Tuesday 19 December 2017

MAKALAH PENCEMARAN SAMPAH DAN LIMBAH DISUNGAI CITARUM BANDUNG

PENCEMARAN SAMPAH DAN LIMBAH
DISUNGAI CITARUM BANDUNG


http://3.bp.blogspot.com/-J_OMvLnU76w/VeZAbmp66rI/AAAAAAAAALY/ZVe83TCHT2s/s1600/LOGO%2BSTIH.jpg


Oleh :

NAMA : NALINI
STB : 01 16 008













SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
(STIH) BONE
2017/2018


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat  Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pencemaran Sampah dan Limbah Di Sungai Citarum Bandung” dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh dari kata kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan kepada Rasulullah S.A.W.
Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang terbaik. Tetapi kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami yang akan datang.          
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat dan masukan.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.


Watampone, 28 November 2017

Penyusun
                                                                                           






DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................               i
DAFTAR ISI ..............................................................................................               ii
BAB I..... PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang...................................................................               1
B.     Rumusan Masalah...........................................................               2
C.    Tujuan Penulisan.............................................................               2
BAB II.... PEMBAHASAN
A.     Sumber Pencemaran Limbah Berbahaya Industri di Sungai Citarum                      .............................................................................................. 3
B.     Karakteristik Bahan Pencemaran Dihasilkan oleh Industri yang Berada di Sungai Citarum...............................................................................               7
C.     Investigasi Mekanisme dan Dampak Pencemaran Limbah Industri di Sungai Citarum...............................................................................               9
D.     Evaluasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air..               16
BAB III... PENUTUP
A.     Kesimpulan........................................................................               22
B.     Saran...................................................................................               23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN








BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Laut merupakan suatu ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumber daya hayati yang dimanfaatkan untuk manusia. Sebagaimana diketahui bahwa 70% permukaan bumi didominasi oleh perairan atau lautan. Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada lautan, sehingga manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Berbagai jenis sumber daya yang terdapat di laut, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, mineral, minyak bumi, dan berbagai jenis bahan tambang yang terdapat di dalamnya.
Kekayaan sumber daya alam serta keanekaragaman hayati yang sebagin besar ada di perairan dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Hal ini menyebabkan banyaknya aktivitas disekitar perairan laut Indonesia. Salah satu akibat yang dapat terjadi dari aktivitas tersebut adalah terjadinya tumpahan minyak hingga proses pencemaran minyak yang secara kompleks mengakibatkan perubahan sifat fisik, kimiawi dan biologis yang dapat merusak kehidupan. Minyak adalah pencemar utama di lautan.
Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air yang mengakibatkan pencemaran itu terjadi, diantaranya dari limbah rumah tangga, sampah, buangan dari kapal. Limbah tersebut yang mengandung polutan kemudian masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan sebagian masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut. Polutan tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Hal inilah yang menyebabkan adanya dampak secara langsung maupun tidak langsung antara pencemaran laut dengan kehidupan manusia (Alamsyah, 1999).
Makalah ini akan membahas tentang pemasalahan pencemaran laut akibat tumpahan minyak, sehingga dapat dikaji untuk menemukan solusi serta pengembangan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan lingkungan yag lebih parah. Dalam penanganan tumpahan minyak ini memerlukan pendekatan yang sesuai karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses pencemaran minyak di laut yaitu pada tipe minyak, sifat minyak, nasib (fate) dan pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan minyak (pathways), dan keterpaparan (exposure).

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.  Apa saja penyebab tumpahan minyak di laut?
2.  Permasalahan apa saja yang timbul akibat tumpahan minyak di laut?
3.  Apa solusi yang dapat dilakukan dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan apa saja yang timbul akibat tumpahnya minyak di laut, serta mengetahui solusi dan pengembangan untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk.

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran atas permasalahan dampak tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove dan biota laut.dan penanggulangan yang tepat atas permasalahan yang terjadi.
Makalah ini dapat memberikan literatur mengenai permasalahan tumpahan minyak dan penanggulangan yang tepat bagi kalangan akademisi dan peneliti.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Minyak dan Limbah minyak
Minyak adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan produk petroleum yang penyusun utamanya terdiri dari hidrokarbon. Minyak mentah dibuat dari hidrokarbon berspektrum lebar yang berkisar dari sangat mudah menguap, material ringan seperti propana dan benzena sampai pada komposisi berat seperti bitumen, aspalten, resin dan wax. Produk pengilangan seperti petrol atau bahan bakar terdiri dari komposisi hidrokarbon yang lebih kecil dan kisarannya lebih spesifik (Charade dan Subandri, 1983).
Struktur kimia petroleum terdiri atas rantai hidrokarbon dalam ukuran panjang yang berbeda. Perbedaan kimia hidrokarbon ini dipisahkan oleh distilasi pada penyulingan minyak untuk menghasilkan gasoline, bahan bakat jet, kerosin, dan hidrokarbon lainnya. Formula umum untuk hidrokarbon ini adalah CnH2n+2. Pembakaran tidak sempurna pada petroleum atau gasoline menghasilkan emisi gas beracun seperti karbon monooksida dan/atau nitrit oksida. Formasi petroleum kebanyakan terjadi dalam bermacam reaksi endotermik pada tekanan dan/atau suhu tinggi (Charade dan Subandri, 1983)..
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya (Charade dan Subandri, 1983).
Limbah minyak yang berasal dari minyak mentah (crude oil) terdiri dari ribuan konstituen pembentuk (Charade dan Subandri, 1983), yang secara struktur kimia dapat dibagi menjadi lima family :
a.    Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons)
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 % komposisi minyak mentah. Senyawa alkana bercabang (branched alkanes) biasanya terdiri dari alkana bercabang satu ataupun bercabang banyak (isoprenoid), contoh dari senyawa ini adalah pristana, phytana yang terbentuk dari sisa-sisa pigment chlorofil dari tumbuhan. Kelompok terakhir dari famili ini adalah napthana (Napthenes) atau disebut juga cycloalkanes atau cycloparaffin. Kelompok ini secara umum disusun oleh siklopentana dan siklohexana yang masanya mewakili 30-50% dari massa total minyak mentah.
b.    Aromatik (Aromatics)
Famili minyak ini adalah kelas hidrokarbon dengan karakteritik cincin yang tersusun dari enam atom karbon. Kelompok ini terdiri dari benzene beserta turunannya. Aromatik ini merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya organisma didalam matrik tanah ataupun pada badan air. Jumlah relative hidrokarbon aromatic didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 %.
c.    Asphalten dan Resin
Selain komponen utama penyusun minyak tersebut di atas, minyak juga dikarakterisasikan oleh adanya komponen-komponen lain seperti aspal (asphalt) dan resin (5-20 %) yang merupakan komponen berat dengan struktur kimia yang kompleks berupa siklik aromatic terkondensasi dengan lebih dari lima ring aromatic dan napthenoaromatik dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut memiliki polaritas yang tinggi.
d.    Komponen non-hidrokarbon
Kelompok senyawa non-hidrokarbon terdapat dalam jumlah yang relative kecil, kecuali untuk jenis petrol berat (heavy crude). Komponen non-hidrokarbon adalah nitrogen, sulfur, dan oksigen, yang biasanya disingkat sebagai NSO. Biasanya sulphur lebih dominant disbanding nitrogen dan oxygen, sebaga contoh, minyak mentah dari Erika tanker mengandung kadar S, N dn O berturut-turut sebesar 2.5, 1.7, dan 0.4 % (Baars, 2002).
e.    Porphyrine. Senyawa ini berasal dari degradasi klorofil yang berbentuk komplek Vanadium (V) dan Nikel (Ni).

B. Pencemaran Minyak di Laut
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan komponen lain ke dalam suatu sistem, dan atau berubahnya tatanan suatu sistem oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas  dari sistem tersebut menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Berdasarkan PP No.19/1999, pencemaran laut diartikan sebagai masuknya/ dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Sedangkan Konvensi Hukum Laut III  mengartikan bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merusak sumber daya hayati laut (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas air laut dan mutu kegunaan serta manfaatnya.
Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang harus diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungan–anjungan pengeboran minyak lepas pantai. dan juga karena semakin meningkatnya transportasi laut
Menurut Pramudianto (1999), pencemaran minyak di laut berasal dari:
1.  Operasi Kapal Tanker
2.  Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal)
3.  Terminal Bongkar Muat Tengah Laut
4.  Tanki Ballast dan Tanki Bahan Bakar
5.  Scrapping Kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua)
6.  Kecelakaan Tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan)
7.  Sumber di Darat (minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung hydrocarbon (perkantoran & industri)
8.  Tempat Pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery )

C. Wathering/ Pelapukan pada Tumpahan Minyak Bumi
Proses transformasi oil spill di laut yaitu ketika oil spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun minyak yang tumpah pada akhirnya akan terurai/terasimilisi oleh lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan kimiawi minyak dan proses peluruhan (weathering) minyak secara alamiah (Pramudianto, 1999).
Weathering atau pelapukan minyak adalah proses penghamburan minyak yang tumpah hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang mengubah komposisi. Minyak akan mengalami pelapukan dalam cara-cara yang berbeda. Beberapa prosesnya, seperti pada pendispersian alami minyak ke dalam air, mengakibatkan bagian dari minyak meninggalkan permukaan air laut, dan sisanya, seperti pada proses evaporasi atau formasi air pada emulsi minyak, mengakibatkan minyak yang tersisa pada permukaan dan tinggal dalam waktu lama (persisten).
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah:
1.  Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih;
2.  Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak;
3.  Kondisi meteorologi (sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanograpi dan temperatur udara); dan
4.  Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri, nutrien, dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi).
Cara dimana lapisan minyak pecah dan menyebar sangat tergantung pada ketahanan (tingkat persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin cenderung terevaporasi, tersebar dengan cepat, dan tidak perlu pembersihan sebab akan hilang secara alami. Ini dinamakan minyak non-persisten. Sebaliknya, minyak persisten seperti pada kebanyakan minyak mentah, pecah dan menyebar lebih lambat dan biasanya memerlukan tindakan pembersihan. Sifat fisika seperti densitas, viskositas, dan titik alir minyak, semuanya mempengaruhi sifat penyebarannya.
Penyebaran tidak terjadi tiba-tiba. Waktu penyebarannya tergantung sejumlah faktor, termasuk jumlah dan tipe tumpahan minyak, kondisi cuaca, dan jika minyak tertinggal di laut atau terbawa ke darat. Kadang-kadang, prosesnya cepat dan pada waktu lain terjadi dengan lambat, terutama di perairan tertutup dan tenang. Proses pelapukan (Wathering) tumpahan minyak di laut terjadi ke dalam beberapa mekanisme diantaranya : melalui pembentukan lapisan (slick formation), penyebaran (dissolution), pergeseran, penguapan (evaporation), polimerasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), emulsi air dalam minyak (water in oil emulsions), emulsi minyak dalam air (oil in water emulsions), fotooksida, biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna oleh planton dan bentukan gumpalan.
Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat dengan segera membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan minyak tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain gaya gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat mudah menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat.
Hilangnya sebagian material yang mudah menguap tersebut membuat minyak lebih padat/ berat dan membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang terlarut dalam air laut, akan membuat lapisan lebih tebal dan melekat, dan turbulensi air akan menyebabkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Ketika semua terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah karakter minyak dan akan terjadi biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi jumlah minyak.
Proses pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat, ditambah dengan penguapan komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan mengurangi volume tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali minyak tersebut tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasoline atau kerosin hamper semua lenyap, sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi hanya mengalami pengurangan kurang dari 25%.

D. Dampak dari Pencemaran Minyak di Laut
Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar (Subchan, 2005). Bahwa dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang.
 Akibat jangka pendek molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.
Akibat jangka panjang lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain.
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari sampai ke lapisan air dimana ikan berkembang biak. Lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut , lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus. Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat, selain akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada tumbuhan laut yang ada (Subchan, 2005).
Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.

E.  Metode Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam penanganan tumpahan minyak (oil spill) di laut adalah dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima "reservoar" baik dalam bentuk tangki ataupun balon. Langkah penanggulangan ini akan sangat efektif apabila dilakukan di perairan yang memiliki hidrodinamika air yang rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan cuaca yang tidak ekstrem.
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu (Charade dan Subandri, 1983).
1.  In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
2.  Penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, arus dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.
3.  Bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass (Zhu, 2004). Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.
4.  Pemggunaan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
5.  Penggunaan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan).






BAB 3. PEMBAHASAN

Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai, baik yang sedang berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.
Sumber dari pencemaran laut antara lain adalah tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi trasportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun, sumber utama pencemaran lebih sering terjadi pada tumpahnya minyak dari kapal tanker. Hasil ekspoitasi minyak bumi diangkut oleh kapal tanker ke tempat pengolahan minyak bumi (crude oil). Pencemaran minyak bumi dilepas pantai bisa diakibatkan oleh sistem penampungan yang bocor, atau kapal yang tenggelam yang menyebabkan lepasnya crude oil ke badan perairan (laut lepas) (Ramadhany, 2009).
Dampak dari lepasnya crude oil di perairan lepas pantai mengakibatkan limbah tersebut dapat tersebar tergantung kepada gelombang air laut. Penyebaran limbah tersebut dapat berdampak pada beberapa negara. Dampak yang terjadi akibat dari pencemaran tersebut adalah tertutupnya lapisan permukaan laut yang dapat menyebabkan penetrasi matahari berkurang, menyebabkan proses fotosintesis terganggu, pengikatan oksigen terganggu, dan dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak terjadi di beberapa daerah antara lain di pantai Selatan (Cilacap), dan pantai Sakera Tanjung Uban, Bintan. Tumpahnya minyak mentah di pantai Selatan  terjadi akibat kebocoran saluran pipa bawah laut milik Pertamina RU IV Cilacap. Genangan minyak mentah yang awalnya hanya menggenangi kawasan lepas pantai Pulau Nusakambangan, menyebar hingga beberapa lokasi di pantai selatan Cilacap dan Kebumen. Dari pemantauan di berbagai kawasan pantai wilayah Cilacap, minyak mentah   menggenangi perairan obyek wisata pantai Teluk Penyu dan menyebar hingga ke beberapa titik lokasi pantai yang cukup jauh, seperti Pantai Widara Payung di wilayah Kecamatan Kroya Cilacap hingga pantai Karangbolong Kabupaten Kebumen (Republika Online. 2015).
Kebocoran minyak mentah terjadi saat salah satu kapal tangker yang melakukan pembongkaran muatan minyak melalui Single Point Mooring (SPM) di lepas pantai Pulau Nusakambangan. Namun saat proses pembongkaran muatan terjadi kerusakan pada sambungan pipa karet di bagian hulu pipa bawah laut. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kebocoran, sehingga minyak mentah tertumpah ke laut. Upaya yang dilakukan oleh pihak Pertamina untuk mengatasi hal ini adalah dengan meminta bantuan para nelayan untuk ikut mengambil dan menampung minyak mentah yang mencapai kawasan pantai. Pengambilan minyak tersebut dengan menggunakan jiregan, drum dan ember. Minyak yang diperoleh selanjutnya ditampung oleh pihak Pertamina (Republika Online. 2015).
Tumpahnya minyak mentah di pantai Sakera Tanjung Uban terjadi akibat tubrukan antara Motor Tanker Alyarmouk (dalam pelayaran dari Tanjung Pelepas Malaysia ke China) dan Kapal Motor Sinar Kapuas (pelayaran dari Hongkong ke Singapore) pada posisi 7 mil timur laut batu puteh (horsborgh) masih dalam wilayah Negara Singapore (Kompasaiana. 2015). Tubrukan kedua kapal tersebut telah menumpahkan Madura crude oil (minyak mentah) sebanyak 4,500 Ton (setara dengan 32,400 barel) ke laut. Berdasarkan hasil simulasi tumpahan minyak dengan perkiraan angin dan arus yang dibuat oleh OSCT Indonesia, tumpahan minyak berpotensi mencemari bagian utara pulau Bintan yang sangat dekat dengan Selat Singapore (Kompasaiana. 2015).
Dengan pergerakan angin dan arus bolak balik Utara ke Selatan dan sebaliknya, maka peran penanggulangan pencemaran harus selalu dalam kondisi siaga. Namun pemerintah daerah tidak mempunyai peralatan yang memadai untuk penanggulangan pencemaran, seperti Oil Boom, senyawa kimia Oil Dispersant, Obserbant ataupun serbuk gergaji. sehingga usaha swadaya masyarakat pesisirlah yang berinisiatif membersihkannya menggunakan peralatan seadanya karena tim penanggulangan pencemaran juga belum terbentuk. Selain diakibatkan dari tubrukan kapal, sumber pencemaran juga berasal dari pembuangan sisa tank cleaning (pembersihan tangki) kapal-kapal tanker yang melintas. Kegiatan tersebut sering dilihat oleh beberapa warga , bahkan beberapa dari mereka pernah tertangkap. Namun hal tersebut tidak membuat mereka jera dan terus melakukan pencemaran.
Akibat pencemaran yang sangat dirasakan adalah aktifitas nelayan untuk mencari ikan dilaut menjadi lebih sulit, ikan tidak mau datang sebab lautnya kotor. Sektor pariwisata terganggu akibat pantai yang kotor dengan limbah minyak yang tersebar hampir diseluruh pantai. Wisatawan lokal dan asing tidak bisa berenang dilaut karena jika terkena kulit akan menimbulkan gatal-gatal dan rasa perih jika terkena mata. Namun sampai saat in belum ada solusi baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat (Kompasaiana. 2015).
Berdasarkan beberapa kasus di atas telah banyak kerugian yang dialami dan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut, seperti menurut Pramudianto, (1999):
1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Kontaminasi terhadap udara yang perlu diperhatikan akan bahaya penguapan benzene karena mempunyai efek karsinogenik kepada manusia. Keadaan ini semakin penting untuk diantisipasi apabila kejadian tumpahan minyak berada dekat dengan lokasi penduduk yang padat. Dan benda purbakala, cagar alam dan harta karun di dasar laut yang terkena minyak dapat rusak atau berkurang nilai estetikanya. Oleh sebab itu nilai jualnya akan berkurang.
2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya. Minyak dapat mempengaruhi kehidupan mangrove dan organisme lain yang berasosiasi pada mangrove. Minyak dapat menutupi daun, menyumbat akar nafas, mencegah difusi garam dan menghambat proses respirasi pada mangrove. Dan vegetasi bawah air sangat sensitif terhadap kontaminasi minyak, karena vegetasi bawah air mimiliki produktivitas yang tinggi, berperan dalam siklus nutrien, berfungsi sebagai kawasan asuhan, mencari makan, dan berlindung berbagai spesies penting dan komersial tinggi dari jenis-jenis ikan.
3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari proses biodegradasi. Jika jumlah fitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.
4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati.
Permasalahan pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan masalah yang penting untuk ditangani mengingat besarnya ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut serta luasnya dampak yang diakibatkan pencemaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan langah-langkah pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai kegiatan yang dapat memacu terjadinya pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan laut. Semua ini menjadi kewajiban kita untuk melakukan usaha-usaha yang lebih konservatif demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Upaya pencegahan maupun penanggulangan pemcemaran laut telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut”. Pencegahan terjadinya pencemaran laut dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1.    Tidak membuang sampah ke laut
2.    Penggunaan pestisida secukupnya
3.    Yang paling sering di temukan pada saat pembersihan pantai dan laut adalah puntung rokok. Selalu biasakan untuk tidak membuang puntung rokok di sekitar laut.
4.    Kurangi penggunaan plastik
5.    Jangan tinggalkan tali pancing, jala atau sisa sampah dari kegiatan memancing di laut.
6.    Setiap industri atau pabrik menyediakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL)
7.    Pendaurulangan sampah organik
8.    Tidak menggunakan deterjen fosfat, karena senyawa fosfat merupakan makanan bagi tanaman air seperti enceng gondok yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air.
 Jika pencemaran minyak di laut tidak dapat dihindari maka dapat dilakukan upaya  pembersihan yaitu dengan melakukan pemantauan dan juga penanggulangan terhadap pencemaran minyak tersebut. Sebelum upaya penanggulangan tumpahan minyak dilakukan, maka tindakan pertama yang diambil adalah melakukan pemantauan tumpahan yang terjadi guna mengetahui secara pasti jumlah minyak yang lepas ke lautan serta kondisi tumpahan, misalnya terbentuknya emulsi.
Ada dua jenis upaya yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual dan penginderaan jauh (remote sensing). Karena ada keterbatasan pada masing-masing teknik tersebut, seringkali digunakan kombinasi beberapa teknik (Alamsyah, 1999).
1. Pengamatan visual melalui pesawat merupakan teknik yang reliable, namun sering terjadi pada peristiwa tumpahan minyak yang besar dengan melibatkan banyak pengamat, laporan yang diberikan sangat bervariasi. Ada beberapa faktor yang membuat pemantauan dengan teknik ini menjadi kurang dapat dipercaya seperti pada tumpahan jenis minyak yang sangat ringan akan segera mengalami penyebaran (spreading) dan menjadi lapisan sangat tipis. Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna terang atau pelangi. Namun, seringkali penampakan lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut. Karenanya, pengamatan ketebalan minyak berdasarkan warna slick kurang bisa dipercaya. Faktor lainnya adalah kondisi lingkungan setempat dan prediksi  coverage area.
2. Cara kedua dengan menggunakan metode penginderaan jarak jauh yang dilakukan dengan berbagai macam teknik seperti Side-looking Airborne Radar (SLAR) yang telah digunakan secara luas. SLAR memiliki keuntungan yaitu bisa dioperasikan segala waktu dan segala cuaca, menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil pengindraan lebih detail dengan kekintrasan tinggi dan bisa ditransmisikan. Sayangnya teknik ini hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang tebal dan tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dan kondisi laut sangat tenang. Selain SLAR digunakan pula teknik Micowave Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner dan LANDSAT Satellite System. Berbagai teknik ini digunakan besama guna menghasilkan informasi yang akurat dan cepat.
Setelah melakukan pemantauan dan mengetahui keadan secara pasti, selanjutnya dilakukan penanggulangannya.  Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya dengan pembakaran minyak pada permukaan air (in-situ burning), penyisihan secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer, bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, penggunaan sorbent melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent), dan penggunaan bahan kimia dispersan yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) (Charade dan Subandri, 1983).

     






KESIMPULAN

Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka timbullah upaya-upaya untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya dari pencemaran laut tersebut oleh negara-negara di dunia. Mengingat bahwa tumpahan minyak mentah membawa akibat yang amat luas pada lingkungan laut maka penanganannya tidak bisa diserahkan hanya pada satu institusi pemerintah saja dan perlu melibatkan kerja sama berbagai institusi.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penanggulangan tumpahan minyak bukan hanya meliputi cara pemantauan yang menuntut teknologi yang canggih, cara menghilangkan minyak yang menuntut penggunaan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan dan ramah lingkungan, namun meliputi pula penelitian dampak tumpahan minyak tersebut dan upaya rehabilitasi lingkungan yang tercemar baik hewan, tumbuhan, maupun estetika laut dan pantai.








DAFTAR PUSTAKA

Buku
Subchan, Drs. Wachju, M.S,Ph.D. 2005. Ilmu Pengetahuan Lingkungan. Laboratorium Sumber Belajar Biologi. Jember: Universitas Jember.
Internet
Kompasaiana. 2015. Laut Indonesia Tercemar Lagi oleh 4500 Tons MinyakMentah. http://m.kompasiana.com [8 September 2015].
Ramadhany, Dedy. 2009. Bioremediasi. Syakti, Agung Damar. 2008. Multi-Proses Remediasi di Dalam Penanganan Tumpahan Minyak (Oil Spill) di Perairan Laut dan Pesisir. http://pksplipb.or.id. [5 September 2015].
Republika Online. 2015. Tumpahnya Minyak Mentah Cemari Pantai Selatan. http://m.republika.co.id [8 September 2015].
Zhu, Xueqing. 2004. Pedoman Untuk Bioremediasi of Garam Terkontaminasi Minyak Rawa. www.google.com. [5 September 2015]
Terbitan Berkala
Alamsyah, Rachmat Benny, 1999, Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Charade, Titi Heri Subandri, 1983, Sekali Lagi Tentang Penanggulangannya : Pencemaran Air Akibat Industri Minyak, dalam Harian Pikiran Rakyat, edisi 15 Mei 1983. Eckenfelder Jr., W.Wesley, 1989, Industrial Water Pollution Control, 2ndedition, Singapore: McGraw Hill International Editions.

Pramudianto, Bambang, 1999, Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB

No comments:

Post a Comment