PENCEMARAN SAMPAH DAN LIMBAH
DISUNGAI CITARUM BANDUNG
Oleh :
NAMA : NALINI
STB : 01 16
008
SEKOLAH
TINGGI ILMU HUKUM
(STIH)
BONE
2017/2018
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pencemaran Sampah dan Limbah Di Sungai Citarum
Bandung” dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh
dari kata kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan kepada Rasulullah
S.A.W.
Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang
terbaik. Tetapi kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami yang akan datang.
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah
memberikan dorongan, semangat dan masukan.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.
Watampone, 28 November 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah........................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan............................................................. 2
BAB II.... PEMBAHASAN
A.
Sumber Pencemaran Limbah Berbahaya Industri di Sungai Citarum .............................................................................................. 3
B.
Karakteristik Bahan Pencemaran Dihasilkan oleh Industri yang Berada
di Sungai Citarum............................................................................... 7
C.
Investigasi Mekanisme dan Dampak Pencemaran Limbah Industri di
Sungai Citarum............................................................................... 9
D.
Evaluasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air.. 16
BAB III... PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................ 22
B.
Saran................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Laut merupakan suatu ekosistem yang kaya akan
sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumber daya hayati yang dimanfaatkan
untuk manusia. Sebagaimana diketahui bahwa 70% permukaan bumi didominasi oleh
perairan atau lautan. Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada
lautan, sehingga manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan
organisme yang hidup di dalamnya. Berbagai jenis sumber daya yang terdapat di
laut, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, mangrove, rumput laut,
mineral, minyak bumi, dan berbagai jenis bahan tambang yang terdapat di
dalamnya.
Kekayaan sumber
daya alam serta keanekaragaman hayati yang sebagin besar ada di perairan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan hidup manusia. Hal ini menyebabkan banyaknya aktivitas
disekitar perairan laut Indonesia. Salah satu akibat yang dapat terjadi dari
aktivitas tersebut adalah terjadinya tumpahan minyak hingga proses pencemaran
minyak yang secara kompleks mengakibatkan perubahan sifat fisik, kimiawi dan
biologis yang dapat merusak kehidupan. Minyak adalah pencemar utama di lautan.
Lautan
juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air yang mengakibatkan pencemaran
itu terjadi, diantaranya dari limbah rumah tangga, sampah, buangan dari kapal. Limbah tersebut yang mengandung polutan kemudian masuk ke
dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian larut dalam air, sebagian
tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan sebagian masuk ke dalam
jaringan tubuh organisme laut. Polutan tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai
ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Hal
inilah yang menyebabkan adanya dampak secara langsung maupun tidak langsung
antara pencemaran laut dengan kehidupan manusia (Alamsyah, 1999).
Makalah ini akan membahas tentang pemasalahan pencemaran
laut akibat tumpahan minyak, sehingga dapat dikaji untuk menemukan solusi serta
pengembangan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan lingkungan yag lebih
parah. Dalam penanganan tumpahan minyak ini
memerlukan pendekatan yang sesuai karena terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dalam proses pencemaran minyak di laut yaitu pada tipe minyak,
sifat minyak, nasib (fate) dan pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan
minyak (pathways), dan keterpaparan (exposure).
B. Rumusan Masalah
Permasalahan
yang dirumuskan dan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa saja
penyebab tumpahan minyak di laut?
2. Permasalahan
apa saja yang timbul akibat tumpahan minyak di laut?
3. Apa
solusi yang dapat dilakukan dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan apa saja yang timbul
akibat tumpahnya minyak di laut, serta mengetahui solusi dan pengembangan untuk
mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk.
D. Manfaat Penulisan
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan gambaran atas permasalahan dampak tumpahan
minyak terhadap ekosistem mangrove dan biota laut.dan penanggulangan yang tepat
atas permasalahan yang terjadi.
Makalah
ini dapat memberikan literatur mengenai permasalahan tumpahan minyak dan
penanggulangan yang tepat bagi kalangan akademisi dan peneliti.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Minyak dan Limbah
minyak
Minyak adalah istilah umum yang digunakan untuk
menyatakan produk petroleum yang penyusun utamanya terdiri dari hidrokarbon.
Minyak mentah dibuat dari hidrokarbon berspektrum lebar yang berkisar dari
sangat mudah menguap, material ringan seperti propana dan benzena sampai pada
komposisi berat seperti bitumen, aspalten, resin dan wax. Produk pengilangan
seperti petrol atau bahan bakar terdiri dari komposisi hidrokarbon yang lebih
kecil dan kisarannya lebih spesifik (Charade dan
Subandri, 1983).
Struktur kimia petroleum terdiri atas rantai hidrokarbon
dalam ukuran panjang yang berbeda. Perbedaan kimia hidrokarbon ini dipisahkan oleh
distilasi pada penyulingan minyak untuk menghasilkan gasoline, bahan bakat jet,
kerosin, dan hidrokarbon lainnya. Formula umum untuk hidrokarbon ini adalah
CnH2n+2. Pembakaran tidak sempurna pada petroleum atau gasoline menghasilkan
emisi gas beracun seperti karbon monooksida dan/atau nitrit oksida. Formasi
petroleum kebanyakan terjadi dalam bermacam reaksi endotermik pada tekanan
dan/atau suhu tinggi (Charade dan Subandri, 1983)..
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil
eksplorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas
penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah
minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. Limbah minyak merupakan bahan
berbahaya dan beracun (B3), karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat
mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia
dan mahluk hidup lainnya (Charade dan Subandri, 1983).
Limbah minyak yang berasal dari minyak mentah (crude oil)
terdiri dari ribuan konstituen pembentuk (Charade
dan Subandri, 1983), yang secara struktur kimia dapat dibagi menjadi lima
family :
a.
Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons)
Yang termasuk dalam kelompok ini
adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 % komposisi minyak
mentah. Senyawa alkana bercabang (branched alkanes) biasanya terdiri dari
alkana bercabang satu ataupun bercabang banyak (isoprenoid), contoh dari
senyawa ini adalah pristana, phytana yang terbentuk dari sisa-sisa pigment
chlorofil dari tumbuhan. Kelompok terakhir dari famili ini adalah napthana
(Napthenes) atau disebut juga cycloalkanes atau cycloparaffin. Kelompok ini
secara umum disusun oleh siklopentana dan siklohexana yang masanya mewakili
30-50% dari massa total minyak mentah.
b.
Aromatik (Aromatics)
Famili minyak ini adalah kelas
hidrokarbon dengan karakteritik cincin yang tersusun dari enam atom karbon.
Kelompok ini terdiri dari benzene beserta turunannya. Aromatik ini merupakan
komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik
(menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir
kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam
air sehingga meningkatkan bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya
organisma didalam matrik tanah ataupun pada badan air. Jumlah relative
hidrokarbon aromatic didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 %.
c.
Asphalten dan Resin
Selain komponen utama penyusun
minyak tersebut di atas, minyak juga dikarakterisasikan oleh adanya
komponen-komponen lain seperti aspal (asphalt) dan resin (5-20 %) yang
merupakan komponen berat dengan struktur kimia yang kompleks berupa siklik
aromatic terkondensasi dengan lebih dari lima ring aromatic dan napthenoaromatik
dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut memiliki
polaritas yang tinggi.
d.
Komponen non-hidrokarbon
Kelompok senyawa non-hidrokarbon
terdapat dalam jumlah yang relative kecil, kecuali untuk jenis petrol berat
(heavy crude). Komponen non-hidrokarbon adalah nitrogen, sulfur, dan oksigen,
yang biasanya disingkat sebagai NSO. Biasanya sulphur lebih dominant disbanding
nitrogen dan oxygen, sebaga contoh, minyak mentah dari Erika tanker mengandung
kadar S, N dn O berturut-turut sebesar 2.5, 1.7, dan 0.4 % (Baars, 2002).
e.
Porphyrine. Senyawa ini berasal dari degradasi klorofil
yang berbentuk komplek Vanadium (V) dan Nikel (Ni).
B. Pencemaran Minyak di Laut
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan komponen lain ke dalam suatu sistem, dan atau berubahnya tatanan suatu sistem oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga
kualitas dari sistem tersebut menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Berdasarkan PP
No.19/1999, pencemaran laut diartikan sebagai masuknya/ dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau
fungsinya. Sedangkan Konvensi Hukum Laut III
mengartikan bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut
termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga
dapat merusak sumber daya hayati laut (marine living resources), bahaya
terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk
perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas air laut dan
mutu kegunaan serta manfaatnya.
Polusi dari
tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi
fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh
masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di
sekitar pantai tersebut. Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan
dengan semakin meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang harus
diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungan–anjungan
pengeboran minyak lepas pantai. dan juga karena semakin meningkatnya
transportasi laut
Menurut Pramudianto
(1999), pencemaran
minyak di laut berasal dari:
1. Operasi Kapal Tanker
2. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal)
3. Terminal Bongkar Muat Tengah Laut
4. Tanki Ballast dan Tanki Bahan Bakar
5. Scrapping Kapal (pemotongan badan kapal untuk
menjadi besi tua)
6. Kecelakaan Tanker (kebocoran lambung, kandas,
ledakan, kebakaran dan tabrakan)
7. Sumber di Darat (minyak pelumas bekas, atau
cairan yang mengandung hydrocarbon (perkantoran & industri)
8. Tempat Pembersihan (dari limbah pembuangan
Refinery )
C. Wathering/ Pelapukan pada Tumpahan
Minyak Bumi
Proses transformasi oil spill di laut yaitu ketika oil
spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian
perubahan/pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian
perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari
permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya
bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun minyak yang tumpah pada
akhirnya akan terurai/terasimilisi oleh lingkungan laut, namun waktu yang
dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan kimiawi
minyak dan proses peluruhan (weathering) minyak secara alamiah (Pramudianto,
1999).
Weathering atau pelapukan minyak adalah proses
penghamburan minyak yang tumpah hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang
mengubah komposisi. Minyak akan mengalami pelapukan dalam cara-cara yang
berbeda. Beberapa prosesnya, seperti pada pendispersian alami minyak ke dalam
air, mengakibatkan bagian dari minyak meninggalkan permukaan air laut, dan
sisanya, seperti pada proses evaporasi atau formasi air pada emulsi minyak,
mengakibatkan minyak yang tersisa pada permukaan dan tinggal dalam waktu lama
(persisten).
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat
minyak adalah:
1. Karaterisik fisika minyak,
khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih;
2. Komposisi dan karakteristik
kimiawi minyak;
3. Kondisi meteorologi (sinar
matahari (fotooksidasi), kondisi oseanograpi dan temperatur udara); dan
4. Karakteristik air laut (pH,
gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri, nutrien, dan oksigen
terlaut serta padatan tersuspensi).
Cara dimana lapisan minyak pecah dan menyebar sangat
tergantung pada ketahanan (tingkat persisten) minyak tersebut. Produk ringan
seperti kerosin cenderung terevaporasi, tersebar dengan cepat, dan tidak perlu
pembersihan sebab akan hilang secara alami. Ini dinamakan minyak non-persisten.
Sebaliknya, minyak persisten seperti pada kebanyakan minyak mentah, pecah dan
menyebar lebih lambat dan biasanya memerlukan tindakan pembersihan. Sifat
fisika seperti densitas, viskositas, dan titik alir minyak, semuanya
mempengaruhi sifat penyebarannya.
Penyebaran tidak terjadi tiba-tiba. Waktu penyebarannya
tergantung sejumlah faktor, termasuk jumlah dan tipe tumpahan minyak, kondisi
cuaca, dan jika minyak tertinggal di laut atau terbawa ke darat. Kadang-kadang,
prosesnya cepat dan pada waktu lain terjadi dengan lambat, terutama di perairan
tertutup dan tenang. Proses pelapukan (Wathering) tumpahan minyak di laut
terjadi ke dalam beberapa mekanisme diantaranya : melalui pembentukan lapisan
(slick formation), penyebaran (dissolution), pergeseran, penguapan
(evaporation), polimerasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification),
emulsi air dalam minyak (water in oil emulsions), emulsi minyak dalam air (oil
in water emulsions), fotooksida, biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna
oleh planton dan bentukan gumpalan.
Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat
dengan segera membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan
minyak tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain
gaya gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat
mudah menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan
lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat.
Hilangnya sebagian material yang mudah menguap tersebut
membuat minyak lebih padat/ berat dan membuatnya tenggelam. Komponen
hidrokarbon yang terlarut dalam air laut, akan membuat lapisan lebih tebal dan
melekat, dan turbulensi air akan menyebabkan emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Ketika semua terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah
karakter minyak dan akan terjadi biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi
jumlah minyak.
Proses pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat,
ditambah dengan penguapan komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan
mengurangi volume tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali
minyak tersebut tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasoline atau kerosin
hamper semua lenyap, sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi
hanya mengalami pengurangan kurang dari 25%.
D. Dampak
dari Pencemaran Minyak di Laut
Komponen
minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air
laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di
dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai.
Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan,
pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat
mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses
emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur,
larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada
lingkungan tercemar (Subchan, 2005). Bahwa dampak-dampak yang disebabkan
oleh pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka
panjang.
Akibat jangka pendek molekul hidrokarbon minyak
dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan
berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan
beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak
menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon
dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.
Akibat
jangka panjang lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat
termakan oleh biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan
bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa
lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke
organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam
zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan
tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan
manusia. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan
susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu
kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang hidup di sekeliling laut akan
tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain.
Minyak
yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari sampai
ke lapisan air dimana ikan berkembang biak. Lapisan minyak juga akan
menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang
akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut
yang aerob. Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi
pertumbuhan rumput laut , lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada
permukaan daunnya, karena dapat mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan
tersebut seperti respirasi, selain itu juga akan menghambat terjadinya proses
fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut akan menghalangi masuknya
sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai makanan yang berawal
pada phytoplankton akan terputus. Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan
menutupi substrat, selain akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi
perbusukan akar pada tumbuhan laut yang ada (Subchan, 2005).
Pencemaran
minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh
terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2,
dimana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar
berkurang. Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan
pembusukan pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan
mangrove tersebut. Tumpahan minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna
yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove seperti moluska, kepiting, ikan,
udang, dan biota lainnya.
E. Metode Penanggulangan Tumpahan
Minyak di Laut
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam penanganan
tumpahan minyak (oil spill) di laut adalah dengan cara melokalisasi tumpahan
minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan
ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima
"reservoar" baik dalam bentuk tangki ataupun balon. Langkah
penanggulangan ini akan sangat efektif apabila dilakukan di perairan yang
memiliki hidrodinamika air yang rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan
cuaca yang tidak ekstrem.
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak
diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi,
penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini
memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu
(Charade dan Subandri, 1983).
1. In-situ burning adalah pembakaran
minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak
dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang
terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini
membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau
barrier yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa
tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan
mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada
komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang tenggelam
di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan
penyebaran api yang tidak terkontrol.
2. Penyisihan minyak secara mekanis
melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan
melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis
yang disebut skimmer. Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai
pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti
pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan.
Sayangnya, keberadaan angin, arus dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui
banyak kendala.
3. Bioremediasi yaitu mempercepat
proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga
terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti
CO2 , air dan biomass (Zhu, 2004). Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara
ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini
hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan
berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.
4. Pemggunaan sorbent yang bisa
menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan
sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini
berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah
dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik
hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali
dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami,
rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan
sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
5. Penggunaan dispersan kimiawi yaitu
dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga
mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi
adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata :
surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan).
BAB 3. PEMBAHASAN
Pencemaran laut diartikan sebagai adanya
kotoran atau hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut.
Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat
bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut
dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut
dapat mempengaruhi semua negara pantai, baik yang sedang berkembang maupun
negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai
kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.
Sumber dari pencemaran laut antara lain
adalah tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan sampah dari
transportasi darat melalui sungai, emisi trasportasi laut dan buangan pestisida
dari pertanian. Namun, sumber utama pencemaran lebih sering terjadi pada
tumpahnya minyak dari kapal tanker. Hasil ekspoitasi minyak bumi diangkut oleh
kapal tanker ke tempat pengolahan minyak bumi (crude oil). Pencemaran minyak
bumi dilepas pantai bisa diakibatkan oleh sistem penampungan yang bocor, atau
kapal yang tenggelam yang menyebabkan lepasnya crude oil ke badan perairan
(laut lepas) (Ramadhany,
2009).
Dampak dari lepasnya crude oil di perairan
lepas pantai mengakibatkan limbah tersebut dapat tersebar tergantung kepada
gelombang air laut. Penyebaran limbah tersebut dapat berdampak pada beberapa
negara. Dampak yang terjadi akibat dari pencemaran tersebut adalah tertutupnya
lapisan permukaan laut yang dapat menyebabkan penetrasi matahari berkurang,
menyebabkan proses fotosintesis terganggu, pengikatan oksigen terganggu, dan
dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak
terjadi di beberapa daerah antara lain di pantai Selatan (Cilacap), dan pantai
Sakera Tanjung Uban, Bintan. Tumpahnya minyak mentah di pantai Selatan terjadi akibat kebocoran saluran pipa bawah laut
milik Pertamina RU IV Cilacap. Genangan minyak mentah yang awalnya hanya
menggenangi kawasan lepas pantai Pulau Nusakambangan, menyebar hingga beberapa
lokasi di pantai selatan Cilacap dan Kebumen. Dari pemantauan di berbagai kawasan pantai
wilayah Cilacap, minyak mentah
menggenangi perairan obyek wisata pantai Teluk Penyu dan menyebar hingga
ke beberapa titik lokasi pantai yang cukup jauh, seperti Pantai Widara Payung
di wilayah Kecamatan Kroya Cilacap hingga pantai Karangbolong Kabupaten Kebumen
(Republika
Online. 2015).
Kebocoran minyak mentah terjadi saat salah satu kapal
tangker yang melakukan pembongkaran muatan minyak melalui Single Point Mooring
(SPM) di lepas pantai Pulau Nusakambangan. Namun saat proses pembongkaran muatan terjadi
kerusakan pada sambungan pipa karet di bagian hulu pipa bawah laut. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya kebocoran, sehingga minyak mentah tertumpah ke
laut. Upaya yang dilakukan oleh pihak Pertamina untuk mengatasi
hal ini adalah dengan meminta bantuan para nelayan untuk ikut mengambil dan
menampung minyak mentah yang mencapai kawasan pantai. Pengambilan minyak
tersebut dengan menggunakan jiregan, drum dan ember. Minyak yang diperoleh
selanjutnya ditampung oleh pihak Pertamina (Republika Online. 2015).
Tumpahnya minyak mentah di pantai Sakera Tanjung Uban
terjadi akibat tubrukan antara Motor Tanker Alyarmouk (dalam pelayaran dari
Tanjung Pelepas Malaysia ke China) dan Kapal Motor Sinar Kapuas (pelayaran dari
Hongkong ke Singapore) pada posisi 7 mil timur laut batu puteh (horsborgh)
masih dalam wilayah Negara Singapore (Kompasaiana. 2015). Tubrukan kedua kapal tersebut telah
menumpahkan Madura crude oil (minyak mentah) sebanyak 4,500 Ton (setara dengan
32,400 barel) ke laut. Berdasarkan hasil simulasi tumpahan minyak
dengan perkiraan angin dan arus yang dibuat oleh OSCT Indonesia, tumpahan
minyak berpotensi mencemari bagian utara pulau Bintan yang sangat dekat dengan
Selat Singapore (Kompasaiana. 2015).
Dengan pergerakan angin dan arus bolak balik Utara ke
Selatan dan sebaliknya, maka peran penanggulangan pencemaran harus selalu dalam
kondisi siaga. Namun pemerintah daerah tidak mempunyai peralatan yang memadai untuk
penanggulangan pencemaran, seperti Oil Boom, senyawa kimia Oil Dispersant,
Obserbant ataupun serbuk gergaji. sehingga usaha swadaya masyarakat pesisirlah
yang berinisiatif membersihkannya menggunakan peralatan seadanya karena tim
penanggulangan pencemaran juga belum terbentuk. Selain diakibatkan dari
tubrukan kapal, sumber pencemaran juga berasal dari pembuangan sisa tank
cleaning (pembersihan tangki) kapal-kapal tanker yang melintas. Kegiatan
tersebut sering dilihat oleh beberapa warga , bahkan beberapa dari mereka pernah
tertangkap. Namun hal tersebut tidak membuat mereka jera dan terus melakukan
pencemaran.
Akibat pencemaran yang sangat dirasakan adalah aktifitas
nelayan untuk mencari ikan dilaut menjadi lebih sulit, ikan tidak mau datang
sebab lautnya kotor. Sektor pariwisata terganggu akibat pantai yang kotor
dengan limbah minyak yang tersebar hampir diseluruh pantai. Wisatawan lokal dan
asing tidak bisa berenang dilaut karena jika terkena kulit akan menimbulkan
gatal-gatal dan rasa perih jika terkena mata. Namun sampai saat in belum ada solusi baik dari
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat (Kompasaiana. 2015).
Berdasarkan
beberapa kasus di atas telah banyak kerugian yang dialami dan akibat yang
ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut, seperti menurut
Pramudianto, (1999):
1. Rusaknya
estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap yang
terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan.
Kontaminasi terhadap udara yang perlu diperhatikan akan bahaya penguapan
benzene karena mempunyai efek karsinogenik kepada manusia. Keadaan ini semakin
penting untuk diantisipasi apabila kejadian tumpahan minyak berada dekat dengan
lokasi penduduk yang padat. Dan benda purbakala, cagar alam dan harta karun di
dasar laut yang terkena minyak dapat rusak atau berkurang nilai estetikanya.
Oleh sebab itu nilai jualnya akan berkurang.
2. Kerusakan
biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi
yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel
pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu
mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan
kematian secara langsung. Terumbu karang akan mengalami efek letal
dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas
dari komunitasnya. Minyak dapat mempengaruhi kehidupan mangrove dan organisme
lain yang berasosiasi pada mangrove. Minyak dapat menutupi daun, menyumbat akar
nafas, mencegah difusi garam dan menghambat proses respirasi pada mangrove. Dan
vegetasi bawah air sangat sensitif terhadap kontaminasi minyak, karena vegetasi
bawah air mimiliki produktivitas yang tinggi, berperan dalam siklus nutrien,
berfungsi sebagai kawasan asuhan, mencari makan, dan berlindung berbagai
spesies penting dan komersial tinggi dari jenis-jenis ikan.
3.
Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan
senyawa beracun dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk
dari proses biodegradasi. Jika jumlah fitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang,
dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia
karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang
tinggi.
4. Penurunan
populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan minyak di
permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini
dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik
burung untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak
dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem
kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya
mati.
Permasalahan
pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan masalah
yang penting untuk ditangani mengingat besarnya ketergantungan terhadap sumber
daya pesisir dan laut serta luasnya dampak yang diakibatkan pencemaran
tersebut. Untuk itu perlu dilakukan langah-langkah pencegahan dan
penanggulangan terhadap berbagai kegiatan yang dapat memacu terjadinya
pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan laut. Semua ini menjadi kewajiban
kita untuk melakukan usaha-usaha yang lebih konservatif demi kelangsungan hidup
yang lebih baik.
Upaya pencegahan maupun
penanggulangan pemcemaran laut telah diatur oleh pemerintah dalam “Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau
Perusakan Laut”. Pencegahan
terjadinya pencemaran laut dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1.
Tidak membuang sampah ke laut
2.
Penggunaan pestisida secukupnya
3.
Yang paling sering di temukan pada saat pembersihan pantai dan laut adalah
puntung rokok. Selalu biasakan untuk tidak membuang puntung rokok di sekitar
laut.
4.
Kurangi penggunaan plastik
5.
Jangan tinggalkan tali pancing, jala atau sisa sampah dari kegiatan
memancing di laut.
6.
Setiap industri atau pabrik menyediakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah
(IPAL)
7.
Pendaurulangan sampah organik
8.
Tidak menggunakan deterjen fosfat, karena senyawa fosfat merupakan makanan
bagi tanaman air seperti enceng gondok yang dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran air.
Jika pencemaran minyak di laut tidak dapat dihindari maka dapat
dilakukan upaya pembersihan yaitu dengan
melakukan pemantauan dan juga penanggulangan terhadap pencemaran minyak tersebut. Sebelum upaya penanggulangan
tumpahan minyak dilakukan, maka tindakan pertama yang diambil adalah melakukan
pemantauan tumpahan yang terjadi guna mengetahui secara pasti jumlah minyak
yang lepas ke lautan serta kondisi tumpahan, misalnya terbentuknya emulsi.
Ada dua jenis upaya yang dilakukan yaitu dengan
pengamatan secara visual dan penginderaan jauh (remote sensing). Karena ada
keterbatasan pada masing-masing teknik tersebut, seringkali digunakan kombinasi
beberapa teknik (Alamsyah, 1999).
1. Pengamatan visual melalui pesawat merupakan teknik
yang reliable, namun sering terjadi pada peristiwa tumpahan minyak yang besar
dengan melibatkan banyak pengamat, laporan yang diberikan sangat bervariasi.
Ada beberapa faktor yang membuat pemantauan dengan teknik ini menjadi kurang
dapat dipercaya seperti pada tumpahan jenis minyak yang sangat ringan akan
segera mengalami penyebaran (spreading) dan menjadi lapisan sangat tipis.
Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna terang atau pelangi. Namun,
seringkali penampakan lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya
matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut. Karenanya, pengamatan ketebalan
minyak berdasarkan warna slick kurang bisa dipercaya. Faktor lainnya adalah
kondisi lingkungan setempat dan prediksi coverage area.
2. Cara kedua dengan menggunakan metode penginderaan
jarak jauh yang dilakukan dengan berbagai macam teknik seperti Side-looking
Airborne Radar (SLAR) yang telah digunakan secara luas. SLAR memiliki
keuntungan yaitu bisa dioperasikan segala waktu dan segala cuaca, menjangkau
wilayah yang lebih luas dengan hasil pengindraan lebih detail dengan
kekintrasan tinggi dan bisa ditransmisikan. Sayangnya teknik ini hanya bisa
mendeteksi lapisan minyak
yang tebal dan tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dan kondisi
laut sangat tenang. Selain SLAR digunakan pula teknik Micowave Radiometer,
Infrared-ultraviolet Line Scanner dan LANDSAT Satellite System. Berbagai teknik
ini digunakan besama guna menghasilkan informasi yang akurat dan cepat.
Setelah melakukan pemantauan dan mengetahui keadan secara
pasti, selanjutnya dilakukan penanggulangannya.
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya dengan
pembakaran minyak pada permukaan air (in-situ burning), penyisihan secara
mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms
dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan
mekanis yang disebut skimmer, bioremediasi yaitu mempercepat proses yang
terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, penggunaan sorbent
melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi
(penyerapan minyak ke dalam sorbent), dan penggunaan bahan kimia dispersan
yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) (Charade
dan Subandri, 1983).
KESIMPULAN
Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut,
maka timbullah upaya-upaya untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya dari
pencemaran laut tersebut oleh negara-negara di dunia. Mengingat bahwa tumpahan
minyak mentah membawa akibat yang amat luas pada lingkungan laut maka
penanganannya tidak bisa diserahkan hanya pada satu institusi pemerintah saja
dan perlu melibatkan kerja sama berbagai institusi.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penanggulangan
tumpahan minyak bukan hanya meliputi cara pemantauan yang menuntut teknologi
yang canggih, cara menghilangkan minyak yang menuntut penggunaan teknologi yang
bisa dipertanggungjawabkan dan ramah lingkungan, namun meliputi pula penelitian
dampak tumpahan minyak tersebut dan upaya rehabilitasi lingkungan yang tercemar
baik hewan, tumbuhan, maupun estetika laut dan pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Subchan,
Drs. Wachju, M.S,Ph.D. 2005. Ilmu Pengetahuan Lingkungan. Laboratorium Sumber
Belajar Biologi. Jember: Universitas Jember.
Internet
Kompasaiana. 2015. Laut Indonesia Tercemar Lagi oleh 4500
Tons MinyakMentah. http://m.kompasiana.com [8 September 2015].
Ramadhany, Dedy. 2009. Bioremediasi. Syakti, Agung Damar.
2008. Multi-Proses Remediasi di Dalam Penanganan Tumpahan Minyak (Oil Spill) di
Perairan Laut dan Pesisir. http://pksplipb.or.id. [5 September 2015].
Republika Online. 2015. Tumpahnya Minyak Mentah Cemari
Pantai Selatan. http://m.republika.co.id [8 September 2015].
Zhu, Xueqing. 2004. Pedoman Untuk Bioremediasi of Garam
Terkontaminasi Minyak Rawa. www.google.com. [5 September 2015]
Terbitan
Berkala
Alamsyah, Rachmat Benny, 1999, Kebijaksanaan,
Strategi, dan Program Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan
Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan
Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Charade, Titi Heri Subandri, 1983, Sekali
Lagi Tentang Penanggulangannya : Pencemaran Air Akibat Industri Minyak, dalam
Harian Pikiran Rakyat, edisi 15 Mei 1983. Eckenfelder Jr., W.Wesley, 1989,
Industrial Water Pollution Control, 2ndedition, Singapore: McGraw Hill
International Editions.
Pramudianto, Bambang, 1999,
Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan
Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan
Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB
No comments:
Post a Comment