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa
dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a) menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b) meratifikasi konvensi atau
perjanjian internasional; (c) melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d)
mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e)
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU
yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.
Dalam hal RUU yang
akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan
persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat
terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur.
Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan
departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
di bidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Depkumham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat
diserahkan kepada perguruan tinggi
atau pihak ketiga lainnya yang
mempunyai keahlian.[5]
a.
Penyusunan RUU Berdasarkan
Prolegnas
Ketentuan tentang penyusunan RUU
yang dilakukan pemrakarsa berdasarkan prolegnas diatur dalam pasal 2 Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005. Ditetapkan bahwa Penyusunan RUU yang berdasarkan
Prolegnas tidak memerlukan izin pemrakarsa dari presiden. Namun, secara
berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan RUU tersebut kepada
presiden
Proses ini diawali dengan
pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini
terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang
terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang
ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen
dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan
fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
Dalam setiap panitia antar
departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan
pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan. Panitia antar
departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil
mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan
kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU
dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di
bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
Hasil perancangan selanjutnya
disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan
prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia
antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan
perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan
kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.
Selama penyusunan, ketua panitia
antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan
kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan
rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya
dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada
masyarakat.
Pemrakarsa menyampaikan RUU
kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan
perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh
pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan
dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan
perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak RUU diterima.
Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan
dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham
menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait.
Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan
hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan.
Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan
Menhukham.
Dalam hal RUU tidak memiliki
permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan
perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden
untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih
mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan
pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka
pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden.[6]
b.
Penyusunan RUU diluar Prolegnas
Pada dasarnya Proses penyusunan
RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya
saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib
dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan
oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara
pemrakarsa dengan Menhukham.
Selanjutnya, untuk kelancaran
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham
mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang
mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan
dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat
melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.
Apabila koordinasi tersebut tidak
berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai
dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul.
Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan
yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU.
Namun, apabila koordinasi yang
bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU
tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada
presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui
maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen.
Tacara pembentukan panitia antar
departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU
berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.[7]
c.
Penyampaian RUU Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan
pembahasan. Menteri Sekretaris Negara menyiapkan surat Presiden kepada
Pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan Pemerintah
mengenai Rancangan Undang-Undang dimaksud. Surat Presiden sebagaimana dimaksud
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 yang terdapat pada Pasal 26 ayat (2)
paling sedikit memuat :
1)
Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat;
2)
Sifat penyelesaiaan Rancangan Undang-Undang yang dikehendaki; dan
Keterangan Pemerintah disiapkan oleh Pemrakarsa, yang paling sedikit memuat
:
1)
Urgensi dan tujuan penyusunan;
2)
Sasaran yang ingin diwujudkan;
3)
Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
4)
Jangkauan serta arah pengaturan;
Surat Presiden
ditembuskan kepada Wakil Presiden, para menteri koordinator,
menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden/Pemrakarsa, dan Menteri.
Dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat,
Pemrakarsa memperbanyak Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang
diperlukan.
Dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri yang
ditugasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a wajib
melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada Presiden untuk
memperoleh keputusan dan arahan. Apabila dalam pembahasan terdapat
masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan
mengubah isi serta arah Rancangan Undang-Undang, Menteri yang
ditugasi mewakili Presiden wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada
Presiden disertai dengan saran pemecahannya untuk memperoleh keputusan.
d.
RUU Yang Disusun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
RUU yang berasal dari usul
inisiatif DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu
1)
Badan Legislasi;
2)
Komisi;
3)
Gabungan komisi;
4)
Tujuh belas orang anggota.
Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota
diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah
akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan
kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan
kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut
secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima
atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan
pendapat.
Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan
kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU
tersebut. Apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai
disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan
kepada Presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUU yang diajukan berhubungan
dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang Menteri yang akan
mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat
dari DPR. Demikian pula halnya, DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan
mewakili dalam proses pembahasan.[9]
3.
Tahap
Pembentukan Undang-Undang
a.
Tahap Perencanaan
Dari perspektif perencanaan,
pembentukan undang-undang dimulai dari penyusunan Program Legislasi Nasional.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan salah satu instrument penting
dalam kerangka pembangunan hukum, khususnya dalam konteks pembentukan materi
hukum.
1)
Proses Penyusunan
ProlegnasDalam proses penyusunan Prolegnas, penentuan
arah kebijakan dan penyusunan daftar judul dilakukan pemerintah mapun di DPR RI
secara terpisah. Masing-masing, baik pemerintah maupun DPR, menggalang masukan
dari berbagai pihak. Pemerintah meminta dan menerima masukan dari setiap
kementerian dan non-kementerian yang ada di lingkungan pemerintahan. Sedangkan
DPR menggalang masukan dari anggota DPR, fraksi, komisi, DPD dan masyarakat.
2)
Keputusan Prolegnas
Daftar judul RUU yang ada dalam Prolegnas yang
merupakan hasil dari pembahasan bersama antara Pemerintah dan DPR kemudian
ditetapkan di Rapat Paripurna DPR untuk kemudian dimuat dalam keputusan
DPR RI.
3)
Pengajuan RUU diluar
Prolegnas
Dalam
keadaan tertentu, pemrakarsa RUU (baik itu Pemerintah atau DPR) dapat
mengajukan RUU dari luar daftar Prolegnas.
Rancangan undang-undang (yang diajukan di luar Prolegnas) terlebih
dahulu disepakati oleh Badan Legislasi
dan selanjutnya Badan Legislasi melakukan koordinasi dengan menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan
persetujuan bersama, dan hasilnya dilaporkan dalam rapat paripurna untuk
ditetapkan.
b.
Tahap Penyusunan
Didalam tahap penyusunan UU, proses
penyusunanya dilakukan mulai dari perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar
prioritas Prolegnas. Selanjutnya penyiapan RUU yang diajukan oleh Presiden atau
DPR. Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai
Naskah Akademik. UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan dalam
pengajuan sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:
1)
APBN;
2)
Penetapan Perpu; atau
3)
Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai
dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan meteri muatan yang diatur.
Kemudian hal penting yang terkait
dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP
bahwa penyusunan Naskah Akademik yang tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP,
sehingga didapatkan formula Naskah Akademik yang sama, baik dari sisi
sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi yang akan diatur.
Untuk memastikan bahwa penyusunan
RUU berjalan baik seusuai prosedur dan teknik penyusunan perundang-undangan,
maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU yang diajukan kepada DPR oleh anggota
DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus dilakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Badan Legislasi DPR RI. Demikian
halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden yang penyiapanya dilakukan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup
tugas tanggung jawabnya, dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi RUU oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan mengenai
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU didalam Pasal 46 dan
47 UU PPP diatur lebih jelas, tersetruktur, dan masing-masing terintegrasi
didalam peraturan DPR maupun Perpres tentang tata cara mempersiapkan RUU.[10]
c.
Tahap Pembahasan
Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP
menjelaskan bahwa pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun
1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama”. Adapun pelibatan atau keikutsertaan DPD dalam
pembahsan RUU hanya dilakukan apabila RUU yang dibahas berkaitan dengan:
1)
Otonomi daerah;
2)
Hubungan pusat dan daerah;
3)
Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah;
4)
Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya; dan
5)
Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan
RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat I (Satu), kemudian dalam pembahsan
tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan RUU
tersebut.[11]
d.
Tahap Pengesahan
Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang
telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR
kepada Peresiden untuk disahkan menjadi UU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak
untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU
kelembaran resmi Presdiden sampai dengan penandatangan pengesahan UU oleh Presiden
dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) oleh Mentri Hukum dan HAM.
e.
Tahap Pengundangan
Pengundangan peraturan
perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah,
Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Penempatan peraturan
perundang-undangan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara
Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh peraturan perundang-undangan an
sich. Sementara penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat
dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. Untuk melaksanakan pengundangan peraturan
perundangan-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita
Negara Republik Indonesia.[12]
f.
Tahap Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU
merupakan kegiatan untuk memberikan informasi dan/atau memproleh masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan mengenai Prolegnas dan RUU yang
sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat
memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU tersebut atau
memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut dilakukan
melalui media elektroknik dan/atau media cetak.
Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif
dalam penyebarluasan, bukan hanya kewenagan pemerintah semata, melainkan
penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh DPR dan pemerintah. Didalam UU ini
diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan pemerintah
yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR. Penyebarluasan RUU yang berasal
dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR. Sementara
penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi
pemrakarsa.
Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU
PPP diatur bahwa penyebarluasan UU yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara bersama-sama oleh DPR dan pemerintah.
Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
maka penyebarluasan UU tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.[13]
B. Peraturan Perundang-Undangan
(PERPU)
1.
Pengertian
Bagir
Manan dan Kuntana Magnar (1987) memberikan pengertian peraturan
perundang-undangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan
dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan)
fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Pengaturan
pembentukan peraturan perundang–undangan dalam Undang-Undang bisa dipertinci
sebagai berikut[14]
:
a.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan[15].
b.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
c.
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
d.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.
Dari
penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahawasanya pembentukan peraturan
perundang undangan adalah Peraturan Perundang-undangan tertulis yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan yang memuat norma hukum yang dimuat oleh pejabat yang berwenang.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
2.
Asas Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Dalam Proses pembentukan
Peraturan yang baik, tidak terlepas dari asas-asas yang baik, Sama halnya
dengan Proses Penyiapan RUU juga memerlukan pedoman dalam penyiapannya. Asas asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik adalah asas hukum yabg memberikan
pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan
yang sesuai, tepat dalam penggunaaan metodenya, serta mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan.[16]
Asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik ini dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai
berikut:[17]
a.
Kejelasan tujuan;
Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah
bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
b.
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ
pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.
c.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara
jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
d.
Dapat dilaksanakan;
Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan”
adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan
kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
f.
Kejelasan rumusan; dan
Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan”
adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan peraturan perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g.
Keterbukaan.
Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah
bahwa dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan
dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan
peraturan perundang-undangan dirumuskan dalam pasal 6 sebagai berikut :
a.
Pengayoman;
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
b.
Kemanusiaan;
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk indonesia secara proporsional.
c.
Kebangsaan;
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan republik indonesia.
d.
Kekeluargaan;
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.
Kenusantaraan;
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah
bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah indonesia dan materi
muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila.
f.
Bhinneka tunggal iika;
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika”
adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaza
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.
Keadilan;
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
h.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Yang dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender,
atau status sosial.
i.
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Yang dimaksud dengan ”asas ketertiban dan
kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum.
j.
Keseimbangan; keserasian, dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Proses
Penyiapan Rancangan Undang-Undang ( RUU ), terdapat banyak prosedur dan cara
dalam membuatnya, Ada Proses penyiapan RUU dari pemerintah, yang mana
berdasarkan prolegnas yaitu tidak memerlukan izin pemrakarsa dari presiden.
Namun, secara berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan RUU
tersebut kepada presiden. Dan juga di luar dari prolegnas yaitu sama dengan
Prolegnas tetapi ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam
tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal
ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui
metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.
Ada juga Proses
Penyiapan RUU dari DPR-RI yang mana harus telah disetujui dulu oleh presiden
lalu disampaikan kepada DPR-RI Untuk pembahasan, Proses ini diawali dengan
penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada
pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah
mengenai RUU yang dimaksud. Dalam Pembentukan Proses Penyiapan RUU Juga
memerlukan asas-asas yang baik sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 5
dan 6 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
B. Saran
Sebagai generasi
penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan pentingnya konstitusi bagi
negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dengan
konstitusi ini untuk dapat kita jadikan pedoman dalam mengatasi setiap masalah
dalam kapasitas kita sebagai warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz
Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta
Timur; Sinar Grafik (2014)
Erni
Setyowati dan M. Nur Sholikin, Bagaimana Undang-Undang Dibuat, sebuah artikel, diunduh dari
http://pengacaraku.com/site/legal-articles/75-bagaimana-undang-undang-dibuat-.html
di Akses pada pukul 19.55 Tanggal 26 Maret 2017
Maria
Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2. Yogyakarta:
Kanisius
Penjelasan
Pasal 5 yang dikutip dari
http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/asas-asas-pembentukan-peraturan.html
di Akses pada Pukul 20.00 Tanggal 26 Maret 2017
Republik
Indonesia.2011. Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan.Lembaran Negara RI Tahun 2011, No.82. Tambahan
Lembaran Negara RI No.5234. Sekretariat Negara. Jakarta.
Yani,
Ahmad, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif,
Jakarta: Konstitusi Press (2013).
Yuliandri.
Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan Yang Baik.
Jakarta: RajaGrafindo Persada (2010)
[1] Yuliandri, Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada(2010), hal.1
[2] Farida, Maria, Ilmu
Perundang-Undangan, Yogyakarta:Kanisius 2007, hal.2
[4]
Yani, Ahmad, Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif,
Jakarta: Konstitusi Press (2013), Hal. 25
[5] Aziz
Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta
Timur; Sinar Grafik (2014) hlm. 60
[6]
Aziz
Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta
Timur; Sinar Grafik (2014) hlm.61-63
[7]
Aziz
Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta Timur; Sinar
Grafik (2014) hlm.63-64
[9]
Aziz
Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta Timur; Sinar
Grafik (2014) hlm.65
[10] Yani,
Ahmad, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif, Jakarta:
Konstitusi Press (2013), Hal.32-34
[11] Ibid, Hal.41
[12] Ibid,
Hal.45-50
[13] Yani,
Ahmad, Op, cit, Hal 52
[14]
Undang-undang republik indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undanagan
[16] Yuliandri.
Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan Yang Baik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada (2010) hlm. 23
No comments:
Post a Comment