Tuesday, 19 December 2017

Makalah Psikologi Agama AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

Makalah Psikologi Agama AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL


 









Dipresentasekan Dalam Seminar Mata Kuliah Psikologi Agama
Semester  III  Konsentrasi  Pendidikan  Agama  Islam
Magister (S2) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone



Oleh

MUHAMMAD ADIL
NIM : 160202049




Dosen Pemandu

Dr. Wardana S.Ag., M.Pd





PROGRAM PASCASARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
W A T A M P O N E

 
2017


KATA PENGANTAR

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQtl08659PjYUwWbz0DrlYEW2TccnYhTElz8N2AmWyc_zgaXDb5Vg

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Agama dan Kesehatan Mental”. Kemudian shalawat serta salam, kami sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pemandu  yang telah memberikan bimbingan serta arahan serta semu pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



                                                                          Watampone, 24 November 2017

   Penyusun
                                                                                           



DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................               i
DAFTAR ISI .............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.....................................................................               1
B.       Rumusan Masalah.................................................................               2
C.       Tujuan Penulisan...................................................................               2
BAB II... PEMBAHASAN
A.       Manusia dan Agama.............................................................               3
B.       Agama dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental.......               5
C.       Terapi Keagamaan................................................................               7
D.       Musibah................................................................................               8
E.        Kematian..............................................................................               13
BAB III.. PENUTUP
A.       Kesimpulan...........................................................................               14
B.       Saran.....................................................................................               14
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kecenderungan hubungan agama dan kesehatan mental telah banyak ditelusuri dari zaman kuno yang masih menganggap suatu penyakit sebagai intervensi makhluk gaib, hingga zaman modern yang menggunakan alat medis dalam mendiagnosa adanya suatu penyakit. Masyarakat modern pada saat ini memandang bahwa penyakit hanya akan terdiagnosis apabila muncul gejala-gejala biologis. Teknologi yang telah mengalami kemajuan pada saat ini membawa manusia kepada keyakinan bahwasannnya suatu penyakit muncul hanya karena faktor fisik saja. Asumsi pada zaman kuno yang menyatakan bahwa makhluk halus ada hubungannya dengan suatu penyakit dapat dipatahkan dengan penggunaan alat medis yang canggih yang membuktikan bahwa itu adalah kuman atau virus.
Sejak awal-awal abad kesembilan belas oleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental dan sebaliknya gangguann mental dapat menyebabkan penyakit fisik. Terkait dengan kesehatan mental tentunya tidak lepas dengan peran serta agama.
Pada zaman dahulu ketika tekhnologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap penyakit yang diderita oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan dengan gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu perobatan.
Pergeseran zaman dan kemajuan tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat dilihat dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan menggunakan metode pengolahan canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat lebih menspesifikkan penyakit-penyakit tersebut. Ada penyakit yang bersumber dari virus, bakteri atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan obat-obatan medis, tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu, jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau baksil-baksil, namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Pada makalah ini kami akan berusaha menyajikan tentang Agama dan Kesehatan Mental sebaik mungkin yang kami dapat dari literatur-literatur yang telah kami dapatkan.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hubungan antara manusia dan agama?
2.    Bagaimana pengaruh agama terhadap kesehatan mental?
3.    Bagaimana terapi keagamaan menanggulangi gangguan kesehatan mental?
4.    Bagaimana pandangan psikologi agama terhadap musibah?
5.    Bagaimana pandangan psikologi agama terhadap kematian?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui hubungan antara manusia dan agama.
2.    Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap kesehatan mental.
3.    Untuk mengetahui terapi keagamaan dalam menanggulangi gangguan kesehatan mental.
4.    Untuk mengetahui pandangan psikologi agama terhadap musibah.
5.    Untuk mengetahui pandangan psikologi agama terhadap kematian.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Manusia dan Agama
Agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan agama tampaknya merupakan hubungan yang bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa (sense of guilty).
Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi. Agama menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam bentuk tasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak- berdayaannya  menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).[1]
Agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan, hal ini karena manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (consience of man).
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Al-Qur’an. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam QS.Ar Rum:30-31.[2]
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ * tûüÎ6ÏYãB Ïmøs9Î) çnqà)¨?$#ur (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# Ÿwur (#qçRqä3s? šÆÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÌÊÈ
Artinya :
30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
31.  Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta Dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,

[1168]  fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

B.  Agama dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental
Hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap tersebut akan memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, puas, sukses, merasa dicintai, atau merasa aman. Sikap emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan hak asasi manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka dalam kondisi tersebut manusia berada dalam keadaan tenang dan normal.
Cukup logis bahwa ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajrannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan dapat berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi tuhan yan setia. Tindak ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani secara tak terpisahkan memerlukan perlakuan yang dapat memuaskan keduanya.[3]
Salah satu cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi humanistika dikenal logoterapi (logos berate makna dan juga rohani). Logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan manusia. kemudian, logoterapi menitikberatkan pada pemahaman bahwa dambaan utama manusia yang asasi atau motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup bermakna. Diantara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk memiliki kebebasan dalam menemukan makna hidup. Kebebasan seperti itu dilakukannya antara lain melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati (termasuk agama dan cinta kasih) atau dalam sikap atas keadaan dan penderitaan yang tak mungkin dielakkan. Adapun makna hidup adalah hal-hal yang memberikan nilai khusus bagi seseorang, yang bila dipenuhi akan menjadikan hidupnya berharga dan akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia. Dalam logoterapi dikenal dua peringkat makna hidup, yaitu makna hidup pribadi dan makna hidup paripurna.
Maka hidup paripurna bersifat mutlak dam universal, serta dapat saja dijadikan landasan dan sumber makna hidup pribadi. Bagi mereka yang tidak atau kurang penghayatannya terhadap agama, mungkin saja pandangan falsafah atau ideology tertentu dianggap memiliki nilai-nilai universal dan paripurna. Sedangkan bagi penganut agama, maka Tuhan merupakan sumber nilai Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai perwujudan tuntutan-Nya. Di sinilah barangkali letak peranan agama dalam membina kesehatan mental, berdasarkan pendekatan logoterapi. Karena bagaimanapun, suatu ketika dalam kondisi yang berada dalam keadaan tanpa daya, manusia akan kehilangan pegangan dan bersikap pasrah. Dalam kondisi yang serupa ini ajaran agama paling tidak akan membangkitkan makna dalam hidupnya. Makna hidup pribadi menurut logoterapi hanya dapat dan harus ditemukan sendiri.
Selanjutnya, logoterapi menunjukkan tiga bidang kegiatan yang secara potensial memberi peluang kepada seseorang untuk menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. ketiga itu adalah:
1.    Kegiatan berkarya, bekerja, dan mencipta, serta melaksanakan dengan sebaik-baiknya tugas dan kewajiban masing-masing.
2.    Keyakinan dan penghayatan atas nilai-nilai tertentu (kebenaran, keindahan, kebaikan, keimanan,n dan lainnya), dan
3.    Sikap tepat yang diambil dalam keadaan dan penderitaan yang tidak terelakkan.
Dalam menghadapi sikap yang tak terhidarkan lagi pada kondisi yang ketiga, menurut logoterapi, maka ibadah merupakan salah-satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan seseorang akan nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya.[4]

C.  Terapi Keagamaan
Terapi merupakan usaha penanggulangan suatu penyakit atau gejalah yang ada dalam diri makhluk hidup. Usaha penanggulangan gangguan kesehatan rohani atau mental sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang bersangkutan. Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan memilih norma-norma moral, maka gangguan mental akan terselesaikan. Dalam konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab, nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian diri, hingga terhindar dari konflik batin.
Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci. Sebagaimana pernyataan Allah dalam Q.S. Yunus : 57 dan Q.S. Al Isra’ : 82.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrߐÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ
Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu Al-Qur’an yang mengandung pelajaran, penawar bagi penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S Yunus : 57)


ãAÍit\çRur z`ÏB Èb#uäöà)ø9$# $tB uqèd Öä!$xÿÏ© ×puH÷quur tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9   Ÿwur ߃Ìtƒ tûüÏJÎ=»©à9$# žwÎ) #Y$|¡yz ÇÑËÈ
Artinya : “Dan kami turunkan Al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S Isra’ : 82)

Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa Allah dengan tegas menerangkan bahwa ketenangan jiwa dapat dicapai dengan dzikir (mengingat Allah), rasa takwa dan perbuatan baik adalah metode pencegahan dari rasa takut dan sedih, jalan bagaimana cara seseorang mengatasi kesukaran ialah dengan kesabaran dan shalat, dan Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman.[5]
Jadi, semakin dekat seseorang kepada Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Dan demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama, akan semakin susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin.[6] Ini menunjukkan bahwa agama terkait dengan ini pendekatan diri kepeda Tuhan merupakan terapi yang tepat dalam menanggulangi masalah masalah kehidupan termasuk di dalamnya hal-hal yang menyebabkan gangguan pada kesehatan mental.

D.  Musibah
Musibah merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh korban yang terkena musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti lemparan yang kamudian digunakan dalam makna bahaya, celaka, atau bencana dan bala. menurut Al-Qurtubi, musibah adalah apa saja yang menyakiti dan menimpa pada diri seorang, atau sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia, betapapun kacilnya. Musibah dapat menimbulkan penderitaan maupun kesengsaraan bagi korbannya. Terkadang berlangsung dalam waktu yang panjang, atau bahkan seumur hidup. Oleh karena itu, setiap orang berusaha untuk menghindar diri dari kemungkinan tertimpa musibah[7]
1.    Sebab terjadinya Musibah
Penyebab terjadinya musibah bermacam-macam. ada yang disebabkan oleh perbuatan manusia secara langsung, ataupun penglolaan alam yang keliru, serta yang murni disebabkan oleh alam.
2.    Macam-Macam Musibah
Dari pendekatan agama, musibah dapat dibagi menjadi dua macam.
a.    Musibah yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan manusia. Karena kesalahan yang dilakukannya, manusia harus menanggung akibat buruk dari perbuatannya sendiri. Musibah ini dikenal sebagai hukum karma, yakni sebagai “pembalasan”. Kemudian yang
b.    Musibah sebagai ujian dari tuhan. Musibah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbuatan keliru manusia. Betapapun baik dan bermanfaatnya aktivitas yang dilakukan manusia, serta taatnya mereka menjalankan perintah tuhan, musibah yang seperti ini bakal mereka alami juga. Oleh karena itu, musibah ini sering dihubung-hubungkan dengan takdir (ketentuan tuhan).
Erich Fromm, mencoba menganalisis melalui pendekatan psikologi. Menurutnya derita yang dialami korban musibah disebabkan adanya rasa kedekatan. Seseorang yang merasa dekat dengan sesuatu, akan merasa kehilangan bila berpisah dengan sesuatu atau orang yang ia merasa dekat dengannya. rasa kedekatan yang mendalam, berubah menjadi rasa cinta. Kesedihan dan derita yang dirasakan seseorang, sebanding dengan tingkat kecintaannya kepada sesuatu. Semakin tinggi dan mendalam rasa cintanya, maka akan semakin berat derita yang dialami, bila seseorang kahilangan yang ia cintai itu. Sebaliknya, dalam pendekatan keagamaan, kesedihan yang ditimbulkan oleh musibah terkait dengan rasa memiliki.
Terkadang secara tak sadar, manusia menganggap, bahwa segala yang ia miliki, sepenuhnya diperoleh dari hasil kerja kerasnya. Adakalanya pula perasaan memiliki ini mencakup kawasan yang lebih luas. Tidak hanya sekadar kepemilikan bendawi, tetapi juga pribadi-pribadi tertentu. Suami terhadap Istri dan sebaliknya, atau orang tua terhadap anak dan anak juga terhadap orang tuanya. Saat ditimpa musibah, manusia terpaksa harus kahilangan sebagian atau seluruh yang ia miliki. Makin besar nilai kepemilikan yang hilang, akan semakin berat derita yang dirasakannya. Musibah memang membawa derita bagi korbannya. Derita fisik maupun batin. berdasarkan pendekatan psikosomatik, sebenarnya derita fisik dan derit batin tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan saling mempengaruhi. Namun dalam kenyataannya, derita batin lebih mendominasi karena ia langsung berhubungan dengan perasaan.
Menurut pendekatan psikologi agama, sebenarnya derita yang dialami oleh korban musibah terkait dengan tingkat keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki keyakinan yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran agama, bagaimanapun akan lebih mudah dan cepat menguasai gejolak batinnya. Agama menjadi pilihan dan rujukan untuk mengatasi konflik yang terjadi pada dirinya. Di kala musibah manimbulkan rasa kehilangan dari apa yang dimilikinya selama ini, hatinya akan dibimbing oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agamanya. Manusia pada dasarnya memang bukan pemilik mutlak. Apa saja yang ia miliki, termasuk tubuh dan nyawa, hakikatnya adalah kepunyaan Allah. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan menganugrahkan kepada manusia nikmat-Nya berupa kehidupan ataupun kekayaan. Statusnya hanya sebagai titipan amanah. Dalam menjalani kehidupannya manusia senantiasa berada dalam sebuah arena ujian yang sarat dengan berbagai cobaan.
Salah satu fungsi agama dalam kehidupan manusia, menurut Elizabeth K. Nottingham, adalah sebagai penyelamat. Dalam kondisi ketidakberdayaan, secara psikologis nilai-nilai ajaran agama dapat membantu meneteramkan goncangan batin. Dengan kembali kepada tuntunan agama, korban berusaha menyadarkan dirinya, bahwa musibah merupakan resiko yang harus dihadapi dalam menjalani kehidupan lebih dari itu ia menjadi sadar bahwa ia bukan pemilik mutlak dari segala yang menjadi miliknya. Keluarga, kerabat, bahkan dirinya adalah milik sang pencipta. Semua miliknya hanyalah titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh sang pemilik mutlak.
Ditengah-tengah kegoncangan batin korban dapat pula menelusuri hikmah atau nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya. Apakah musibah yang dialaminya sebagai balasan (I’tibar) ataukah ujian (ikhtibar). Bila derita yang dialaminya merupakan balasan dari perbuatan yang pernah dilakukannya, maka musibah akan menyadarkannya akan kesalahan masa lalu. Tak diragukan lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu terjadi akibat ulah manusia sendiri. Al-Qur’an menyatakan: “Dan apa saja yang usibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri.” (Mubsin Qiraati, 2001:93) Tuntunan ini, setidaknya akan membawanya kepada kesadaran untuk memperbaiki diri.Sebaliknya bila deritanya dianggapnya sebagai ujian, maka ia akan berusaha untuk bersabar. Menerima dengan sabar dan tulus,hingga derita yang berat akan terasa ringan. Perasaan batinnya diredakan oleh keyakinan, bahwa musibah yang dialaminya merupakan bagian dari ketentuan dan takdir dari Tuhan.
Dalam menghadapi musibah, orang-orang memiliki keyakinan agama terlihat lebih tabah. Mereka lebih mudah menetralisasi kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam batinnya. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat berlindung atau penyalur derita yang dirasakan. dalam keadaan yang demikian, Tuhan dianggap sebagai satu-satunya “penolong” atau “juru selamat” yang mampu meredam penderitaan yang mereka alami.
Sebaliknya orang-orang yang memiliki tingkat keyakinan agama yang kurang, ataupun tidak memiliki keyakinan agama sama sekali, terkesan sulit menetralisasi kegoncangan jiwanya. Sulit menemukan jalan keluar, mudah gelap mata, dan akhirnya mengambil jalan pintas. Tak jarang korban yang merasa begitu terhempit oleh derita itu mangakhiri hidupnya dengan bunuh  diri. Kemampuan menahan derita dalam menghadapi masalah musibah, tampaknya tidak ada hubungan dengan latar belakang pendidikan.
Keyakinan terhadap tuhan, akan memberikan rasa damai dalam batin. Kedamaian dalam keselamatan merupakan bagian dari insting mempertahankan diri yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu kembali kepada Tuhan dengan memohon perlindungan, merupakan saluran yang sejalan dengan dorongan instingtif manusia. Kecenderungan terhadap pertolongan ini tersirat dalam do’a. Menurut William James, seluruh do’a dalam agama memuat kalimat yang berisi permohonan perlindungan kepada Tuhan. Demikian pula mantera-mantera yang ditemui di lingkungan masyarakat primitif, juga tak lepas dari kecenderungan serupa, yakni kepada sesuatu yang dianggap sebagai “ penguasa alam”, atau yang menentukan nasib manusia.
Semua musibah akan mendatangkan petaka bagi korbannya, dan akan mengalami penderitaan lahir dan batin, penderitaan ini akan memberi pengaruh psikologis, seperti pasrah ataupun putus asa, bahkan pada kondisi tertentu akan memberi dampak terhadap perasaan keagamaan. Menurut pendekatan psikologi agama, sebenarnya derita batin yang dialami oleh korban terkait dengan tingkat keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki tingkat keberagamaan yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran agama, maka akan lebih mudah dan lebih cepat menguasai gejolak batinnya. Agama menjadi rujukan untuk mengatasi konfik yang terjadi di dalam dirinya. Berdasarkan dalil Al-Qur’an (Q.S. 16:53)
$tBur Nä3Î/ `ÏiB 7pyJ÷èÏoR z`ÏJsù «!$# ( ¢OèO #sŒÎ) ãNä3¡¡tB ŽØ9$# Ïmøs9Î*sù tbrãt«øgrB ÇÎÌÈ
 Artinya : “Apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah meminta pertolongan”.

Dalam kondisi ketidakberdayaaan, secara psikologis nilai-nilai ajaran agama dapat membantu menentramkan goncangan batin dengan kembali tuntutan agama. Namun, orang-orang yang memiliki tingkat agama yang kurang, ataupun tidak memiliki keyakinan sama sekali, maka akan sulit menetralisirkan kegoncangan jiwanya, sehingga mudah gelap mata, dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti minum alkohol, atau mengkonsumsi obat-obat terlarang.[8]
Oleh karena itu, kedekaatan kepada agama sangat berpengaruh pada kejiwaan kita, agar kita tidak menjadi gelap mata dalam menjalankan kehidupan ini, terutama dalam menghadapi segala musibah.



E.  Kematian
Kematian adalah sebuah keniscayaan, kita tidak perlu memintanya karena dia akan datang dengan sendirinya, dalam waktu yang tidak terduga. Semua agama meyakini akan adanya kematian. Kematian secara psikologis dapat mempengaruhi sikap dan prilaku manusia.
1.    Kematian dalam Agama
Setiap agama mengajarkan tentang adanya hari kebangkitan. Alam baru dalam kehidupan “lain” yang akan di alami oleh manusia mati. Dipercaya bahwa pada saat itu manusia akan dihidupkan kembali guna diminta pertanggung jawabannya.
2.    Psikologi Kematian
Secara psikologis, manusia usia lanjut terbebankan oleh rasa ketidak berdayaan. Kelemahan fisik, keterbatasan gerak, dan menurunnya fungsi alat indera, menyebabkan manusia usia lanjut merasa terisolasi. Saat itu, penghayatan terhadap segala sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai spiritual mulai jadi perhatian. Kegelisahan dan kekosongan batin seakan terobati oleh keakraban dengan aspek-aspek ruhaniah.
Kekosongan batin akan kian terasa ketika dihadapkan pada peristiwa kematian. Terutama bila dihadapkan pada kematian orang-orang terdekat atau dicintai. Muncul semacam rasa kehilangan yang terkadang begitu berat dan sulit diatasi.
Orang yang  jauh dari agama akan mengalami goncangan saat menyikapi kematiannya, karena merasa dirinya lemah, sama sekali kehilangan daya, maka dia akan menghadapi kematian dengan keterpurukan jiwanya, bahkan dia akan mengalami rasa yang sangat tidak nyaman, kegelisahan,dll, karena dia telah menjauh agama dan keyakinan akan fitrahnya untuk kembali kepada sang pencipta. begitu sebaliknya, orang yang dekat dengan agama, akan menyikapi kematian dengan suasana batin yang lebih tenang, dan akan selalu mengiringinya dengan amal baik, karena dia meyakini bahwa kematian adalah awal dari kehidupan yang abadi.[9]
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Kesehatan mental merupakan suatu keadaan dimana seseorang dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Kesehatan mental seseorang dapat dapat diartikan bahwa seseorang itu tidak mengalami gangguan mental, tidak jatuh sakit akibat stres, melakukan segala sesuatu sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya serta tumbuh dan berkembang secara positif. Sedangkan agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, sebab agama juga ada kaitannya dengan fitrah penciptaan makhluk hidup. Hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Sedangkan gangguan kesehatan mental secara sederhana dapat diartikan sebagai tiadanya atau kurangnya dalam hal kesehatan mental, dengan ditandai oleh adanya rasa tidak tenang, tidak aman, fungsi mental menurun dan terjadinya perilaku yang tidak tepat atau wajar. Gangguan mental ini dapat diatasi dengan terapi agama sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al Quran, kaitannya dengan  ini pendekatan diri kepada Tuhan, memperbanyak berdzikir serta berbuat kebaikan merupakan cara yang tepat untuk menanggulangi gangguan mental. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Dan demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama, akan semakin susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin.

B.  Saran
Peranan agama dalam kehidupan manusia sangat besar. Untuk menjaga keseimbangan lahir dan batin, manusia sangat memerlukan agama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan ini. Apalagi jika kita mengalami goncangan batin, hati yang tidak tenang, maka keyakinan agamalah yang bisa mengembalikan ketenangan batin kita dengan senantiasa mengingat Allah. Marilah kita mempertebal iman kita supaya kita dapat menjalani kehidupan ini dengan tenang penuh syukur.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Untuk itu masukan-masukan dari pihak-pihak yang merespon makalah ini sangat kami tunggu. Dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga kita bersama dapat menjalani ini semua dengan Ridha-Nya tentunya. Amiin.






















DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah,  Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1995.

Daradjat,  Zakiah , Peranan Agama dalam Kesehatan Mental,  Jakarta: Gunung Agung, 1978.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.

Jalaluddin,”Psikologi Agama, Memahami Prilaku Dengan Mjengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi”, cet-17, edisi revisi, PT Gravindo Persada Jakarta, 2015.

Latipun, Moeljono Notosoedibjo, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, 2007.

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.






[1]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010) , hlm. 159-160.
[2]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),  hlm. 165.
[3]Ibid, hlm.170-172.
[4]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.170-172.
[5]  Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.179.
[6] Zakiah Daradjat,  Peranan Agama dalam Kesehatan Mental,  (Jakarta: Gunung Agung, 1978),  hlm.78-79.
[7]Jalaluddin.  Psikologi Agama. Rajawali Pers. 2010. Hlm 180
[8]  Jalaluddin,”Psikologi Agama, Memahami Prilaku Dengan Mjengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi”, cet-17, edisi revisi, PT Gravindo Persada Jakarta, 2015, hal 155-159.
[9] Ibid, hal 160

No comments:

Post a Comment