Psikologi agama, agama dan Kesehatan Mental
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman dahulu ketika tekhnologi
belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap penyakit yang diderita
oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual
dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan dengan gangguan makhluk
halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat kedukun atau
orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus
ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan
ilmu perobatan.
Pergeseran zaman dan kemajuan
tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat dilihat
dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan menggunakan metode pengolahan
canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat lebih menspesifikkan
penyakit-penyakit tersebut. Ada penyakit yang bersumber dari virus, bakteri
atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan obat-obatan medis,
tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu,
jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau
baksil-baksil, namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Pada makalah ini kami akan berusaha
menyajikan tentang Agama dan Kesehatan Mental sebaik mungkin yang kami dapat
dari literatur-literatur yang telah kami dapatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Agama dianggap sebagai kata yang
berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua akar suku kata yaitu “a”
yang berarti tidak dan “gama “ yang berarti kacau sehingga artinya tidak
kacau.hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang
mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Dalam bahasa Indonesia agama juga
dikenal dengan kata addin dari bahasa arab yang artinya hukum kata ini juga
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Agama memang membawa peraturan- peraturan yang merupakan hokum, yang harus
dipatuhi orang. Agama selanjudnya memang menguasai diri seseorang orang dan
membuat ia tunduk dan patuh kepada tuhan dengan menjalankan ajran- ajaran agama[1][1].
Istilah Kesehatan Mental diambil
dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti
Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal
dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan
bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik
berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) [2][2].
B. Kesehatan Mental Dalam Al Qur'an
Kebenaran al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam bersifat hakiki dan tidak
ada keraguan di dalamnya, karena ia diturunkan oleh Allah. Oleh karena itu
setiap orang yang beriman ataupun orang yang mempergunakan akal sehatnya pasti
akan menerima dan mengakui kebenaran apapun yang diungkapkan di dalamnya. Dalam
al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi
kesehatan mental, yang meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan
sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah, yang semuanya ditujukan
untuk mendapatkan hidup yang lebih berarti dan akan mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Untuk pembinaan dan pengembangan kesehatan mental manusia
membutuhkan agama. Dengan agama manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan
hidup yang berada di luar kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah.
Ajaran Islam membantu orang dalam menumbuhkan dan membina pribadinya, yakni
melalui penghayatan nilai-niiai ketakwaan dan keteladanan yang diberikan Nabi
Muhammad Saw. Dalam al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan
uraian definisi kesehatan mental, yang meliputi hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah SWT.Ayat :
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz Dzariyat (51) : 56)”
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar ". (QS Al Baqarah (2): 153).
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (agama) dari Tuhanmu sebagai penyembuh bagii penyakit yang ada di dalam, dada (rohani), sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman". (QS. Yunus (10) : 5 7).
"Allah-lah yang telah menurunkan ketenangan jiiva di dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka yang sudah ada"( QS. A1 Fath (48): 4)
C. Ciri-ciri
Kesehatan Mental
Ciri-ciri kesehatan mental
dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu[3][3]:
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi
yang psikis ada
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri)
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas
yang ada
6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri
sendiri.
agama dapat memberi dampak yang
cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan. Orang yang
sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia
juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia
akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.Solusi terbaik untuk
dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat
ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan
lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri
semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan
seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan
intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan
karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh
aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan
gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama,
bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal
ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon
Politicon.
D.
Manusia dan
Agama
Psikologi modern tampaknya memberi
porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang
digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah
satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama
dalam kehidupan kejiwaan manusia.[4][4]
Pendapat yang paling ekstrem pun hal
itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan
pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi. Secara
psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa
ketidakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk
perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar
dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Lain halnya dengan penganut Behaviorisme.
Walaupun dalam pembahasannya, Skinner, salah seorang tokoh Behaviorisme tidak
menyinggung perilaku keagamaan secara khusus, namun tampaknya sama sekali tak
dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya dengan kenyataan bahwa agama
memiliki institusi dalam kehidupan masyarakat (Jalaluddin, 2010).
Sejalan dengan prinsip teorinya,
bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant
(rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari stimulant dan
respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang memberi
tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku keagamaan,
sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh
Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya
dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia
berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah.
Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala), lebih jelas
membahas perilaku keagamaan adalah psikologi humanistic. Menurut Abraham
Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistic yang berusaha memahami esoteric
(rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia memliki kebutuhan
yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama,
kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti: makan, minum,
istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang
mendorong orang agar bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan
akan kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat,
kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam bentuk
aktualisasi diri antara lain dengan berbuat sesuatu yang berguna. Pengalaman puncak yang transeden
digambarkan sebagai kondisi yang sehat super normal (normal super healty)
dan sehat super-super (super-super healty), yang oleh Maslow disebut peakers
(transcenderr) dan non-peakers (non-transcenders).
Teori yang dikemukakan Maslow yang
disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan
kekuatan transcendental ini dinilainya sebagai tingkat dari kesempurnaan
manusia sebagai pribadi (self). Gambaran tentang kesempurnaan tingkat
kepribadian manusia ini agak mirip dengan konsep insan al-kamil, pribadi
manusia sempurna yang kembali pada fitrah kesuciannya. Fitrah ini menurut M.
Quraish Shihab memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan manusia untuk menyenangi
yang benar, baik, indah.
Agama tampaknya memang tampak tak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama
agaknya dikarenakan factor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh
kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Manusia ternyata memiliki unsur
batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib.
Agama
sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh al-Qur’an:
” فأقم وجهك
للدّين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدّين
القيّم ولكن أكثر الناس لا يعلمون ” (الروم:30)
artinya:
maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. (QS 30:30).
Dalam
al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah.
Maksudnya ciptaan Allah. Manusia dicipatakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu
wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan.
Muhammad As-Shobuny, mentafsirkannya
menjadi sikap ikhlas dan tunduk kepada Islam sebagai agama Allah dan menjadikan
kecenderungan untuk tunduk kepada agama yang benar, yaitu Islam. dan Allah
menjadikan pada diri manusia untuk tunduk pada fitrah tauhid. dalam berbagai
sumber, psikologi agama menurut pendekatan Islam telah mengungkapkan hubungan
manusia dengan agama.
C. Gangguan Mental
Gangguan mental dapat dikatakan
sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan
maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan
mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan
mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya
pada ketidak wajaran dalam berperilaku (Zakiah Daradjat, 2010).
Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh meliputi
beberapa hal :
1. Salah dalam penyesuaian sosial,
orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok
dimana dia ada.
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4. Sebagian penderita gangguan
mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang
tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
E. Agama dan
Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin
karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi
atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit
dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung
mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian
dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self)
ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka
tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada
dalam (QS Ar Ruum 30:30)
Artinya: 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui[1168],
manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal
itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Kesehatan mental (mental bygiene)
adalah ilmu yang meliputi system tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan
serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.
Dalam ilmu kedokteran dikenal
istilah psikosomatik (kejiwabadanan). Dimaksudkan dengan istilah
tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa
dan badan. istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang
adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat
badan segar dan badan sehat jiwa normal[5][5].
Sejumlah kasus yang menunjukkan
adanya hubungan antara factor keyakinan dan kesehatan jiwa atau mental
tampaknya sudah disadari para ilmuwan beberapa abad yang lalu. misalnya,
pernyataan Carel Gustay Jung “diantara pasien saya yang setengah baya,
tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi
oleh aspek agama”. Prof Dr. Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir lebih jauh membahas
hubungan antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan teori biokimia.
menurutnya, di dalam tubuh manusia terdapat sembilan kelenjar hormon yang
memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengarih biokimia
tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh
kepada eksistensi dan berbagai-bagai kegiatan tubuh.
Lebih jauh Muhammad Mahmud Abd
Al-Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti bahagia, rasa
dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada dalam diri manusia adalah
akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping
persenyawaan lainnya. tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi
manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. karena itu, selalu terjadi
perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar
dari keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.
Jika seseorang berada dalam keadaan
normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam
keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh Abd
Al-Qadir sebagai spectrum hidup. Penemuan Muhammad mahmud Abd Al-Qadir
seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan adanya
hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit
batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikkan orang. Dengan adanya
gerakan Christian Science, kenyataan sepeti itu diperkuat pengakuan
ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama
antara dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai
manfaat dari ilmu jiwa agama. Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama
dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan
jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan
Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang itu diduga akan memberi sikap optimis pada
diri seseorang sehingga muncul perasaan positif. Maka, dalam kondisi yang
serupa itu manusia berada dalam keadaan tenang dan normal, yang oleh Muhammad
Mahmud Abd Al-Qadir, berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon
tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi
kodratinya, sesuai dengan fitrah kajadiannya, sehat jasmani, dan ruhani.
F. Agama
sebagai Terapi Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan
mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di
antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl
16:97)
“Artinya :
97. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”
[839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
(QS Ar Ra’ad 13:28)
[839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
(QS Ar Ra’ad 13:28)
“Artinya 28.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
Terapi
ialah usaha
penaggulangan suatu penyakit atau gejalah yang ada dalam diri makhluk hidup.
a.
Bentuk-Bentuk Terapi
terapi bermacam bentuk ada yang
secara lisan yaitu dengan diberi norma-norma agama, ada pula berbentuk seperti
pijat, dan operasi.
Bentuk
kakusutan fungsional ini bertingkat. yaitu psychopath, psychoneurose,
dan psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa seorang tidak mengikuti
tuntutan-tuntutan masyarakat. pengidap psychoneurose menunjukkan
perilaku menyimpang. Sedangkan, penderita psikotis dinilai mengalami kekusutan
mental yang berbahaya sehingga memerlukan perawatan khusus.
Usaha
penanggulangan kekusutan ruhani atau mental ini sebenarnya dapat dilakukan
sejak dini oleh yang bersangkutan. dengan mencari cara yang tepat untuk
menyesuaikan diri dengan memilih norma-norma moral, maka kakusutan mental akan
terselesaikan.
Penyelesaian
dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur seperti
bekerja dengan jujur, resignasi, sublimasi, kompensasi. dalam konteks ini
terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab, nilai-nilai
luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian
dan pengendalian diri, hingga terhindar dari konflik batin.
Pendekatan
terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an sendiri sebagai
kitab suci. Diantara konsep terapi gangguan mental ini adalah pernyataan Allah:
dalam surat Yunus dan surat Isra’.
” يأيها
الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للعالمين ”
(يونس:57).
” وننزل من
القرءان ماهو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خسارا ” (الإسراء:82).
artinya:
Wahai
manusia, sesungguhnya sudah datang dari Tuhanmu al-Qur’an yang mengandung
pengajaran, penawar bagi penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman. (QS Yunus: 57).
Dan kami turunkan
al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS Isra’:
82).
Kesehatan
mental adalah suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang,
aman, dan tenteram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan
antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri
sepenuhnya kepada Tuhan). Dalam al-Qur’an petunjuk mengenai penyerahan diri
cukup banyak.
G.
Musibah
Musibah merupakan pengalaman yang
dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh korban yang terkena
musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti lemparan yang kamudian
digunakan dalam makna bahaya, celaka, atau bencana dan bala. menurut Al-Qurtubi,
musibah adalah apa saja yang menyakiti dan menimpa pada diri seorang, atau
sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia, betapapun kacilnya. Musibah
dapat menimbulkan penderitaan maupun kesengsaraan bagi korbannya. Terkadang
berlangsung dalam waktu yang panjang, atau bahkan seumur hidup. Oleh karena
itu, setiap orang berusaha untuk menghindar diri dari kemungkinan tertimpa
musibah[6][6].
1.
Sebab terjadinya Musibah
Penyebab terjadinya musibah
bermacam-macam. ada yang disebabkan oleh perbuatan manusia secara langsung,
ataupun penglolaan alam yang keliru, serta yang murni disebabkan oleh alam.
2.
Macam-Macam Musibah
Dari pendekatan agama, musibah dapat
dibagi menjadi dua macam.
a.
musibah yang
terjadi sebagai akibat dari ulah tangan manusia. Karena kesalahan yang
dilakukannya, manusia harus menanggung akibat buruk dari perbuatannya sendiri.
Musibah ini dikenal sebagai hukum karma, yakni sebagai “pembalasan”. Kemudian
yang
b. musibah
sebagai ujian dari Tuhan. Musibah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perbuatan keliru manusia. Betapapun baik dan bermanfaatnya aktivitas yang
dilakukan manusia, serta taatnya mereka menjalankan perintah Tuhan, musibah
yang seperti ini bakal mereka alami juga. Oleh karena itu, musibah ini sering
dihubung-hubungkan dengan takdir (ketentuan Tuhan).
Erich Fromm, mencoba menganalisis melalui pendekatan
psikologi. Menurutnya derita yang dialami korban musibah disebabkan adanya rasa
kedekatan. Seseorang yang merasa dekat dengan sesuatu, akan merasa kehilangan
bila berpisah dengan sesuatu atau orang yang ia merasa dekat dengannya. rasa
kedekatan yang mendalam, berubah menjadi rasa cinta. Kesedihan dan derita yang
dirasakan seseorang, sebanding dengan tingkat kecintaannya kepada sesuatu.
Semakin tinggi dan mendalam rasa cintanya, maka akan semakin berat derita yang
dialami, bila seseorang kahilangan yang ia cintai itu. Sebaliknya, dalam
pendekatan keagamaan, kesedihan yang ditimbulkan oleh musibah terkait dengan
rasa memiliki.
Terkadang secara tak sadar, manusia
menganggap, bahwa segala yang ia miliki, sepenuhnya diperoleh dari hasil kerja
kerasnya. Adakalanya pula perasaan memiliki ini mencakup kawasan yang lebih
luas. Tidak hanya sekadar kepemilikan bendawi, tetapi juga pribadi-pribadi
tertentu. Suami terhadap Istri dan sebaliknya, atau orang tua terhadap anak dan
anak juga terhadap orang tuanya. Saat ditimpa musibah, manusia terpaksa harus
kahilangan sebagian atau seluruh yang ia miliki. Makin besar nilai kepemilikan
yang hilang, akan semakin berat derita yang dirasakannya. Musibah memang
membawa derita bagi korbannya. Derita fisik maupun batin. berdasarkan
pendekatan psikosomatik, sebenarnya derita fisik dan derit batin tidak dapat
dipisahkan. Keduanya akan saling mempengaruhi. Namun dalam kenyataannya, derita
batin lebih mendominasi karena ia langsung berhubungan dengan perasaan.
Menurut pendekatan psikologi agama,
sebenarnya derita yang dialami oleh korban musibah terkait dengan tingkat
keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki keyakinan yang mendalam terhadap
nilai-nilai ajaran agama, bagaimanapun akan lebih mudah dan cepat menguasai
gejolak batinnya. Agama menjadi pilihan dan rujukan untuk mengatasi konflik
yang terjadi pada dirinya. Di kala musibah manimbulkan rasa kehilangan dari apa
yang dimilikinya selama ini, hatinya akan dibimbing oleh nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran agamanya. Manusia pada dasarnya memang bukan pemilik
mutlak. Apa saja yang ia miliki, termasuk tubuh dan nyawa, hakikatnya adalah
kepunyaan Allah. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan menganugrahkan kepada manusia
nikmat-Nya berupa kehidupan ataupun kekayaan. Statusnya hanya sebagai titipan
amanah. Dalam menjalani kehidupannya manusia senantiasa berada dalam sebuah
arena ujian yang sarat dengan berbagai cobaan.
Salah satu fungsi agama dalam
kehidupan manusia, menurut Elizabeth K. Nottingham, adalah sebagai penyelamat.
Dalam kondisi ketidakberdayaan, secara psikologis nilai-nilai ajaran agama
dapat membantu meneteramkan goncangan batin. Dengan kembali kepada tuntunan
agama, korban berusaha menyadarkan dirinya, bahwa musibah merupakan resiko yang
harus dihadapi dalam menjalani kehidupan lebih dari itu ia menjadi sadar bahwa
ia bukan pemilik mutlak dari segala yang menjadi miliknya. Keluarga, kerabat,
bahkan dirinya adalah milik sang pencipta. Semua miliknya hanyalah titipan yang
sewaktu-waktu akan diambil oleh sang pemilik mutlak.
Ditengah-tengah kegoncangan batin
korban dapat pula menelusuri hikmah atau nilai-nilai positif yang terkandung
didalamnya. Apakah musibah yang dialaminya sebagai balasan (I’tibar)
ataukah ujian (ikhtibar). Bila derita yang dialaminya merupakan balasan
dari perbuatan yang pernah dilakukannya, maka musibah akan menyadarkannya akan
kesalahan masa lalu. Tak diragukan lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu
terjadi akibat ulah manusia sendiri. Al-Qur’an menyatakan: “Dan apa saja
yang usibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu
sendiri.” (Mubsin Qiraati, 2001:93) Tuntunan ini, setidaknya akan
membawanya kepada kesadaran untuk memperbaiki diri.Sebaliknya bila deritanya
dianggapnya sebagai ujian, maka ia akan berusaha untuk bersabar. Menerima
dengan sabar dan tulus,hingga derita yang berat akan terasa ringan. Perasaan
batinnya diredakan oleh keyakinan, bahwa musibah yang dialaminya merupakan
bagian dari ketentuan dan takdir dari Tuhan.
Dalam menghadapi musibah, orang-orang
memiliki keyakinan agama terlihat lebih tabah. Mereka lebih mudah menetralisasi
kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam batinnya. Keyakinan dan kepercayaan
kepada Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat berlindung atau penyalur derita
yang dirasakan. dalam keadaan yang demikian, Tuhan dianggap sebagai
satu-satunya “penolong” atau “juru selamat” yang mampu meredam penderitaan yang
mereka alami.
Sebaliknya orang-orang yang memiliki tingkat keyakinan
agama yang kurang, ataupun tidak memiliki keyakinan agama sama sekali, terkesan
sulit menetralisasi kegoncangan jiwanya. Sulit menemukan jalan keluar, mudah
gelap mata, dan akhirnya mengambil jalan pintas. Tak jarang korban yang merasa
begitu terhempit oleh derita itu mangakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Kemampuan menahan derita dalam menghadapi masalah musibah, tampaknya tidak ada
hubungan dengan latar belakang pendidikan.
Keyakinan terhadap tuhan, akan
memberikan rasa damai dalam batin. Kedamaian dalam keselamatan merupakan bagian
dari insting mempertahankan diri yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu
kembali kepada Tuhan dengan memohon perlindungan, merupakan saluran yang
sejalan dengan dorongan instingtif manusia. Kecenderungan terhadap pertolongan
ini tersirat dalam do’a. Menurut William James, seluruh do’a dalam agama memuat
kalimat yang berisi permohonan perlindungan kepada Tuhan. Demikian pula
mantera-mantera yang ditemui di lingkungan masyarakat primitif, juga tak lepas
dari kecenderungan serupa, yakni kepada sesuatu yang dianggap sebagai “
penguasa alam”, atau yang menentukan nasib manusia.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari
keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian
diri terhadap lingkungan sosial) Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa
aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas
segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan
mengendalikan dirinya sendiri.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena
faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan
masing-masing. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia
diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia
tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya
karena pengaruh lingkungan
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya
dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap
penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga
akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.
Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan
penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan
dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan
penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur
kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam
proses pembuatan makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Daradjat Zakiah. 2010. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta :
Bulan Bintang
Daradjat
Zakiah . 1995. Kesehatan Mental.
Jakarta : Gunung Agung
Jalaluddin.
2002. Psikologi Agama. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Jalaluddin.
2010. Psikologi Agama. Jakarta :
Rajawali Pers.
Kartini
Kartono. 2000. Hygiene Mental.
Jakarta : Bandar Maju
Ramayulis . 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia
Ramayulis . 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia
[1][1] Ramayulis . Pengantar Psikologi Agama. Kalam Mulia.
2002. Hlm 154
[3][3] Zakiah Daradjat . Kesehatan Mental. Gunung Agung. 1995.
Hlm 13
[4][4] Jalaluddin. Psikologi Agama. Rajawali. 2010. Hlm.155
[5][5] Zakiah Daradjat. Ilmu
Jiwa Agama. Bulan Bintang. 2010. Hlm 37
[6][6] Jalaluddin. Psikologi
Agama. Rajawali Pers. 2010. Hlm 180
No comments:
Post a Comment