KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT yang senantiasa memnberikan rahmat, karunia dan berkahnya
kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini walaupun tidak terlepas
dari kekurangan dan kesalahan. Shalawat beriring salam ditujukan kepada
junjungan alam nabi Muhammad SAW yang telah mengantar umatnya kealam yang penuh
harapan dan cita-cita yang ditandai dengan lahirnya sebuah peradaban yang
cemerlang. Makalah ini belumlah merupakan makalah yang memadai sertajauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu sarandan kritik dari pembaca yang bersifat
membangun sangat diiharapkan, agar makalah ini lebih mendekati titik
kesempurnaan.
Selanjutnya, kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Terlebih lagi kepada Bapak
Zulwisman, S.H., M.H yang telah membimbing kami dalam proses belajar mengajar
di kelas. Akhirnya, kepada Allah jualah dimohonkan semoga makalah ini dapat
memberi manfaat kepada semua.
Pekanbaru, 27 Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN
MASALAH 3
C. TUJUAN PENULISAN ......................................................................................... 3
D. MANFAAT
PENULISAN .................................................................................... 3
BAB II ISI
A. PERUMUSAN AWAL
KONSTITUSI...................................................................... 4
B. PERIODISASI KONSTITUSI DI
INDONESIA.......................................................... 6
C. PERUBAHAN
KONSTITUSI ............................................................................... 15
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN..................................................................................................... 20
B. SARAN ..............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman Yunani Purba istilah
konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu masih diartikan materiil karena
konstitusi itu belum diletakkan dalam suatuu naskah yang tertulis. Ini dapat
dibuktikan pada faham Aristoteles yang membedakan istilah politeia dan nomoui.
Politeia diartikan sebagai konstitusi sedangkan nomoi adalah undang-undang
biasa. Diantara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politeia mengandung
kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi, karena politeia memiliki
kekuasaan membentuk sedangkan padanomoi kekuasaan itu tidak ada,
karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai
berai.[1]
Dalam kebudayaan Yunani istilah
konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan Resblica constituere.
Dari sebutan inilah lahir semboyan yang berbunyi, “Prinsep Legibus Solutus
es, Salus publica suprema lex” Yang artinya, rajalah yang berhak menentuka
organisasi atau struktur daripada negara, oleh karena ia adalah satu-satunya
pembuat undang-undang.
Dalam abad pertengahan juga sudah
dikenal orang tentang konstitusi, tetapi dengan sebutan lain. Dalam
abad menengah timbul suatu aliran yang disebutmonarcho machen[2].
Untuk mencegah agar raja tidak berbuat sewenang-wenang maka golongan ini
menghendaki suatu perjanjian dengan raja. Aliran ini terutama terdiri dari
golongan calvinis[3] yang
menuntut pertanggungjawab raja dan jika perlu raja bisa dipecat dan di bunuh.
Konstitusi
dengan istilah lain Constitution atau Verfassung dibedakan
dari Undang-Undang Dasar atau Grundgezets. Karena suatu kekhilafan
pandangan oraang mengenai konstitusi negara modern, maka pengertian konstitusi
disamakan dengan Undnag-undang dasar. Begitu besar faham kodifikasi, sehingga
setiap pearturan hukum harus ditulis dan konstitusi yang ditulis itu adalah
UUD. Herman Heller membagi konstitusi dalam tiga pengertian, yaitu :[4]
a. Konstitusi mencerminkan
kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum
merupakan konstitusi dalam arti hukum atau dengan perkataan lain konstitusi
masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan
pengertian hukum.
b. Baru setelah oraang mencari
unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk
dijadikan sebagai suatu kesatuan kaedah hukum, maka konstitusi itu
disebut recht verfassung.
c. Kemudian orang mulai menulisnya
dalam suatu naskah sebagai Undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu
negara.
Jadi, jika pengertian
Undang-Undang Dasar itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka
arti dari Undang-undang Dasar baru merupakan sebagian dari penngertian
konstitusi yang ditulis ( Die geschrieben Verfassung ).Kesalahan
dari faham modern terletak pada penyamaan arti dari Konstitusi dengan
Undang-Undang Dasar, sedangkan Konstitusi itu sebenarnya tidak hanya bersifat
yuridis semata-mata tapi juga bersifat sosiologis dan politis.[5]
Suatu Rechtverfassung memerlukan
dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat mengenai bentuk bentuknya dan
syarat mengenai isinya. Bentuknya sebagai naskah tertulis yang merupakan
Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Isinya merupakan
peaturan yang bersifat fundamental artinya, bahwa tidak semua masalah yang
penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat
pokok,dasar atau asas-asas saja. Pengkhususan atau pelaksanaan dapat diatur
dalam dalam peraturan-peraturan yang lebih rendah, yang lebih mudah di robah
sesuai dengan kebutuhan zaman.
Undang-Undang Dasar merupakan
naskah konstitusi yang tertulis dalam satu kodifikasi (written
constitution, geschveren constitutie). Republik Indonesia pernah mempunyai
beberapa versi naskah yang berbeda, yaitu : (i) UUD 1945 periode 1, 1945-1949 ;
(ii) Konstitusi RIS tahun 1949, 1949-1950 ; (iii) UUDS Tahun 1950, 1950-1959 ;
(iv) UUD 1945 periode 2, 1959-1999 ; (v) UUD 1945 periode 3, 1999-2000 ; (vi)
UUD 1945 periode 4, 2000-2001 ; (vii) UUD 1945 periode 5, 2001-2002 ; dan
(viii) UUD 1945 periode 6, 2002 sampai dengan sekarang.
Oleh karena banyak perubahan
terhadap konstitusi di Indonesia inilah membuat tim penulis tertarik untuk
mengangkat “ Sejarah dan Periodisasi Konstitusi di Indonesia dari Awal
Kemerdekaan hingga Reformasi” sebagai bahan permakalahan untuk
memenuhi tugas prasyarat mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) dari Bapak
Zulwisman, S.H., M.H..
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perumusan awal
konstitusi di Indonesia?
2. Bagaimanakah periodisasi
konstitusi di Indonesia?
3. Mengapa konstitusi di Indonesia
mengalami perubahan dari awal perumusan hingga Reformasi?
4. Bagaimanakah cara merubah sebuah
konstitusi?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang perumusan
awal konstitusi di Indonesia.
2. Menjelaskan periodisasi
konstitusi di Indonesia.
3. Menjelaskan alasan konstitusi di
Indonesia mengalami perubahan dari awal perumusan hingga reformasi.
4. Menjelaskan tentang tata cara
perubahan konstitusi.
D. Manfaat Penulisan
Dengan mempelajari Sejarah
konstitusi dan periodisasi konstitusi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga
reformasi dapat meningkatkan wawasan pembaca tentang pengertian konstitusi dan
bagaimana perjalanan konstitusi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat
ini. Disamping itu untuk mengetahui pasal-pasal apa saja yang
mengalami perubahan dalam UUD 1945.
BAB II
ISI
A. Perumusan Awal Konstitusi di
Indonesia
Sebagai Negara yang berdasarkan
hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan
undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang hingga akhirnya
diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam sejarahnya, Undang-Undang
Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh badan
penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam
bahasa jepang dikenal dengandokuritsu zyunbi tyoosakai yang
beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil
ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3
orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda
kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor
23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian,
2001:59)[6]
Badan ini kemudian menetapkan tim
khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang kemudian
dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45). Para tokoh perumus itu
adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto
Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo
Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr.
Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi
Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH.
Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan
(Sumatra).
Latar belakang terbentuknya
konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “sejak dari
dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai Nippon sudah
mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah hindia
belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan
perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan
penjajahan Belanda”.
Sejak saat itu Dai Nippon
Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta
membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang,
sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai
bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah
yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia. Setelah
Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah
menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa
untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.
Setelah kemerdekaan diraih,
kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi,
dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah
Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar
kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan
sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai
berikut:
1. Menetapkan dan
mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan
undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945
2. Menetapkan dan
mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang
disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945
3. Memilih ketua
persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua
Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden
4. Pekerjaan presiden
untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
kemudian menjadi komite Nasional
5. Dengan terpilihnya
presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara
formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim
diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
ü Rakyat, yaitu bangsa Indonesia
ü Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang
dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan
kecil
ü Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan
Indonesia
ü Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan
wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara
Telah dijelaskan bahwa
Undnag-Undang Dasar 1945 disusun oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian di lanjutkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan disahkan oleh PPKI. Jelas bahwa
kedua badan tersebut bukan konstituante atau badan yang dapat disamakan dengan
itu seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum.
Prof. Ismail Sunny dalam
bukunya “ Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” menyebut bahwa kesahan
Undang-Undang Dasar 1945 harus dipertimbangkan dengan menunjuk kepada
berhasilnya revolusi Indonesia. Jadi karena revolusi Indonesia berhasil, maka
apa yang dihasilkan oleh revolusi itu-Undang-Undang Dasar 1945 adalah sah.[7]
B. Periodisasi Konstitusi Di
Indonesia
1. Undang-Undang Dasar 1945 (18
Agustus 1945-27 Desember 1949)
Saat Republik Indonesia
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik yang baru ini belum
mempunyai Undang-Undang Dasar. Baru sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disahkan Undang-Undnag
Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Berlainan dengan Undang-Undang
Dasar 1949 yang dengan tegas dinyatakan dalam pasal 186 bahwa sifatnya
sementara, maka Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada keterangan tentang hal
tersebut. Namun, kalau dibaca Undang-undang Dasar 1945 dimana dalam pasal III
ayat (2) aturan tambahan disebutkan, akan dibentuk Majelis Permusyawaratan
menurut pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 salah satu tugas Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar, maka ini berarti
bahwa selama Majelis Permusyawaratan Rakyat belum menetapkan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar yang tetap, tidak bisa lain sifatnya
adaalah sementara.
2. Konstitusi RIS ( 27 Desember
1949-17 Agustus 1950)
Perjalanan negara baru Republik
Indonesia, ternyata tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan
untuk kembali berkuasa di Indonesia. Ternyata mengembalikan Hindia Belanda
seperti sebelumnya Jepang datang ke Indonesia adalah tidak mudah. Dan akibatnya
Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara seperti Negara Sumatra Timur,
Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya.
Taktik Belanda dengan adanya negara-negara itu akan meruntuhkan kekuasaan
Republik Indonesia.
Sejalan dengan usaha Belanda
tersebut maka terjadilah Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada
tahun 1948. Akibat dari hal ini kemudian dan pengaruh dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, maka di Den Haag diadakan Konferensi Meja Bundar dari tanggal 23
Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil
dari Republik Indonesia, B.F.O (Bijeenkomst voor federal Overleg) dan
Nederland serta sebuah komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Dalam konferensi itu dihasilkan
tiga buah persetujuan pokok, yaitu :
1. Mendirikan Negara
Republik Indonesia Serikat;
2. Penyerahan Kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat;
3. Didirikan Uni antara Republik
Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Sedangkan persetujuan penyerahan kedaulatan terrdiri
dari tiga persetujuan, yaitu :
1. Piagam penyerahan kedaulatan;
2. Status Uni;
3. Persetujuan perpindahan.
Rencana Undang-Undang Dasar untuk
Negara Republik Indonesia Serikat dibuat oleh delegasi B.F.O pada Konferensi
Meja Bundar tersebut, rencana tersebut diterima oleh kedua belah pihak dan
mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 yang sebelumnya pada tanggal 14
Desember 1949 telah disetujui oleh Komite Nasional Pusat sebagai badan
perwakilan rakyat di Republik Indonesia.
Dengan berdirinya Negara Republik
Indonesia Serikat, maka Republik Indonesia hanyalah merupakan salah satu Negara
Bagian dalam Republik Indonesia Serikat, dan wilayahnya sesuai dengan pasal 2
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat ( UUD RIS) adalah daerah yang
disebut dalam persetujuan Renville[8].
Undang-Undang Dasar 1945 yang semula berlaku untuk seluruh Indonesia maka mulai
tanggal 27 Desember 1949, hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik
Indonesia.
Atas dasar pertimbangan bahwa
sebetulnya badan yang membentuk Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat
kurang representatif, maka dalam pasal 186 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat disebutkan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Konstituusi Republik Indonesia Serikat. Dan dari
bunyi pasal ini jelaslah bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat
bersifat sementara.
3. Undang-Undang Dasar Sementara
1950 (27 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Periode federal dari
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (1949) merupakan perubahan
sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945
menghendaki sifat kesatuan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Negara Republik
Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadi penggabungan dengan
Republik Indonesia, sehingga akhirnya tinggal tiga negara bagian yaitu Republik
Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Hal ini jelas
mengakibaatkan wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi
berkurang. Akhirnya dicapailah kata sepakat antara Republik Indosia Serikat
yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera, dan Republik
Indonesia untuk mendirikan kembali negara kesatuan Republik Indonesia.
Perssetujuan tersebut dituangkan
dalam suatu persetujuan 19 Mei 1950 di mana dicapai kata sepakat akan
mendirikan kembali Negara Kesatuan sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagi negara yang akan didirikan
itu jelas perlu adanya suatu Undang-Undang Dasar yang baru. Dan untuk itu
dibentuklah suatu Panitia bersama yang menyusun suatu Rancangan Undang-Undang
Dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik
Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950, dan berlakulah Undang-Undang
Dasar baru itu pada taggal 17 Agustus 1950.
Jalan yang ditempuh untuk
memperlakukan Undang-Undang Dasar 1950 (UUD 1950) ini dengan mempergunakan
pasal 190, pasal 127 a dan pasal 191 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat yaitu pasal-pasal tentang perubahan Undang-Undang Dasar, maka
dengan Undang-Undang Federal no.7 tahun 1950 Lembaran Negara Republik Indonesia
Serikat No. 56, resmilah Undang-Undang Dasar 1950 berlaku mulai tanggal
17 Agustus 1950.
Sama halnya dengan Undang-Undang
Dasar 1949, juga Undang-Undang Dasar 1950 ini bersifat sementara, hal ini jelas
disebutkan dalam pasal 134, dimana di haruskan Konstituante bersama dengan
pemerintah menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-Undang Dasar 1950. Hal ini disebabkan karena badan yang
menyusun UUD 1950 merasa dirinya kurang representatif, sama hal nya dengan
badan yang menyusun Undang-Undang Dasar 1949.
Berbeda dengan UUD 1949, yang
tidak sempat mewujudkan konstituante, maka dibawah UUD 1950 sebagai realisasi
dari pasal 134 tersebut telah dilaksanakan pemilihan umum pada bulan Desember
1955 untuk memilih anggota konstituante. Pemilihan umum ini dilaksanakan
berdasarkan UU No.7 tahun 1953. Dan sebagai hasilnya pada tanggal 10 November
1956 di Bandung diresmikanlah Konstituante.
Sementara konstituante yang telah
bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun belum dapat menyelesaikan
tugasnya maka situasi di tanah air sedemikian rupa sehingga dikhawatirkan akan
timbul perpecahan. Dan kegagalan Konstituante untuk memecahkan masalah pokok
dalam menyusun Undang-Undang Dasar baru, disebabkan karena tidak pernah
mencapai quorum 2/3 seperti yang diharuskan.
Untuk mengisi hal tersebut, maka
pada tangga 22 April 1959 atas nama pemerintah, Presiden memberikan amanatnya
di depan sidang pleno Konstituante yang berisi anjuran agar konstituante
menetapkan saja Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar yang tetap
bagi Republik Indonesia. Ternyata setelah diadakan beberapa kali sidang dan
diadakan pemungutan suara, quorum yang diharuskan pasal 137
ayat (2) UUDS 1950 tidak tercapai. Hal ini telah dilaksanakan dengan tiga kali
pemungutan suara.
Keadaan tersebut dansituasi tanah
air pada waktu itu jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan,
maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden mengucapkan dekritnya.
4. Undang-Undang Dasar 1945 ( 5 Juli
1959-sekarang)
Dengan
dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dasar
hukum dari dekrit presiden ini ialah staatsnoodrecht.
Hal ini sama dengan pendapat Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara ordebaru
seperti yang dapat dibaca dalam Ketetapan MPRS NO. XX/MPRS/1966.
Adanya
istilah orde baru di atas adalah untuk membedakan Majelis Permusyawaratan
Sementara pada masa 1959-1965 yang juga disebut masa orde lama yangg dianggap
kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen. Sebab sesudah gagalnya gerakan 30 September 1965, maka semboyan
banyak dikemukan unttuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen.
Dibawah
Undang-Undang Dasar 1945 untuk pertama kalo dilaksanakan pemiliha umum pada
tanggal 3 Juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang no. 15 tahun 1969,
Undang-Undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966
jo.No. XLII/MPRS/1968.
Sebagai
hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971
dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis
Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya pada tahun
1973 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan bahwa pemilihan
umum berikutnyaakan diadakan pada akhir tahun 1977 dalam ketetapnnya No.VIII/MPR/1973.
Pada
tanggal 1 oktober 1977 telah dilantik anggota DPR dan MPR hasil pemilihan umum
ke II-1977. Dalam Ketetapan MPR No. VII/MPR/1978 diperintahkan pemilihan umum
berikutnya adalah tahun 1982.
Setelah
UUDS 1950 kembali ke UUD 1945, sifatnya masih tetap sebagai UUDS. Namun, pada
masa orde baru,konsolidasi kekuasaan lama-kelamaan semakin terpusat. Di sisi
lain siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena
pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 Tahun. Pada masa
orde baru, pemerintah menyatakanakan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara
murni dan konsekuen. Namun, pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila
dan UUD 1945 yang murni. Pada masa orde baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi
yang sangat sakral, diantaranya melalui sejumlah peraturan :[9]
a. Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 yang
menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945,, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
b. Ketetapan MPR no. IV/MPR/1983
tentang referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak
mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui
referendum.
c. Undang-UndangNO. 5 tahun 1985
tentang referendum yang merupakan pelaksanaan TAP MPR No. IV/MPR/1983.
Perubahan
UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan
reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde
Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum
dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil
karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD
1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18
Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945
menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden
membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya
terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut
menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat
kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945
menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di
MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945
2. sepakat untuk mempertahankan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil
(dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal
normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara
adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian
dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR
dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun
2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun
1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD
1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan
materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang
telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945
disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai
dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu
tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai
tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme
di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD
1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan
sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945,
yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.
Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya
berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah
UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI
sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000.
Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih
banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI
tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA
tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27
pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka
isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah
dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan
dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil
menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.
Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini
adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu,
selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat
dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam
rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002,
adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002.
Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan
Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c)
pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat
(2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah
Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus
dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan
yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD.
Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan
pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar
berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945
pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II
Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian,
jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang
selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi
diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan
dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah
tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat
naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945 tersebut.
C. Perubahan Konstitusi
Setiap konstitusi yang tertulis
mencantumkan pasalnya tentang perubahan. Hal ini disebabkan karena
suatu Konstitusi, walaupun ia dirancangkan
untuk jangka waktu yang
lama, selalu akan tertinggal dari perkembangan masyarakat, sehingga
pada suatu saat kemungkinan perkembangan itu terjadi, maka konstitusi itu perlu
dirubah. Suatu konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang
merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya. Karena tingkatannya yang
lebih tinggi, dan juga yang menjadi dasar bagi peraturan hukum lainnya, maka
pembuat konstitusi menetapkan cara perubahan yang tidak mudah, dengan maksud
agar tidak mudah pula orang merubah hukum dasarnya. Kalau memang suatu perubahan
diperlukan, maka perubahan itu haruslah benar-benar dianggap perlu oleh rakyat
banyak. Tetapi sebaliknya ada pula Konstitusi yang mensyaratkan perubahan tidak
seberat cara diatas, dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu
mempersulit perubahan konstitusi.
Lazimnya, yang menyusun
konstitusi adalah konstituante. Konstituante ini adalah suatu badan yang
dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti Konstituante hasil pemilu 1955
yang bertugas menyusun UUD pengganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula konstitusi
disusun oleh badan yang sejenis dengan konstituante, walaupun mungkin bukan
hasil pemilihan umum, umpamanya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
menyusun UUD 1945.
Ketidaksempurnaan suatu
konstitusi mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama konstitusi adalah hasil
karya yang bersifat kompromi dan kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri
terbatas. Karena konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia yang tidak
mungkin mempunyai pandangan politik yang sama, dan sering pula kepentingannya
berbeda-beda, maka hasil karya mereka pun yaitu konstitusi merupakan kompromi
dari berbagai aliran dan kepentingan.
Adakalanya keinginan rakyat untuk
mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur dalam
konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi
rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan
mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat
sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi
rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau
pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Pada dasarnya ada dua macam
sistem yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal
perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi
diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara
keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua
negara di dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah,
maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut
merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain,
amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini
dianut oleh Amerika Serikat.
Menurut C.F Strong ada empat macam prosedur perubahan
kosntitusi:
1.
Perubahan konstitusi
yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetap yang dilaksanakan
menurut pembatasan-pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui tiga
macam kemungkinan.
a. Pertama, untuk mengubah
konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh
sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu (kuorum) yang ditentukan secara
pasti
b.
Kedua, untuk mengubah
konstitusi maka lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu dan
kemudian diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat harus
diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah
konstitusi.
c.
Ketiga, adalah cara
yang terjadi dan berlaku dalam sistem majelis dua kamar. Untuk mengubah
konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang
gabungan. Sidang gabungan inilah, dengan syarat-syarat seperti dalam cara
pertama, yang berwenang mengubah kosntitusi.
2.
Perubahan konstitusi
yang dilakukan rakyat melalui suatu referendum. Apabila ada kehendak untuk
mengubah kosntitusi maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu mengajukan
usul perubahan kepada rakyat melalui suatu referendum atau plebisit. Usul
perubahan konstitusi yang dimaksud disiapkan lebih dulu oleh badan yang
diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau plebisit ini rakyat
menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang
telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul
perubahan diatur dalam konstitusi.
3.
Perubahan konstitusi
yang berlaku pada negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara bagian.
Perubahan konstitusi pada negara serikat harus dilakukan dengan persetujuan
sebagian terbesar negara-negara tersebut. Hal ini dilakukan karena konstitusi
dalam negara serikat dianggap sebagai perjanjian antara negara-negara bagian.
Usul perubahan konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat, dalam hal ini
adalah lembaga perwakilannya, akan tetapi kata akhir berada pada negara-negara
bagian. Disamping itu, usul perubahan dapat pula berasal dari negara-negara
bagian.
4.
Perubahan
konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu
lemabag negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Cara ini
dapat dijalankan baik pada Negara kesatuan ataupun negara serikat.
Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga negara khusus yang tugas
serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari
pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari pemegang
kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari lembaga negara khusus
tersebut. Apabila lembaga negara khusus dimaksud telah melaksanakan tugas serta
wewenang sampai selesai,dengan sendirinya lembaga itu bubar.
Hans Kelsen mengatakan bahwa
kosntitusi asli dari suatu negara adalah karya pendiri negara tersebut. Dan ada
beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen yaitu :
1. Perubahan yang
dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan oleh
konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu
organ khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan
konstitusi
2. Dalam sebuah negara
federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh dewan
perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.
Miriam Budiarjo mengemukakan
adanya empat macam prosedur perubahan konstitusi, yaitu :
1. Sidang badan
legislatif ditambah beberapa syarat misalnya ketentuan kuorum dan jumlah
minimum anggota badan legislatif untuk menerima perubahan.
2. Referendum atau
plebisit, contoh : Swiss dan Australia
3. negara-negara bagian
dalam suatu negara federal harus menyetujui, Contoh : Amerika Serikat
4. musyawarah khusus (special
convention), contoh : beberapa negara Amerika Latin
Dengan demikian apa yang dikemukakan Miriam Budiarjo
pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Di Indonesia, perubahan konstitusi telah terjadi beberapa
kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945. Sejak Proklamasi hingga sekarang telah berlaku tiga macam
Undang-undang Dasar dalam delapan periode yaitu :
1.
Periode 18 Agustus
1945 – 27 desember 1949
2.
Periode 27 Desember
1949 – 17 Agustus 1950
3.
Periode 17 Agustus
1950 – 5 Juli 1959
4.
Periode 5 Juli 1959 –
19 Oktober
5.
Periode 19 Oktober
1999 – 18 Agustus 2000
6.
Periode 18 Agustus
2000 – 9 November 2001
7.
Periode 9 November
2001 – 10 Agustus 2002
8.
Periode 10
Agustus 2002 – sampai sekarang
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan
disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus
1945. UUD 1945 terdiri dari :
1.
Pembukaan (4 alinea)
yang pada alinea ke-4tercantum dasar negara yaitu Pancasila;
2.
Batang Tubuh (isi)
yang meliputi :
1.
16 Bab;
2.
37 Pasal
3.
4 aturan peralihan;
4.
2 Aturan Tambahan.
3. Penjelasan
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pembentukan awal konstitusi di
Indonesia adalah melalui sidang PPKI pertama pada saat sehari sesudah
kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dimana, PPKI menetapkan dan
mengesahkan bahwa konstitusi Indonesia yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar
1945. Tetapi, pergolakan terus terjadi didalam Negara Republik Indonesia,
karena Belanda terus berupaya untuk kembali menduduki Republik
Indonesia. Melalui Agresi Militer 1 dan 2, akhirnya Belanda berhasil menduduki
Indonesia dengan merubah bentuk negara Indonesia menjadi Negara Serikat, yaitu
Republik Indonesia Serikat (RIS), disamping itu juga merubah konstitusi RI
menjadi UUD RIS.
Indonesia
terus mengalami perubahan konstitusi, dari UUD 1945, UUD RIS, hingga
kembali lagi pada UUD 1945. Adapun
perubahan konstitusi yang pernah dialami oleh negara RI
adalah sebagai berikut :
a. Periode 18 Agustus 1945 –
27 desember 1949 (UUD 1945)
b. Periode 27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950 (RIS)
c. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli
1959 (UUDS’50)
d. Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
(UUD 1945)
e. Periode 19 Oktober 1999 – 18
Agustus 2000
f. Periode 18 Agustus 2000 – 9
November 2001
g. Periode 9 November 2001 – 10
Agustus 2002
h. Periode 10 Agustus 2002 –
sampai sekarang
Konstitusi Indonesia terus
mengalami perubahan karena konstitusi yang dimiliki Indonesia merupakan konstitusi
sementara. Sehingga, konstitusi tersebut dapat terus dirubah sesuai kebutuhan
zaman dan berdasarkan peraturan serta kebijakan yang berlaku.
B. Saran
Dalam perubahan kontitusi di
Indonesia sebaiknya pemerintah untuk kedepannya bisa membuat konstitusi lebih
baik lagi.Agar susunan pemerintahan pun bisa berjalan baik sebagaimana
mestinya,selain itu diharapakan agar konstitusi yang dibuat tidak merugikan
pihak lain terutama warga negara indonesia.
Sebagaimana diketahui apabila
konsttusidalam suatunegara itu baik,dan dijalankan oleh penegak yang
baik pula ,maka kesejahteraan warga negara pun tercapai.Konstitusi
yang dibuat hendaknya sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan yang
sebenarnya ,agar tidak terjadi penyimangan ataupun penyelewengan yang dapat
merugikan berbagai pihak.
[1] Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, Cetakan Kelima, 1983. Hlm. 62.
[3] Kaum
calvisnisme yaitu golongan orang yang memperjuangkan kebebasan politik dan
kemerdekaan negara serta demokrasi.
[4] Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, Cetakan Kelima, 1983. Hlm. 65.
[7] Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, Cetakan Kelima, 1983. Hlm. 90.
a. Belanda hanya mengakui Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
b. Disetujuinya sebuah garis
demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
c. TNI harus ditarik mundur dari
daerah-daerah kantonnya diwilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur
Indonesia di Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta :
Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kaelan. 2010. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.
Asshidiqqie, Jimly. 2012.
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajawali Press.
Indra, Mexsasai. 2011. Dinamika
Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
Soehino. 1986. Ilmu
Negara. Yogyakarta : Liberty.
(Online). yanawulan.blogspot.com.
Di akses 21 Maret 2013.
(Online). Id.Wikipedia.Org. Di
akses 24 Maret 2013.
(Online). jakarta45.wordpress.com
. Di akses 21 Maret 2013.
Diposting
oleh
No comments:
Post a Comment